Santri Tidak Cukup Jadi Pelajar Harus Jadi Pejuang - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

22 April 2018

Santri Tidak Cukup Jadi Pelajar Harus Jadi Pejuang

Santri google
Penulis: Moh Syahri


Sejak dulu santri sudah dikenal dengan sosok pejuang, yang mana saat Indonesia sedang mengalami penjajahan santri mengambil peran penting dalam melawan dan merebut kemerdekaan itu. Santri yang dikenal sebagai seorang pejuang, ia tidak pernah gentar menghadapi apapun, tidak ada kata menyerah dalam kamus pribadinya, tidak ada kata berhenti selama tujuan yang baik itu belum dicapainya. Berjuang jangan selalu diartikan harus berperang dengan pedang sampai pada titik pertumpahan darah. Seiring dengan berkembangnya zaman maka berjuang di era sekarang ini lebih kepada bagaimana cara mempertahankan aqidah dengan maraknya perang opini masalah aqidah, juga mempertahankan eksistensi bangsa, dan ikut serta dalam memperbaiki problem-problem sosial.

Santri tak seharusnya hanya sekedar belajar, bersanding dengan kitab, buku dan bolpen tiap harinya. Memang belajar merupakan salah satu perjuangan. Namun yang dimaksud dalam tulisan kali ini adalah belajar berjuang secara ril dan nyata. Bagaimana cara hasil belajar itu bisa diimplementasikan langsung kepada masyarakat sehingga masyarakat akan merasakan betul akan pentingnya. Masih banyak diantara kita yang kurang begitu peduli dengan lingkungan sekitar walaupun tak semuanya. Tak peduli dengan penderitaan tetangganya, tak peduli dengan realitas sosial yang menimpanya. Cukup dirinya yang baik, padahal sebenarnya hal ini tidak sampai pada hakikat kebaikan sebelum bisa memperbaiki orang lain.

Contoh beberapa hari yang lalu ada seorang teman bercerita ke saya bahwa ia menemukan seorang santri yang sedang berwudu’ ke dalam wadah air yang tidak sampai dua kulah, namun dia hanya membiarkannya. Saya bilang kenapa sampean membiarkannya kenapa tidak ditegur dan jelaskan bahwa wudhu’nya tidak sah karena air itu musta’mal. Dia bilang bahwa dia belum pantas dan belum memiliki kapasitas untuk mengingatkan. Sangat tidak rasional jawabanya. Berjuang dalam menegakkan kebenaran dan memperbaiki kesalahan orang lain yang diyakini memang salah bukan lagi soal pantas atau tidaknya. Tetapi lebih kepada menjalankan perintah Allah bahwa kita diwajibkan untuk saling menasihati dengan kebenaran. Soal menasehati dengan kebenaran adalah mutlak milik semua manusia, tidak hanya tugas kiai, ustadz, guru ngaji dan orang tua semata. Jika kita terus berpacu pada pada seorang kiai ustadz, guru dan orang tua dalam soal menasihati dan penegakan kebenaran maka rasanya dunia ini terlalu sempit dan belum sampai pada hakikat keislaman kita yang berdasarkan Alquran dan hadis.

Perjuangan memang berat, tak semudah belajar dengan buku dan kitab sambil duduk santai. Santri masih sedikit yang memiliki jiwa pejuang kebanyakan bercita-cita ingin menjadi pemimpin. Silahkan boleh-boleh saja, tetapi yang perlu digaris bawahi adalah juga tidak banyak seorang pemimpin yang memiliki jiwa pejuang. Inilah kenapa dalam tulisan ini sifat pejuang harus benar-benar ditanamkan sejak dini. Sehingga kita tidak menjadi pemalas. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berjuang untuk rakyatnya, memikirkan nasib rakyatnya, peduli terhadap permasalahan sosial. Sama halnya dengan seorang santri yang ingin menjadi pemimpin sekaligus pejuang. Maka perlu ada sokongan moralitas dan intelektualitas, sehingga perjuangan sampai pada puncak keberhasilan.

Menjadi jiwa pemimpin seharusnya disertai dengan jiwa pejuang. Berjuang dalam menebar kebaikan yang berlandaskan Alquran dan hadis adalah tugas utama santri. Yang sering menjadi problem yang sebenarnya menurut saya ini tidak sepenuhnya menjadi problem yang serius. Hanya saja masalah psikologis yang belum matang, yaitu rasa malu dan tidak percaya diri. Rasa malu dan tidak percaya diri sering menjadi hambatan dalam berjuang tak terkecuali santri. Disuruh mimpin tahlil saja banyak yang merasa takut dan tidak berani. Disuruh ngajar ngaji saja banyak yang tidak percaya bahwa ia bisa. Lebih parahnya lagi tidak mau jadi imam shalat berjamaah Padahal yang seharusnya menjadi landasan dalam diri seseorang lebih-lebih seorang santri adalah rasa optimisme.

Jika dalam lingkup pesantren saja santri sudah enggan dalam berjuang bagaimana nanti ketika berhadapan langsung dengan masyarakat. Tentu sebagai santri memiliki tugas lebih ditengah-tengah masyarakat lebih-lebih dalam acara ritual keagamaan. Rasanya tidak etis jika ada seorang santri harus menolak tawaran masyarakat untuk memimpin acara-acara ritual keagamaan.

Wallhu A’lam Bisshowab



 Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang