Akal, Al-Ghazali, dan Bela Agama - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

18 Maret 2019

Akal, Al-Ghazali, dan Bela Agama

NU.online

Penulis: Kholili Kholil
(Alumni Santri Lirboyo)

Atorcator.Com - Kecanggungan relasi antara wahyu dan akal telah lama menjadi perbincangan di antara para pemikir. Imam Al-Ghazali (selanjutnya kata ‘Imam’ akan dibuang untuk mempersingkat tulisan, bukan su’ul adab) telah lama memperbincangkan hal ini. Beliau masuk hampir ke seluruh diskursus teologis mulai dari ilmu kalam, filsafat, hingga pelabuhan terakhirnya ke tasawuf.

Beliau masuk ke dalam diskursus filsafat ‘sebagai orang asing’ dan menulis secara minor tentang tokoh filsafat baik dari Yunani maupun Islam. Buku beliau yang terkenal dalam bidang ini adalah Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat). Di buku ini beliau menggunakan argumen rasio untuk menolak rasionalitas filsafat dan membongkar kerancuannya. Tujuan beliau menulis buku ini, seperti beliau akui sendiri, adalah membela agama dari kerancuan-kerancuan yang tampak ilmiah.

Buku ini kemudian dibantah oleh seorang filsuf dari Tanah Barat. Dia bernama Ibn Rusyd, seorang kadi empat mazhab. Beliau membuat buku berjudul Tahafut al-Tahafut (Kerancuan Kitab Tahafut) dan membeberkan kesalahan Al-Ghazali—di buku itu Ibn Rusyd menyebut Al-Ghazali menggunakan Abu Hamid dan kadang ‘hadza al-rajul’ (pria ini).

Al-Ghazali, dalam Tahafut al-Falasifah, menyebutkan ada lebih dari dua puluh aspek kerancuan dalam filsafat Islam. Dalam menulis buku itu beliau berpegangan kepada buku Al-Farabi dan Ibn Sina—yang beliau ragukan kesalehannya. Buku ini sangat berharga untuk melihat bagaimana mawqif (sikap) Al-Ghazali dalam banyak hal. Misal bagaimana pola pikir beliau dalam menghadapi pertentangan antara wahyu dan akal.

Seperti umumnya mutakallimin (ulama tauhid), beliau menganggap bahwa akal (reason) dan wahyu (revelation) adalah sesuatu yang bisa duduk bersama dalam satu ruangan. Bahkan keduanya saling melengkapi. Namun bagaimana jika keduanya bertentangan?

Baca juga: Tujuan Diciptakannya Lisan Menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali memilah pertentangan keduanya dengan cukup panjang. Yang menjadi perhatian saya adalah pemilahan beliau tentang pertentangan akal dan wahyu dari wilayah eksternal atau bahasa beliau: lā yaśdimu aślan min uśūl al-dīn (yang tidak merusak inti agama). Kontradiksi eksternal ini, menurut beliau, harusnya tidak perlu “dibela” dan “diperpanjang”.

“Barangsiapa mengira bahwa berdebat dalam masalah ini termasuk urusan agama,” tulis Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah halaman 80, “maka sungguh ia telah mencederai agama dan melemahkannya.”

Pertentangan eksternal ini salah satunya terdapat dalam wilayah saintifik. Al-Ghazali mencontohkan permasalahan ini dengan gerhana yang oleh Nabi SAW disebut sebagai tanda-tanda Allah SWT dan oleh ilmuwan disebut sebagai fenomena astronomi. Menurut Al-Ghazali hal-hal ini tidak perlu ada pertentangan karena sains mampu membuktikannya secara ilmiah. Bahkan andai ada orang mampu memprediksi gerhana dengan tepat, lalu dia disangkal bahwa hal ini tidak sesuai agama, “maka,” tulis Al-Ghazali, “orang itu tidak ragu dalam sains dan justru ragu dalam agama.” Inilah satu aspek yang menurut Al-Ghazali wahyu dan akal tidak bertentangan.

Jadi sudah jelas bahwa Al-Ghazali melakukan distinction antara wahyu dan akal. Maka salahlah anggapan orang bahwa Al-Ghazali menolak asumsi matematis.

Selanjutnya Al-Ghazali menulis sebuah perkataan—yang mana quotes ini adalah tujuan dibuatnya tulisan ini—yang cukup menohok. Berikut akan saya kutip:


وضرر الشرع ممن ينصره لا بطريقه أكثر من ضرره ممن يطعن فيه بطريقه

“Bahaya yang timbul akibat orang yang membela agama (syara’) dengan metode yang salah lebih besar ketimbang bahaya yang timbul dari orang yang menghina agama dengan metode yang benar.”

Maka, membela agama dengan metode yang benar adalah yang harus dilakukan.

Pertanyaannya: bagaimana membela agama dengan metode yang benar? Tentu saja dengan melakukan tindakan-tindakan ilmiah secara rasional, empirik, atau nalar-nalar skolastik. Bukan dengan aksi masa.

Bukankah Imam Syafi’i dijuluki sebagai nashir al-sunnah (pembela sunnah) karena beliau mengkultivasi hadis dalam ijtihad beliau? Bahkan tidak ada keterangan bahwa mengumpulkan masa disebut sebagai bela agama. Bela agama hanya terjadi secara akademis.

Kholili Kholil

Wallahu a’lam.