Akibat Salah Milih Guru Agama, Bintang Tersusupi Virus Radikalisme - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

17 Maret 2019

Akibat Salah Milih Guru Agama, Bintang Tersusupi Virus Radikalisme


Penulis: Kalis Mardiasih

Atorcator.Com - Sebut saja namanya Bintang. Setahun terakhir, perilakunya di sekolah semakin nganeh-nganehi. Kebetulan tahun ini sudah kelas dua belas di SMA ini. Terkadang, ia baru berangkat pukul 9. Terkadang, pukul 11 baru sampai sekolah. Guru-guru sudah menegur, dari bertanya baik-baik hingga agak sedikit mengomel. Terkadang, menasehati anak ketakutan atau anak yang membantah ternyata jauh lebih menyenangkan dibanding jika anak tersebut diam saja, tetapi tetap keras kepala sambil memasang tampang yang bikin lawan bicara jengkel. Lebih tepatnya, jadi malas melanjutkan percakapan.

Si Komariyah, ketua kelas pernah bertanya, kenapa Bintang semakin tidak niat belajar di sekolah. Kalau ada ujian, Bintang paling cepat keluar kelas. Bukan karena ia tangkas menjawab soal-soal ujian, melainkan karena ia bosan lama-lama berada di kelas. Ia silang ngawur saja kertas pilihan jawaban lalu lekas meninggalkan ruangan itu.

Bintang, suatu kali sambil dikelilingi oleh siswa-siswa lain pernah mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan kedok pemerintah untuk menghancurkan agama. Ya, anak SMA yang tinggal di pinggiran kecamatan ini memakai istilah kedok . Istilah khas buletin Jumat sebagian kelompok massa agresif. Seorang guru pernah memergoki Bintang berangkat sekolah berjalan kaki lewat sebuah sungai kecil sekali di pinggiran desa, ketika ditanya mengapa Bintang tidak lewat jalan raya biasa, ia menjawab bahwa ia tak ingin melihat "perempuan beraurat."

Kedua orang tua Bintang bekerja sebagai TKI di Malaysia. Sudah sejak Bintang usia SD hingga kini ia SMA. Sebetulnya secara ekonomi, Bintang tak kekurangan. Uang bulanannya 1,5 juta rupiah, jauh melampaui teman-temannya. Akan tetapi, ia tentu saja kesepian. Ia hidup berdua saja dengan neneknya di rumah.

Baca juga: Kopar-Kapir: Fastabiqul Proyek, Fastabiqul Politik

Ternyata, di sekolah Bintang, hampir sepertiga siswanya adalah anak-anak dari orang tua yang meninggalkan rumah untuk menjadi TKI. Jika sebagian kasus anak-anak semacam ini biasanya adalah pergaulan jalanan/premanisme, tetapi Bintang lain. Ia pergi mengaji, tapi ternyata, pengajiannya barangkali bermasalah.

Setelah berjumpa dengan kepala sekolah dan guru agama Bintang, saya jadi tahu bahwa keluarga, sekolah, atau mungkin masyarakat secara umum perlu pengetahuan dasar tentang perilaku ekslusivisme atau ekstremisme beragama. Hal ini penting agar kita juga tidak asal menuduh seseorang sebagai pemeluk agama yang radikal atau ekstrem.

Guru-guru Bintang secara umum menyimpulkan Bintang sudah terpengaruh aliran agama "garis keras". Tetapi, ketika kami bertanya di mana Bintang belajar mengaji, pihak sekolah hanya bisa menyebut satu nama desa tetangga, tanpa bisa menyebut masjid apa, warna pengajiannya bagaimana, atau nama ustaznya. Mereka hanya menerima informasi dari teman-teman Bintang, bahwa Bintang mengaji setiap hari setiap habis subuh ke desa X.

Sekolah juga tidak punya treatment khusus dalam menangani kasus Bintang. Bintang hanya beberapa kali dipanggil guru BK, waka Kesiswaan dan Kepala Sekolah untuk dinasehati. Akan tetapi karena sudah berkali-kali gagal, sekolah pun menyerah. Bintang tetap berangkat sekolah dan belajar di sekolah semaunya. Menangani Bintang, jika ia memang terindikasi sikap keberagamaan radikal, memang perlu metode khusus, tidak bisa selesai hanya semata dengan konseling biasa.

Indikator yang dapat dilihat secara zahir dari ucapan-ucapan Bintang seperti "pendidikan adalah kedok Pemerintah" dan "menghindari perempuan beraurat" memang sudah cukup buruk. Jika hal tersebut bersumber dari sebuah ideologi keterasingan dan keterancaman sebagai pemeluk agama, sebentar lagi Bintang mungkin akan merasa bahwa pergi ke sekolah adalah sebuah dosa besar, semua lembaga negara adalah thagut, berjumpa semua orang adalah ancaman dst. Belenggu pikiran semacam ini adalah langkah awal seorang radikalis yang jika bertemu kelompok yang memfasilitasinya dengan alat kekerasan/teror, ia bisa saja akan jadi ekstremis.

Baca juga: Keras Boleh Asal Tetap Beradab

Sore yang hujan ini, saya teringat Bintang dengan sedih. Saya ingin orang tuanya pulang ke tanah air dan tak perlu kembali lagi bekerja jauh-jauh. Saya pikir, metode yang saya pikir dapat menangani anak-anak seperti Bintang barangkali tidak perlu, hanya jika Ibunya memeluk dengan sayang dan Bapaknya rajin mengajaknya mengobrol dengan keriaan. Kesepiannya perlahan akan sirna, hatinya akan tersentuh, dan ia tak akan lagi memandang dunia dengan muram. Hanya itu...

Kalis Mardiasih perempuan yang aktif sebagai periset dan tim media kreatif jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi