Melahirkan Medsos Beradab - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

06 Maret 2018

Melahirkan Medsos Beradab

medsos
Penulis: Moh Syahri

Atorcator.Com - Jutaan manusia dihadapkan dengan perubahan yang sangat besar, bisa sebagai peluang dan bisa juga sebagai ancaman, masing-masing diantara meraka memiliki sudut pandang yang berbeda. Lima belas abad (15) yang lalu fenoenemena medsos ini sudah pernah disinggung oleh Rasulullah SAW, medsos yang sudah lebih dari 2 dekade menyerang peradaban dan ini tentu sangat berpengaruh terhadap gaya hidup, nilai, dan kebiasaan yang mendasar dari seseorang. Tapi jangan bayangkan, apa iya Rasulullah bermedsos ? jelas tidak, tapi Rasulullah menjelaskan dengan bahasa klasik. Di jelaskan dalam hadis Ibnu Mas’od Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya menjelang datangnya hari kiamat bermuncullah pena”

Hadis ini sangat relevan dengan situasi saat ini, Rasulullah SAW sudah pasti mengetahui akan pernak-pernik kehidupan kita ini, sehinnga beliau menghimbau dan mengingatkan secara implisit lewat hadis itu. Namun kadang kita tidak pernah merasa bahwa itu himbauan serta peringatan karena sudah terhanyut dengan kenikamatan medsos

Dengan munculnya media sosial, seperti facebook, Instagram, twiter, WhatsApp, telegram yang seharusnya memberikan kemajuan, malah justru berpotensi melahirkan penghujat, penista, pembangkang dan pemfitnah. Maraknya pemberitaan yang juga seharusnya memberikan wawasan dan pengetahuan yang bisa membangun peradaban sosial namun justru dipelintirkan dengan se-enaknya Karena ada kepentingan-kepentingan tertentu., dan jelas karena ketidakmampuan dalam memahami etika bermedsos, berkomunikasi dan berpendapat ala Rasulullah SAW.

Umpatan, celaan, hinaan dan nistaan yang diungkapkan di media sosial itu sesungguhnya adalah representasi dari ketidakpuasan dalam menerima keputusan, wajar-wajar saja, sebab keadilan itu memang tidak akan pernah memuaskan salah satu pihak, tetapi dalam hal ini sepertinya perlu adanya kode etik tertentu. Menjadi problem kita bersama dalam bermedsos banyak sekali ditemukan sebuah hujatan celaan dan fitnah-fitnah terus dialirkan tanpa henti apalagi disaat menjelang pilkada.

Kebebasan di alam demokrasi ini, selain membawa kita masyarakat Indonesia menuju kebebasan berpikir, bukan berarti tanpa ancaman. Memahami kebebasan ini tidak lepas dari berpikir logis, ilmiah, dengan bahasa yang proporsional, kontruktif dan solutif, sehingga kesannya benar-benar membangun tembok demokrasi yang kokoh dan kuat di era milinial ini.

Medsos bukan lagi barang langka, wadah segala macam informasi, curhat, argumentasi, kritik, saran, usulan dan lain-lain. Sudah menjadi lahan pergulatan segala macam ide dan gagasan bahkan jadi ajang kompetisi perang opini dan argumentasi, sehingga ini lah yang cenderung menimbulkan perseteruan dan permusuhan di dunia maya sampai dibawa kedunia nyata, ironis sekali.

Semua apa yang ditulis di medsos tergantung isi otak, segala isi otak dikeluarkan demi menyerang pihak yang berlawanan, sikap tidak etispun sering menjadi bahan pendukung atas pendapatnya itu. Pendapat seperti ini banyak medapatkan respon positif padahal kontennya negative. Karena hal itu dianggap cocok dengan pemikirannyaa dan dalam kepentingan dan visi yang sama, dengan mudah di share ke segala penjuru dunia medsos, dan seolah-olah sudah menjadi pahlawan karena keberaniannya dalam memberikan informasi dan wawasan. 

Tidak ada yang salah dalam berpendapat, semua boleh berpendapat asalkan pendapat itu disampaikan dengan layak dan etis.
Rasulullah SAW adalah panutan kita bersama selaku umatnya, tentu kita juga wajib mengikuti rekam jejak beliau, dari cara beliau berpendapat, memberikan saran, kritik. Rasulullah adalah tempat tumpuan dalam mempraktekkan sikap dan tingkah laku sehari-sehari karena beliau utusan Allah SWT yang maksum, beliau di utus kedunia tidak hanya urusan aqidah semata tetapi urusan akhlaq juga, sebagaimana disabdakan beliau dalam hadis secara jelas

انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

Artinya ;” Saya di utus kedunia semata-mata untuk mempebaiki akhlaq”

Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah memberikan solusi, bagaimana seharusnya berpendapat, berekspresi menyampaikan argumen, kritik, maupun saran terhadap orang lain. Tentu masih banyak dalam beberapa riwayat lain yang memberikan contoh akhlak rasulullah dalam berpendapat..

Pada suatu hari rasulullah melakukakan touring bersama para sahabat di Madinah. Di tengah perjalanan, nabi bertemu dengan kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma. Ketika melihat hal itu, nabi membeikan tanggapan kepada para penduduk tersebut. Saat memberikan tanggapan, Nabi tidak menggunakan kata-kata yang kentara dan pasti. Nabi menyampaikan.

 “Sekiranya mereka tidak melakukan hal itu, pohon kurma itu akan tumbuh baik.”.

Karena yang mengatakan itu adalah seorang nabi, maka sontak masyarakat Madinah tunduk dan berhenti dengan kebiasan hal seperti itu. Selang beberapa waktu, ternyata pohon kurma yang biasanya tumbuh bagus tak sesuai dengan ekspektasi dan kebiasaan. Hingga akhirnya nabi mengetahui bahwa usulannya kepada masyarakat Madinah tersebut malah membuat pohon kurma rusak dan tak tumbuh seperti biasanya.

Dengan segala kerendahan hati, Nabi pun berkata kepada para masyarakat di Madinah tersebut.

انتم اعلم بأمر دنياكم  

“kalian lebih tau urusan duniamu”

Dari kisah ini kita bisa mengambil pelajaran penting:

Pertama; Memberikan saran, kritik dimanapun berada lebih-lebih di era milenial ini, termasuk medsos harus dengan cara yang baik dan sopan. Baik itu dari rakyat ke pemerintah, atau dari pemerintah ke rakyat, dari manajer ke bawahannya, atau rakyat ke rakyat, semua memiliki etika yang sama seperti halnya etika Rasulullah. Tidak ada sekat pemisah dan pembeda dalam urusan etika berpendapat semuanya sama,
Kedua; Berpendapatlah sesuai kapasitasnya, jika tidak lebih baik diam. Rasulullah Saw bersabda; “

فليقل خيرا اوليصمت  

“berkatalah dengan baik atau diam”.

Baik artinya tidak menyakiti perasaan orang lain. Berpendapat yang tidak sesuai dengan kapasitasnya jelas akan merugikan banyak pihak, berani menjustifikasi pendapat orang lain karena dianggap salah dan beda pandangan, padahal kebenaran tidak harus ditempuh dengan cara yang sama walupun pada hakikatnya kebenaran itu hanya satu, akan tetapi makna kebenaran itu banyak dan relatif. Saya ingin mengutip pendapat dosen kewarganegaraan saya “Kita ini sepakat untuk tidak sepakat” betul, sebab yang gak sepakat belum tentu salah begitu juga yang sepakat belum tentu benar, jadi inilah sebabnya kenapa saya mengatakan kebenaran itu ralatif (dalam tanda kutip).

Realitanya, sekarang ini banyak orang yang khianat dengan profesi dan keahliannya, tidak tau politik ikut campur urusan politik, tidak tau agama ikut campur urusan agama, yang masih minim ilmu agamanya berani ikut campur dengan orang yang sudah paham esensi agama. Jika di paksakan seperti ini jelas akan berpotensi saling caci-mencaci, fitnah-memfitnah, olok-mengolok, laknat-melaknat, bahkan saling kafir-mengkafirkan yang akhirnya terjadi permusushan dan perseteruan. Rasullulah mengajarkan kita untuk mengahargai pendapat dan karya-karya orang lain, bukan di suruh mencela dan mengolok-olok, seperti dauhnya Imam Al-ghazali dalam Kitab Bidayatul Hidayah

  • فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يذم الطعام الردىء قط بل كان يشتهى شيئا أكله والا تركه

“ Sungguh Nabi Muhammad tidak pernah mencaci makanan yang buruk atau gak enak sama sekali, tetapi beliau makan ketika bernafsu dan jika tidak beliau tinggalkan”

Ini hanya sekelas makanan yang jelas martabatnya dibawah manusia yang diciptakan dengan kelebihan akal. Lantas betapa berharganya manusia di bumi ini, dengan beraninya saling mencaci, memfitnah, mengkafirkan hanya urusan sudut pandang yang berbeda, disamping makanan punya harga diri tersendiri, begitu juga yang memproduksi makanan itu, bagaimana perasaannya jika kita yang membuat makanan tiba-tiba di cela oleh orang lain, gak enak, dan lain-lain. Nah dari paparan di atas, imam Ghazali mengajarkan kita untuk mengahargai orang lain sebagaimana halnya Rasulullah SAW.

Ketiga; Mengklarifikasi atau tabayun terhadap apa saja yang kita dapatkan, baik itu informasi, ataupun pemberitaan. Tujuannya untuk mengetahui secara pasti motif kontennya itu, hoax, asli ataukah valid ?  kadang kita terkecoh dan kecolongan dengan hal semacam ini, akhirnya menimbulkan keresahan di masyarakat.

Keempat; Berani minta maaf atas kesalahan yang di lakukan. Meminta maaf adalah usaha untuk menyelesaikan masalah dengan sesama manusia, yang hukumnya wajib tidak boleh ditawar, tidak cukup minta maaf kepada Allah kalau hal itu ada urusannya dengan hak-hak manusia. Sadarlah, fenomena sekarang ini orang yang jelas-jelas salah masih saja cari pembenaran dan pembelaan agar supaya terlihat benar. Ini mengindikasikan bahwa egoisme masih bersarang di tubuh seseorang.

Sering saya alami, dalam sebauah diskusi ilmiah yang mana seharusnya diskusi berjalan baik dan lancar dengan aturan-aturan tertentu justru di terobos dan dilanggar dengan cara tidak sopan, karena saking semangatnya dalam mencari kemenangan dalam berargumentasi, bukan mencari kebenaran dengan cara yang benar. Semangat dalam menyalurkan aspirasi adalah cermin dari demokrasi kita yang perlu kita aparesiasi, apalagi dengan adanya media sosial yang mudah sekali kita sentuh dengan hanya mengandalkan jempol, semuanya tersampaikan dengan sistematis dan lancar, tetapi terkadang di medsos kita masih saja menemukan aspirasi yang diluar batasan demokrasi kita. Dengan lantang menyuarakan keadilan yang tidak berpihak kepada dirinya sampai berani mengorbankan esensi keagamaanya, padahal demokrasi kita sudah di lindungi oleh hukum-hukum, semua ada prosedur dan aturan-aturannya.

Bukan soal gagah dan hebat dalam berpendapat dan beraspirasi, tetapi pengaruh dari pendapat dan aspirasi kita yang sangat di prioritaskan. Dan tentunya dalam hal pengaruh atau tidaknya itu tergantung hati yang menggerakkan, ikhlas dalam berpendapat dan menyuarakan kebenaran atau hanya ada kepentingan tertentu. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amien

Wallahu A’lam bisshowab