Benarkah Pernikahan Menjadi Bumerang Bagi Pendidikan - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

05 November 2018

Benarkah Pernikahan Menjadi Bumerang Bagi Pendidikan


Penulis: Moh Syahri

Tak jarang saya temukan peristiwa pernikahan yang dilakukan seseorang beralasan hanya untuk mengantisipasi terjadinya perzinahan dan hal-hal yang haram yang mengakibatkan masa depan yang buram. Sehingga jalan satu-satunya yaitu menikahkan anak secepat/sedini mungkin. Zina adalah perbuatan haram dan mudarat. Akan tetapi tidak seharusnya dicegah dengan menikahkan anak yang cenderung juga banyak memberikan kemudaratan. Karena masih banyak cara lain untuk menghindari zina, seperti Alquran memerintahkan supaya menjaga perilaku dan pandangan, atau seperti kata Nabi dengan berpuasa atau dengan melakukan berbagai aktivitas positif yang memalingkan dan atau mengurangi hawa nafsu seseorang.

Dan yang paling banyak menjadikan orang tambah pesimis adalah ketika sudah diceramahi dengan kata yang sangat memabukkan ini “Ngapain sekolah tinggi-tinggi toh pada akhirnya juga jadi petani, jadi ibu rumah tangga” saya menganggap perkataan ini sebatas kata yang keluar dari orang yang tidak sadar (tapi tidak sampai gila) dan boleh jadi, mereka malu untuk mengakui kalau kecintaan kepada ilmu itu biasa-biasa saja.

Maka kecintaan kepada ilmu seharusnya lebih dimanja ketimbang memanjakan pasangan yang belum jelas qada dan qadarnya, seperti mengoleksi buku bacaan, ikut pengajian keagamaan, sering-sering sowan kepada guru, kiai dan mubaligh untuk menambah wawasan keilmuan. Cara-cara seperti ini yang nantinya akan menjaga kewarasan berpikir, sehingga tak sempat memikirakan nikah untuk sementara waktu.

Seiring dengan asumsi-asumsi yang kebenarannya belum teruji secara komprehensif. Dengan tanpa sadar pendididikan tak lagi menjadi perhatian khusus. Menikah di usia yang cukup rentan lebih menjadi prioritas daripada bersekolah setinggi mungkin, ini sesungguhnya kurang benar.

Sementara hukum asal menikah dalam literature ilmu fiqh adalah mubah, sebagaimana dikatakan di dalam beberapa kitab seperti kitab Qurratul ‘Uyun dan kitab-kitab yang lain. Menikah memang banyak berkaitan dengan syahwat, keluarga dan sosial. Pertimbangan matang dalam menjalani rumah tangga atau menjalani kehidupan yang kian banyak disibukkan dengan urusan domistik tentu harus diniatkan dan harus menjadi komitmen untuk mendatangkan kebaikan pada diri dan keluarga.

Walaupun demikian, Akan tetapi yang terjadi dilapangan justru sebaliknya, sehingga hak-hak untuk mendapatkan pendidikan banyak tercederai. Sebagai anak yang secara usia mungkin sudah cukup untuk menikah namun dalam kehidupan yang keras dan kian mencekam ini banyak yang masih rentan dan goyah. akhirnya mereka memutuskan sesuatu yang memang halal tapi sangat dibenci tuhan yaitu cerai atau talak. Dan ini banyak terjadi di pedesaan yang jauh dari peradaban keilmuan. Artinya kesiapan dhohir dan bathin harus benar-benar terukur dan seimbang dan harus menjadi faktor pendukung dalam menjalani hakikat romantika itu (rumah tangga).

Sebagai seorang yang yakin dengan ajaran islam bahwa pendidikan itu wajib, maka seyogyanya seluruh elemen dan komponen masyarakat, baik orang tua, keluarga, masyarakat maupun negara harus benar-benar mengupayakan dalam mengoptimalkan pendidikan yang layak bagi anak-anak di usia mereka yang masih strategis dan fresh itu. Dan sebagian ini banyak terjadi pada kaum perempuan. Karena secara sosial, perempuan memang cederung banyak mengalami kerentanan baik secara fisik maupun psikologis. Maka salah satu solusi untuk mengantisipasi hal seperti itu adalah pendidikan yang maksimal.

Perempuan harus ditempatkan pada porsi yang sama dengan laki-laki dalam urusan pendidikan. Tidak ada diskriminasi dalam hal pendidikan semua memiliki tempat yang sama dan kesempatan yang sama. Karena perempuan akan menjadi ibu yang akan mendidik dan merawat anak sampai membesarkan mereka. Jika perempuan pintar, kuat dan tangguh maka keluarga pun akan menjadi kelaurga yang kuat dan tangguh pula.

Label-label jomblo yang banyak bermunculan di permukaan tidak perlu kita tanggapai dengan serius apalagi kontennya hanya sekedar memprovokasi saja. Menjomblo dalam satu sisi termasuk sebuah keniscayaan. 

Ulama tidak melarang menjomblo bahkan banyak ulama-ulama yang menjomblo sampai akhir hayatnya, hal seperti ini bukan berarti harus diikuti dan beliau juga tidak mengajak orang lain agar sama dengan beliau. Beliau bukan berarti tidak paham dengan hukum-hukum menikah, hanya saja beliau lebih mengikuti prinsip yang orientasinya pada bashirah (pandangan hati nurani berdasarkan ilmu spiritual), yang hal itu banyak diantara kita belum sampai pada maqomya (tingkatannya). Artinya predikat jomblo tidak semestinya dicap sebagai orang yang paling buruk.
Ibn al-Jawzi
وَأختار للمبتديء في طلب العلم أن يدافع النكاح ما أمكن، فإن أحمد ين حنبل لم يتزوج حتّى تمت له أربعون سنة، وهذا لأجل جمع الهم – أي للعلم -.

“Saya memilih (pendapat) bagi pelajar tingkat awal untuk menghalau keinginannya untuk menikah sebisa mungkin. Sesungguhnya Imam Ahmad bin Hanbal tidak menikah sampai berusia empat puluh tahun. Itu semua demi mengumpulkan ilmu.”
sumber foto:cewekbanget.grid.id