Pahala Hoax - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

04 Januari 2019

Pahala Hoax


Di jagad maya, kita segera tahu betapa berjibun dan berjubel-jubel kaum cuti nalar, gerombolan defisit otak, bani micin, kelompok otak cingkrang, kaum pentol korek dan bumi donat bergentayangan. Kabar buruknya, mereka yang menganggap dirinya paling benar adalah teman dan saudara sebangsa kita sendiri. Bagaimana cara menghadapi orang-orang yang kerasukan Abu Jahal itu? Adalah dengan tidak menjadi seperti mereka!
Medsos tak lain merupakan ladang subur bagi para pengeluh, peratap, pembenci, pencaci, mencemooh, pencemar dan peselancar negatif demi kepentingan pribadi dan (terutama) gerombolan maniak barbarisme digital untuk terus memenuhi syahwat ugal-ugalan meraka.
Digoreng dengan bumbu-bumbu politik, dipanggang dengan aroma dan saus agama yang penuh intrik, direbus bersama kaldu sentimen etnik dan lantas disajikan di mulut-mulut mayoritas awam sebagai menu sehari-hari, tengik tapi nampak asyik, bikin ketagihan meski menyesatkan. Satu berita diviralkan dan dispiralkan oleh buzzer-buzzer bayaran lalu diproyeksikan—misalnya—untuk mendiskreditkan golongan tertentu, menghujat yang berbeda agama dan paham, menjatuhkan lawan politik, menggulingkan penguasa, dan bahkan hendak mengganti ideologi Negara.

Baca juga: Melahirkan Medsos Beradab

Padahal, setelah menyebar hoax-hoax itu, mereka tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana selain meyakini adanya pahala. Pahala dari Hong Kong?! Sebab, jangankan mereka, para gembala bayaran yang menggerakkan merekapun sebenarnya digembalakan oleh gembala-gembala bayaran lain yang lebih gila akan kuasa dan bayaran tak terhingga. Di atasnya lagi, masih ada sekian tingkat gembala-gembala lagi dan lagi. Makin modern, makin digital pula kecanggihan hegemoni dan sebaran hoax.
Pertanyaannya: adakah satu pembangunan (infrastruktur dan suprastruktur) saja yang tidak ditulangpunggungi oleh cita-cita akan kekuasaan? Jika ternyata tidak, maka hidup ini tidak hitam-putih, ada lebih banyak abu-abu di samping keduanya, sebab tidak ada putih yang sungguh-sungguh bersih dan hitam yang benar-benar kelam. Inilah der wille zur mact/will to power.
Para politisi Senayan, misalnya, mereka yang sering ribut dan bahkan perang urat syaraf dengan cara-cara memalukan, adakah sedikit saja yang mereka ributkan itu berhubungan dengan rakyat atau semata demi kepentingan kelamin mereka sendiri? Juga para pengasong agama yang kerap shalat di jalanan, adakah yang mereka teriakkan itu berhubungan dengan agama atau semata demi perut dan selangkangan mereka sendiri? Nah, yang rugi adalah kita-kita orang yang hanya terombang-ambing menelan mentah-mentah serbuan hoax dan linglung politik serta mabuk agama demi sesuatu yang kita tidak tahu apa.
Hingga kini, para pakar komunikasi masih sepakat bahwa penggunaan segala jenis interpolasi emosi, penggorengan isu agama, intoleransi berbau SARA dan ujaran kebencian memang sangat efektif menyulut provokasi, pertengkaran, dan akhirnya bisa menimbulkan keributan masal dan malapetaka nasional.
Tokoh propaganda komunis dari Rusia bernama Anatoly Lunacharsky. Dia bilang, “Singkirkan kata-kata penuh kasih, gunakan kebencian. Hanya dengan kebencian kita menguasai dunia.”
Kelihatannya, tukang goreng, tukang kipas, tukang kompor dan tukang sabun akan terus laris (terutama di Medsos) hingga tahun-tahun mendatang. Hati-hati bermedsos, ia sangat beracun dan mematikan jika digunakan secara berlebihan!
Lazimnya, para panggila hoax (atas nama) agama selalu menebar kebencian dan mengkavling kebenaran. Ujungnya jelas, mereka menolak Pancasila dan UUD 1945 di satu sisi serta mabuk selangkangan bidadari di sisi lain: asal bisa mencium ketiak bidadari, mereka siap mati.
Anehnya, tidak sedikit di antara kita yang malah latah dan terjebak, melawan hoax justru denga hoax yang lain. Memerangi kebohongan justru dengan kepalsuan. Inilah salah satu yang perlu kita renung-insyafi sampai ke jantung kesadaran. Jika para penggila berita palsu-sesat itu merasa dibenarkan oleh agama, maka Kitab Suci itu haqq bukan hoax. Seharusnya, pengikut dan para pengamalnya juga demikian.
Memang, hijrah dari hoax idealnya sepanjang masa, tetapi 1440 hijriyah dan menjelang 2019 masehi ini bisa kita jadikan momentum untuk memulainya. Bisakah? Bagaimana indikatornya? Mari kita lakukan testimoni sederhana, Kisanak!

Baca juga: Warung yang Harganya Tak Bertoleransi dengan Pelanggan

Mereka yang menghina dan terus menghabiskan energi untuk mencaci dan mengkafirkan yang berbeda, termasuk pemerintah, adalah: (1) Musuh-musuh Allah yang harus dilenyapkan dan dibantai sehabis-habisnya sampai tujuh turunan, sebab tidak mungkin mereka bertobat dan insyaf; (2) Mereka adakah orang-orang tidak terpelajar yang menjadikan kebencian untuk melindungi diri dan kelompoknya; (3) Mereka adakah gerombolan manusia yang mabuk agama dan membenci Negara, padahal mereka bisa hidup dan bebas beragama, justru di dalam Negara yang mereka benci. Langkah terbaik, usir mereka dari Indonesia. Kalau tak satupun negara mau terima, buang ke planet Neptunus dan suntik mati saja di sana; (4) Meraka adalah sekelompok manusia yang terlampau reaksioner menyikapi perbedaan, tetapi sebenarnya mereka sedang belajar dan mencari formula untuk sampai pada kebenaran yang sesungguhnya; (5) Mereka adalah cerminan dari sikap kita sendiri; dan (6) Mereka adalah pelajaran dari Tuhan untuk kita cinta-sayangi, kita didik dan kita arahkan dari kesadaran dogmatis menuju kesadaran kritis.
Nah, Anda berada di nomor berapa?
Diam-diam, saya tak bisa menyangkal populasi kaum fideis yang terus meningkat pesat di tahun-tahun politik ini. Fideisme (dari bahasa Latin: fides, iman) adalah pandangan epistemologis bahwa iman terpisah dari nalar. Fideisme mengimani bahwa tak ada kebenaran lain selain kebenaran iman, untuk mengetahuinya orang cukup beriman saja, tanpa akal, sebab akal justru meracuni agama.
Mereka yang kesurupan fideisme biasanya anti kebebasan beragama dan tentu saja anti-dialog. Para fideis (baik amatir maupun akut) hanya memiliki dua kategori, yakni surga dan neraka. Sementara itu, kategori ketiga, yakni dunia, diabaikan, padahal di dunia ini mereka hidup dengan yang lain, termasuk dengan yang tak percaya surga-neraka. Nah, jangan lupa ngopi (ngobrol pintar)!

Wallahu a'lam

Sumber Foto: Redaksiindonesia.com

Penulis Ach Dhofir Zuhry adalah Ketua STF AL-FARABI dan pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen-Malang. Buku terbarunya yang banyak diburu para jomblo di musim hujan ini: KONDOM GERGAJI dan PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri)

Baca juga: Fenomena Perselingkuhan Di Desa Semakin Merajalela