Damai: Apa Susahnya Minta Maaf dan Memaafkan - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

18 Maret 2018

Damai: Apa Susahnya Minta Maaf dan Memaafkan

Foto: merdeka.com


Atorcator.Com - Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf :199)

Selagi kita masih muda tentu masih banyak waktu untuk berbenah diri, menebar senyum dengan sesama manusia. Tidak perlu menunggu bulan Syawal untuk bisa saling maaf-maafan

Berdamai memang momentum yang paling sulit dan berat untuk dilakukan. Kita tidak tau kenapa "ego" dan "nafsu" begitu sulit di lepas dari urat leher. Kenapa rasa dendam begitu sulit dihapus dari benak kita, padahal agama kita sering dan dan selalu mewanti-wanti agar kita terus berdamai, ramah dan beradab dalam pergaulan sosial. Hampir tiap hari kita selalu dihadapkan dengan konflik-konflik sosial, tidak sepakat dengan pendapat orang lain, opini-opini orang lain, argumentasi orang lain, bahkan boleh jadi sikap dan perilaku orang lain.

Di beberapa kesempatan konflik semacam ini sering terjadi, bukan barang langka. Konflik biasanya muncul dari tidak adanya rasa saling menghormati dan menghargai. Sedangkan ketenangan hidup biasanya muncul dari rasa menghormati, menghargai setelah kita meminta maaf dan memaafkan. Kadang kita berpikir seperti ini "yang penting saya sudah minta maaf, entah dia mau memaafkan atau tidak, itu urusan dia" ini sudah bagus, dan berani untuk minta maaf tentu sudah gugur kewajibannya, namun ini masih separuh dari kata "Ishlah" karena orang yang dimintai maaf belum tentu memaafkan. Dengan demikian, hal ini belum bisa menciptakan suasana damai yang dicita-citakan.

Berdamai tidak lagi dalam praktek jaman kekanak-kanakan, dulu waktu kita kecil (umur 3-5 tahunan) ketika bertengkar dengan teman sesama kecilnya itu mudah untuk bisa akur lagi dengan di iming-imingi permin, kripik, dll. Bayangkan dulu, saya hampir tiap hari bertengkar dengan teman tetangga gara-gara saya sering hapal pelajaran (cie-cie-cie). Sedangkan dia sulit untuk hapal, dia marah dan ngambek ke saya, sampai-sampai berkelahi dibawah pohon bambu. Lho kok malah saya yang disalahin, ampun dech guyss, tidak lama kemudian saya parani ke rumahnya untuk main petak umpet dengan membawa permen karet dan saya bagi-bagi ke semuanya, keesokan harinya udah damai lagi, gampang kan. Namanya juga children old. Sedangkan konteks sekarang ini khususnya remaja jaman now, mungkinkan praktek seperti itu tidak bisa kita lakukan lagi, apa kata dunia.

Saling maaf-memaafkan itu memiliki makna tersendiri dan rahasia tersendiri. Dan kata maaf harus seharusnya dengan lisan tentu dengan berjabat tangan juga, tidak cukup dengan hati dan perasaan apalagi prasangka, pastikan bahwa dia memaafkan kita dengan simbolik berjabat tangan bagi budaya tertentu dan aturan tertentu. Sebab nanti kesannya akan berbeda dan akan dapat mempengaruhi pola hidup kita kedepannya. "Mendorong orang untuk melakukan jabat tangan yang merupakan kontak fisik positif adalah hal yang baik, terutama di era virtual seperti sekarang," kata Joe Rock, psikolog dari Cleveland Clinic.

Usaha untuk berdamai bukan hanya di perjuangkan oleh satu pihak, namun kedua belah belah pihak dan beberapa pihak yang lain yang berseteru. Hidup ini memang susah, tiap hari harus dihantui berbagai macam sentimen, sikap apatis, dan masa bodoh. Kita tidak akan bisa keluar dari dunia semacam ini. Jika diantara ruang hati kita sudah  diliputi rasa marah, disitu pula kata maaf sering tertutup rapat, malahan kadang meminta maaf diartikan sesuatu yang absurd, "ih gengsi dong, masak harus aku yang minta maaf kan dia yang salah". Saling mengakui kesalahan memang berat lebih berat dari film "dilan 1991".

Kita ini sudah kehilangan daya gugah kemanusiaan yang paling substansial, yakni kesadaran bahwa kesalahan yang dimiliki orang lain boleh jadi besok akan menjadi milik kita. Dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Lantas kenapa kita harus egois dan apatis. Bukankah hal itu akan mempersulit diri kita sendiri, dan terombang-ambing dalam situasi terkekang. Kesana gak enak, kesini gak enak. Terus kita mau kemana.

Masalah kecil kadang terlalu berharap untuk dibesar-besarkan, ini bukan lagi konflik biasa tapi lebih ke konflik batin. Jika sudah konflik batin maka dalam menciptakan suasana damai diperlukan adanya pendekatan yang bersifat mistik.

Tuhan itu maha pemaaf, masak kita nggak, seberapa banyak kesalahan kita pada Tuhan pintu maaf selalu terbuka lebar (bukan berarti saya nyuruh berbuat dosa lho ya).  Allah selalu mengajarkan kita untuk saling bermaaf-maafan agar suasana damai dapat tercipta, rasa persaudaraan dapat terasa dan rasa toleransi kita akan semakin nyata.

Orang yang tidak ingin minta maaf dan memaafkan berarti dia tidak percaya akan kebaikan Tuhan. Jadi, segeralah minta maaf dan memaafkan, apa susahnya sih. Hehehehe

Semoga kita selalu diberi kekuatan untuk saling berdamai dengan saling maaf-memaafkan

Rasulullah bersabda: “Tidaklah Allah memberi tambahan kepada seseorang hamba yang suka memberi maaf melainkan kemuliaan.” (HR. Muslim)

Rasulullah bersabda: “Tidak halal bagi seorang mukmin untuk tak bersapaan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari.” (HR. Muslim)


Wallahu a'lam bisshowab