Politisi yang Susah Ditausiahi - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

22 Januari 2019

Politisi yang Susah Ditausiahi


Penulis: Moh Syahri

Rasanya ingin sekali menjadi bagian dari perpolitikan Indonesia, tapi apa daya uang tak sampai dan wajah pas-pasan. Banyak indikator lain yang kurang bisa menyedot suara publik, bisa jadi sudah tau akan kalah dalam bilik suara.

Ah, sudah lah nggak usah ikut-ikutan berpolitik. Lebih baik kita diam diri sambil bertahan dan menyerang, memberi masukan saja kepada elit politik. Tausiahi saja politisi yang kurang ajar kepada negeri ini.

Tapi elit politik kita memang kebanyakan susah ditausiahi, susah menerima ajakan baik, susah menerima peringatan, lebih-lebih dari ulama yang punya kapasitas keilmuan. Entah karena faktor apa, mau dikatakan tidak cerdas, susah juga karena ngomongnya rerata pintar semua.

Contoh misalkan Gus Mus, beberapa kali beliau menghimbau untuk tidak saling menghina, menjelek-jelekkan lawan politiknya, jangan bawa tuhan ke dalam politik. Habib Luthfi bin Yahya pun demikian, sering kali beliau menghimbau untuk tidak saling menjelek-jelekkan lawan politik, berpolitiklah dengan santun dan ramah.

Sudah jelas seperti itu, menjelang pilpres, masih saja para elit politik perang urat syaraf antar kubu semakin mengencang, saling melempar dan mencari kesalahan. Nah, ini kan dilarang sekali oleh agama, kok ngeyel sekali masih suka dengan cara-cara seperti itu.

Saling sindir antar timses semakin tidak karuan, dan semakin kolosal. Gak perlu saya sebutkan orangnya kalian pasti sudah tahu semua. Karena pilpres kali ini hanya dua calon kecuali pasangan Dildo.


Baca jug: Pahala Hoax

Peringatan dari kiai yang jelas-jelas memiliki kapasitas dan sanad keilmuan yang kentara seolah-olah tidak ada gunanya, karena baginya ketika sudah diperingati dianggap bersebrangan dengan kubunya. Atos sekali hatimu pak. Di sisi lain sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman tapi kelakuannya sama sekali tidak islami. Islam di mulut saja.

Tontonan seperti ini sering kali kita dapati di media sosial, termasuk di Twitter yang sangat masif, saling retweet dan meretweet dengan saling ancam. Dalam hal ini Gus Nadirsyah Hosen sering kali juga meretweet dengan mengajak untuk saling berbuat baik dan saling menghargai, tidak perlu menghina atau mengejek lawan politiknya. Tidak perlu membawa agama dalam kontestasi politik.

Tapi apa hasilnya, mereka malah ngajak debat, menantang, menganggap dia tidak tau apa-apa tentang politik. Tak tau politik ndasmuuuu, mendingan nggak tau politik saja daripada harus mengorbankan sisi kemanusiaan bro.

Betul, apa yang dikatakan Gus Mus bahwa orang moderat harus berani tampil ke panggung. Artinya tidak hanya moderat soal agama tapi moderat soal politik. Media sosial adalah salah satu panggung paling tepat saat ini yang harus kita tekuni dalam menyuarakan kebenaran dan kebaikan yang berlandaskan kasih sayang, ramah dan, toleran.

Mari kita tausiahi mereka yang susah ditausiahi. Karena orang yang sudah memperoleh hikmah dari perantara tausiah akan berpegang teguh pada prinsip, santun dan ramah penuh kasih dalam berpolitik, kaya dalam persepektif, kaya pula akan alternatif. Dan dia tidak akan pernah takut kehilangan jabatan.

Wallahu'alam

Sumber Foto: RMOL.