Bedanya Politisi dan Akademisi - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

17 Juli 2018

Bedanya Politisi dan Akademisi

Internet

Penulis: Moh Syahri

Akademisi dan politisi memang banyak memiliki perbedaan, mulai dari definisi, manfaat dan tujuannya. Politisi adalah orang yang berkeinginan untuk mendapatkan kekuasaan dari mempertahankan sampai memanfaatkannya. Sedangkan Akademisi adalah orang yang memiliki pendidikan tinggi, baik sebagai pendidik ataupun tidak.

Seorang politisi selalu memiliki banyak cara untuk mendapatkan kekuasaan. Maka dengan cara seperti itu cenderung memiliki pemikiran yang subjektif, mencari untung, dan condong memihak.

Politisi selalu menjaga jarak dengan orang-orang yang dianggap tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan partainya, apalagi memang dilihat berbahaya dan tidak menguntungkan. Tiap harinya selalu dihadapkan dengan persaingan yang semakin ketat, mulai dari aktivitas menarik simpati dan mengatur strategi kemenangan.

Yang dipikirkan politisi hanya soal menang dan kalah, bukan benar atau salah. Tetapi bagi akademisi yang dipikirkan adalah benar dan salah, walaupun menang dan kalah juga menjadi satu pertimbangan yang kuat. Akan tetapi rasionalitas menang dan kalah dari seorang politisi dan akademisi sangatlah berbeda. Cakrawala berpikirnya seorang politisi masih dibatasi oleh kepentingan yang bersifat pribadi atau kelompok. Politisi jauh dari kata moderat. Sedangkan Akademisi masih dimungkinkan untuk moderat.

Sikap totalitas yang ditunjukkan Politisi benar-benar membuktikan spirit kekhidmatan terhadap partainya. Bahkan harus memiliki komitmen yang kuat dalam membangun semangat kebersamaan untuk kekuatan partainya.

Bagi politisi semua bisa jadi kawan baik dan sejati tergantung seberapa besar koalisi itu bisa memberikan penghasilan dan menguntungkan. Kerjasama selalu berjalan mulus dan bersih sepanjang dalam masa koalisi itu tidak terjadi penghianatan.

Dari penjelasan ini, sudah barang tentu, bahwa politisi bukan orang yang mudah diajak kompromi oleh orang yang tidak sejalan dengan partainya, orang yang tidak searah dalam mengatur strategi apalagi beda dalam visi dan misinya.

Rasanya sulit bagi politisi untuk tidak menemukan musuh dan pesaing berat. Sehari-harinya selalu ada dalam ruang kompetisi, selalu mendapatkan tantangan berat dari kompetitornya.

Sedangkan akademisi cenderung memiliki pola pikir yang visioner dalam bidang tertentu, berpikir objektif, dan toleran. Walaupun demikian, ternyata ada juga akademisi yang menyelami urusan politisi. Dan itu sah-sah saja selama urusan itu tidak keluar dari dunia akademiknya, paham substansi perpolitikan dan tau batas-batas akademiknya. Sehingga tidak ada yang aneh dan ngaurrrr kelihatannya jika akademisi ikut campur urusan politisi. Misalnya akademisi jadi pengamat politik, jadi timses, jadi simpatisan dan lain-lain.

Dengan demikian, akademisi tidak boleh terlalu larut dalam dunia politik. Namun tidak ada larangan dalam berpolitik. Jika politik dimasukkan dalam urusan akademik maka sangat mungkin dan potensial untuk tidak maju dan tak bermutu. Netralitas tentu menjadi senjata utama dalam mengendap politik. Sehingga kejujuran dan keterbukaan sebagai akademisi tetap bersih dan terjamin.

Bicara soal akademisi, akademisi cenderung memiliki konsep berbeda dengan politisi. Misalnya soal kalah dan menang. Akademisi masih berpikir objektif, walaupun satu sisi ia harus mengusung kandidat untuk dimenangkan dalam pemilihan. Tidak ambisius soal meraih kemenangan, kalah pun tidak terlalu kecewa. Jika kalah ya kalah saja, jika menang tidak terlalu euforia berlebihan.

Sebenarnya kemenangan bagi akademisi saat dirinya mampu menghasilkan karya-karya ilmiah, merawat nalar, dan terus berpikir demi kemajuan pendidikan yang kompetitif. Kekalahan bagi akademisi saat dirinya tidak mampu menghasilkan sesuatu, baik secara ilmiah maupun non ilmiah, mampu mengantarkan dirinya pada posisi strategis dalam membangun masyarakat sejahtera.

Dalam dunia politik kemenangan itu hanya didapatkan oleh satu orang saja. Bagi akademisi, ijtihad politik merupakan proses menuju kedaulatan rakyat bukan hanya kemenangan partai politik tertentu dan kelompok tertentu. Memang di awal narasi seperti ini sering dimunculkan oleh politisi ke depan publik sebagai penarik perhatian, tapi pada faktanya itu hanya wacana belaka saja, dari dulu pasti ada oposisi. Dan ini menandakan bahwa oposisi menganggap kemenangan hanya dirasakan oleh partai dan kelompok tertentu.

Jadi tidak heran, jika akhir-akhir ini banyak kalangan akademisi menjadi pengkritik pemerintah seolah-olah mewakili rakyat yang menderita bukan mewakili oposisi yang belum bisa menerima kekalahan. Tidak puas dengan hasil kerja pemerintah memang sesuatu yang harus ada dalam dunia politik. Dan itu wajar-wajar saja selama dalam kritik dan ketidakpuasan itu tidak ada unsur kebencian dan dendam. Tapi murni untuk membangun kesejahteraan masyarakat.

Perbedaan ini sesuatu yang patut diapresiasi, karena ini merupakan Sunnatullah. Maka dari itu saya sering mengamati perbedaan ini di media sosial, baik dari logika politiknya politisi dan logika politiknya akademisi. Dari cari pandangnya, keduanya sarat dengan nilai-nilai persatuan, hanya saja konotasinya yang sedikit berbeda. Sebab gelagat seseorang juga sangat mudah ditebak, sehingga perbedaan itu sangat indah untuk dinikmati.

Dua-duanya sangat berbeda sekali bukan lagi dalam hal menang dan kalah, tetapi dari sisi retorika yang mereka sampaikan atas kemenangan dan kekalahan itu. Bagi akademisi kekalahan itu biasa, makanya tidak ada akademisi yang ngotot mencari kemenangan jika ia sudah dipastikan kalah. Tetapi beda dengan politisi, ia akan mencari-cari penyebab kekalahan dan ngotot mengajukan gugatan ke MK atas kekalahan yang menimpanya.

Sikap legowo tentu menjadi identitas terpuji bagi politisi dan akademisi, dengan menunjukkan sikap respek dan toleran terhadap siapapun yang berbeda pandangan.

Wallahu a'lam bisshowab