Tujuan Pernikahan Menurut Kiai Imam Nakha’i - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

13 Mei 2019

Tujuan Pernikahan Menurut Kiai Imam Nakha’i

keterangan photo; Kiai Imam Nakhai dalam sebuah seminar
Penulis: Ahmad Husain Fahasbu

Atorcator.Com - Tadi malam ketika buka facebook saya agak kaget. Sebab guru saya, Kiai Imam Nakha’i sedang live streaming di akun Facebook pribadinya. Kaget karena sepengetahuan saya, beliau termasuk orang yang tidak suka memamerkan aktivitasnya di media sosial, tidak seperti kebanyakan orang yang sudah masuk ke aliran “narsisme & noraisme”.

Ustaz Nakha’i, begitu kami memanggilanya, meskipun sering memberi ceramah, pelatihan, dan diskusi baik pada taraf regional, nasional dan internasional tidak pernah mengunggahnya di laman facebook pribadinya.

Suatu kesempatan saya pernah bertanya kepada beliau; “ustaz, kenapa panjenengan tidak pernah mengunggah aktivitas jenengan di facebook? Bukankah sampean sering mengisi kajian bersama tokoh, artis dan kelas sosialita di Jakarta?”, beliau tersenyum seraya berkata, “Saya haram hukumnya minta foto bareng sama artis!, saya mau foto sama artis kalau dia minta duluan”, saya dan teman-teman yang mendengarnya tertawa lepas.

Ustaz Nakhai bagi para santri adalah ustaz idola. Ide-idenya selalu segar, nyentrik, provokatif dan konfrontatif. Pandangan-pandangan keagamaan yang beliau lontarkan kerap membuat “kaget” siapapun yang menjadikan kemapanan sebagai mazhab. Namun demikian, seluruh pandangan keagamaannya sangat kukuh, logis dan sulit dicari celah untuk dibantah.

Ini maklum, karena beliau bukan hasil karbitan. Bertahun-tahun belajar ilmu agama ke pusatnya, pesantren. Selepas belajar, beliau tidak langsung menjadi terkenal, tetapi ia terus memperdalam pengetahuannya dengan menjadi ustaz atau pengajar di Ma’had Aly Situbondo. Mungkin inilah yang membuat argumen keagamaan beliau sangat kukuh. Ditambah, penguasaanya terhadap ilmu usul fikih, sebagai ilmu untuk memproduksi hukum islam begitu mendalam.

Daya tarik ustaz kondang ini juga karena sikapnya yang terbuka, egaliter, pendengar yang baik dan jauh dari kesan elit di kalangan para santri. Karir ilmiahnya yang cemerlang tidak membuatnya lupa daratan. Ia terbang tinggi namun tetap membumi. Dan penting juga disampaikan; beliau dermawan dan suka memberi.

Kembali ke pembahasan utama. Dalam video itu tampak ustaz Nakhai sedang menjelaskan tentang pernikahan dan tujuan pernikahan dalam islam. Menurut beliau, pernikahan dalam islam hadir sebenarnya sebagai kritik terhadap perkawinan dalam tradisi jahiliyah yang cenderung manipulatif dan eksploitatif. Sebagaimana ditulis Wahbah al-Zuhaili, dulu di masa jahiliyah dikenal tiga model pernikahan yang cenderung merugikan kaum perempuan.

Pertama, nikah al-Rahti, yaitu seorang perempuan digauli oleh beberapa orang laki-laki, setelah hamil dan melahirkan, perempuan tersebut bebas memilih yang mana saja sebagai ayah dari anak itu. kedua nikah al-Istibdha’, yaitu pernikahan untuk memperbaiki keturunan, misalnya seorang suami menyuruh istrinya berhubungan badan dengan orang lain yang memiliki kelas sosial yang tinggi dan suami tersebut tidak menggauli istrinya sampai ia melahirkan.

Ketiga, nikah al-Syighar, yaitu pernikahan yang diawali kesepakatan antara dua orang ayah atau bapak yang sama-sama memiliki anak perempuan agar anaknya dibarter untuk dijadikan istri masing-masing mereka. Maharnya adalah kemaluan dari anak masing-masing.

Model-model perkawinan di atas adalah model perkawinan yang coba dihancurkan oleh islam. Pertama kali yang dibongkar oleh islam adalah tujuan dari perkawinan itu sendiri. Bahwa tujuan perkawinan dalam islam adalah satu, yaitu sakinah. Ini dipahami dari ayat dalam Alquran, yaitu surat al-Rum ayat 21

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesunguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir

Dari ayat di atas dipahami bahwa tujuan pernikahan adalah sakinah. Jadi tidak benar adagium dan doa yang selama ini yang sering muncul di area pernikahan, “Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah”, atau dalam bahasa lain semoga “samawa”. Itu semua tidak benar. Sebab Alquran menegaskan bahwa tujuan dari pernikahan adalah “litaskunu”, agar supaya kamu merasakan ketenangan. Penting dicatat huruf jar yang digunakan pada lafadz litaskunu menggunakan huruf jar lam bermakna bahwa yang dimaksud di sini adalah ketenangan ruhaniyah, non-materi.

Yang benar adalah dengan berbekal rahmah dan mawaddah semoga menjadi keluarga sakinah. Jadi rahmah dan mawaddah adalah perangkat yang diciptakan oleh tuhan dan ada pada setiap manusia yang tujuannya adalah lahirnya sakinah (ketenangan). Nah apa yang dimaksud “mawaddah” dan “rahmah”? ini yang membuat para ahli bahasa dan tafsir kerepotan. Tetapi, singkatnya, “rahmah” adalah mencintai seseorang karena kebutuhan seseorang tersebut. Sementara “Mawaddah” adalah mencintainya seseorang kepada orang lain karena dia secara pribadi butuh. Dalam bahasa yang lebih mudah, “rahmah” adalah aku mencintaimu agar kamu bahagia sementara “mawaddah” adalah aku mencintaimu agar aku bahagia.

Sakinah baru bisa terwujud jika mawaddah dan rahmah itu sama-sama ada dalam hati suami istri. Karena mawaddah tanpa rahmah adalah keegoisan dan rahmah tanpa mawaddah adalah bentuk kasihan. Dan ini tidak mungkin melahirkan ketenangan (sakinah) antara suami-istri. Misalnya ketika melakukan hubungan badan tidak boleh hanya berdasarkan “rahmah” saja atau “mawaddah” saja. Keduanya harus berpadu agar melahirkan sakinah.

Dalam kesempatan ini, saya penting menyampaikan dawuh guru saya Kiai Afifuddin Muhajir bahwa resep keluarga sakinah adalah. Pertama, membangun kesepahaman yang baik (husnu al-Tafahum), suami istri harus memiliki satu visi dan misi dalam menjalani kehidupan. Kemana hidup mau dibawa? Diantara yang bisa membangun kesepahaman ini adalah banyaknya kesamaan antara suami istri atau adanya chemistry antara keduanya. Semakin banyak persamaan maka semakin besar kesepahaman.

Kedua, bersikap toleran dan murah hati (al-Tasamuh). Ini sebagai antisipasi bahwa manusia tidak ada yang sempurna, dalam pepatah “tidak ada gading yang tak retak”. Jadi misalnya, ketika salah seorang suami-istri melakukan sebuah kesalahan maka pasangannya bisa menoleransi dan bermurah hati. Nilai toleransi ini kemudian menjadi pengingat ketika pasangan memiliki kekurangan agar pasangannya mencari sebuah kelebihan yang bisa menembel kekurangan itu.

Langkah ketiga adalah sikap moderat. Maksudnya bersikap tengah-tengah; tidak berlebihan dan berlaku wajar. Sikap moderat ini meliputi, tengah-tengah dalam nafkah, tengah-tengah dalam memuji, tengah-tengah dalam cemburu. maksudnya ketika berbelanja tidak terlalu boros dan tidak terlalu kikir, ketiga memuji pasangannya tidak berlebihan dan tidak perlu berlebihan ketika cemburu sekaligus tidak hilang rasa cemburunya.

Ini semua adalah hasil panfasiran dan elaborasi dari ayat Alquran: 

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوف
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut”

Namun yang paling penting dari itu semua adalah kamu harus punya pasangan dulu. Kalau jomblo, mau sakinah sama siapa? Sama tembok? Hahahahaha

Mari luangkan waktu sejenak untuk mengirim fatihah kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, dimana pada tanggal tujuh Ramadan beliau dipanggil oleh Allah Swt. Al-Fatihah!

Ahmad Husain Fahasbu, santri yang sedang merindukan azan maghrib.