Dari Ibu Saya Belajar Bagaimana Cara Memberi Uang Saku - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

10 Januari 2019

Dari Ibu Saya Belajar Bagaimana Cara Memberi Uang Saku


Penulis: Moh Syahri

Ibu saya Adalah orang yang tidak banyak merasakan bangku sekolah, tapi keinginan untuk menyekolahkan anaknya sangat besar bahkan berkali-kali beliau berkata "Saya ingin kalian tidak seperti saya".  Ucapan itu terus saya ingat sampai sekarang.

Meski ibu saya bukan lulusan perguruan tinggi alias sarjana, tapi beliau tergolong cerdas dan pintar dalam hal menulis Arab dan tulisannya bagus sekali, dan bisa juga nulis latin walaupun tidak terlalu bagus-bagus amat. Padahal beliau putus sekolah dasar kelas 5 kalau gak salah. Tapi anehnya beliau tidak bisa tanda tangan, di KTP nya saja beliau menggunakan tanda tangan jempol.

Baca juga: Kisah Anak Menggendong Ibunya yang Mendapatkan Kubah Mutiara

Pernah dulu ketika saya ada tugas disuruh menyalin pelajaran tajwid ke buku lain karena buku tajwid saya banyak coretannya. Dan ibu saya membantu menulisnya beliau sudah menulis sekitar satu halaman, tapi saya melarangnya takut ketahuan guru tidak ditulis sendiri karena tulisan ibu saya lebih bagus.

Itulah kenapa setelah saya pikir-pikir ternyata ibu saya punya cita-cita besar terhadap anaknya bahkan boleh jadi lebih besar dari apa yang saya cita-citakan dulu. Ibu adalah orang yang selalu mensupport saya dalam belajar beliau paling banyak berkorban untuk kegiatan belajar saya.

Terbukti, ketika saya minta uang SPP dan uang apapun yang berkaitan dengan kegiatan belajar tidak pernah beliau tidak menyanggupi sebesar apapun yang saya minta. Sekalipun beliau tidak langsung memberi, biasanya saya masih menunggu sekitar satu mingguan atau lebih.

Namun, sekalipun demikian, ibu saya paling seret ketika saya minta uang saku. Ya seperti itu, saya memang dulu tidak pernah dimanja oleh keluarga, uang saku saja masih sering dibuat tarik ulur. Apalagi minta uang buat main-mainan dan lihat pameran dan tontonan di desa.

Apakah saya tidak pernah dikasih uang saku saat sekolah? Pernah, dan itu dikasih setiap hari Rabu dan Sabtu saja karena dianggap hari pasaran, biasanya di 2 hari itu saya dikasih uang saku sebesar Rp 1000 seribu. Saya tidak tau kenapa ibu saya membedakan dua hari itu bahkan 2 hari itu sangat spesial buat saya waktu itu.

Bagaimana dengan hari-hari yang lain? Pernah pada suatu ketika saya sedang makan bersama dengan keluarga di dapur selepas datang sekolah. Saya yang waktu itu masih berada di bangku sekolah dasar kelas 1 tentu tak ingin uang saku itu kosong setiap harinya. Sudah tau sendiri bagaimana jika anak sekecil itu tidak diberi uang saku, pasti minta alias ngemis ke teman-temannya. Sebagai orang tua tentu tidak ingin anaknya seperti itu. Dan ini saya ceritakan ke ibu saya waktu itu.

Nah, setelah makan malam, waktu itu terjadilah musyawarah dan rapat kecil-kecilan antara ibu, bapak, dan saya untuk membahas uang saku yang seharusnya diberikan ke saya. Ya mungkin cerita saya itu mengenak sekali kepada ibu setelah sebelum-sebelumnya agak seret sekali memberikan uang saku. Tapi dalam hati saya tidak ada maksud untuk itu, saya bercerita kenyataan di lapangan saja. Dan saya yakin ibu tidak akan pernah bohong selama ini kenapa beliau begitu seret sekali memberikan uang saku.

Inisiatif muncul dari ibu yang selama ini saya bilang tergolong cerdas dalam mengambil sikap dalam keluarga. Ibu menyampaikan ide plus regulasi uang saku yang mana ide itu langsung disepakati oleh bapak saya. Saya yang masih kecil waktu itu tidak bisa menyangkal jangankan menyangkal berkomentar saja tidak bisa.


Baca juga: Perempuan Tidak Boleh Takut Jadi Pemimpin

Enam hari masuk sekolah, saya tidak lagi prei uang saku. Benar-benar manjur rapat kecil-kecilan ini. Tapi begitulah ibu saya, beliau tetap berkomitmen untuk tidak terlalu banyak memberikan uang saku. Dan beliau juga bercerita kenapa saya di 2 hari itu dibedakan dalam memberikan uang saku.

Empat hari itu disepakati bahwa saya akan dikasih uang saku Rp 500, dua harinya tetap itu Rp 1000. Ya bagi saya ini sesuatu banget dan saya gembira sekali, tidak lagi bergerilya di bawah pohon demi menghindari pelampiasan yang selama ini tidak punya uang saku untuk dibawa ke kantin.

Kemudian ibu saya bercerita, kenapa 2 hari itu dibedakan uang saku saya, Karena kata beliau di kantin atau di koperasi pada hari Rabu dan Sabtu lebih banyak aneka jajan yang dijual. Lah saya yang sekolah saja gak paham dengan itu. Kok ibu saya bisa tahu itu. Ternyata setelah saya lihat dan amati memang benar adanya. Bahwa di 2 hari pasaran itu lebih banyak aneka jajan yang dijual. Makanya beliau lebih banyak memberikan uang saku.

Dari ini saya belajar bahwa mengatur keuangan tentu harus memperhatikan manfaat yang akan didapatkannya. Bagi saya yang sudah lama ditinggal ibu dan ingin belajar mandiri benar-benar merasakan didikan ini. Tidak serta-merta menghamburkan uang dan kapan sebaiknya uang dikeluarkan demi kebutuhan yang memang benar-benar urgen. Tapi perubahan zaman sudah tak bisa kita bendung maka tetap harus bijak dalam segala sesuatunya.

Wallu a'lam

Sumber foto: loppo


Baca juga: Khofifah Indar Parawansa: Gubernur Jawa Timur Tokoh Kosmopolitan