Transaksi Jual-Beli (Pemangku) Agama - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

20 Maret 2019

Transaksi Jual-Beli (Pemangku) Agama

merdeka

Penulis: Ach Dhofir Zuhry

Luthfi Hasan Ishaaq (vonis 16 tahun), Anas Urbaningrum (vonis 14 tahun), Setya Novanto (vonis 15 tahun), Suryadharma Ali (vonis 10 tahun), juga belakangan Romahurmuzy alias gus Rommy, apakah Anda mengenal mereka "sebelum" atau "sesudah" korupsi dan lalu diringkus KPK? Apakah Anda tahu "prestasi" mereka sejauh ini?

Masih segar dalam ingatan bagaimana Luthfi Hasan Ishaaq sebagai pimpinan partai Islam dan partai dakwah yang mengklaim sebgai parpol paling bersih, malah menggunakan dan "memperdagangkan" pengaruhnya di kementerian pertanian. Politikus yang saat itu juga menjabat anggota DPR RI itu dinilai telah menerima suap terkait rekomendasi kuota impor daging sapi kepada Kementerian Pertanian. Setelah melalui persidangan pada 2014, ia terbukti telah menerima suap sebesar Rp 1,3 miliar dari Dirut PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman, melalui perantara Ahmad Fathanah. Lantaran aksinya ini ia disangkakan pasal tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Anas Urbaningrum, Ketum Demokrat, politisi muda berbakat, resmi menjadi terpidana korupsi pada tahun 2014 silam. Ia terbukti menerima gratifikasi dan terlibat pencucian uang dalam proyek sport center Hambalang. Kasus ini tak hanya menyeret dirinya, tapi juga beberapa anggota partai berlambang Merci lainnya, seperti Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh, dan Nazaruddin. Sayang, Sekjen partainya yang tak lain anak SBY belum menyusul mereka.


Tahun 2014, Suryadharma Ali ditangkap oleh lembaga anti-rasuah KPK. Mantan Ketum PPP ini terlibat korupsi penyelenggaraan haji tahun 2012-2013. Saat itu, ia menjabat sebagai Menteri Agama di era presiden SBY. Ia merugikan negara sebesar Rp 27.283.090.068 dan 17.967.405 riyal Saudi. KPK juga menyebut Suryadharma turut menyalahgunakan dana operasional menteri.

Setya Novanto, Ketum Golkar, ditetapkan sebagai terpidana korupsi atas kasus megaproyek e-KTP. Konon, korupsinya hanya Rp 2000/ KTP, ya, 2000 perak, tapi dikalikan 170 juta lembar KTP elektronik. Pengungkapan kasusnya ini dipenuhi beragam drama ala sinetron (memang, banyak politisi yang sebenarnya lebih cocok jadi sosialita dan penghibur, sebagian memang artis), salah satunya yang paling diingat adalah tragedi mobil menabrak tiang listrik, dan benjol sebesar bakpau. Sepintar apapun Setnov berkelit, KPK akhirnya berhasil menyeretnya ke persidangan.

Nah, yang terbaru adalah operasi tangkap tangan KPK terhadap Ketum parpol berlambang Ka'bah di Surabaya, Jumat (15/3) Rommy yang juga anggota DPR RI 2014-2019 ini telah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. KPK menyebut, Rommy diduga terlibat dalam lobi-lobi jual beli jabatan di Kementerian Agama.

Kenapa harus Kemenag? Hal ini sangat dimungkinkan karena Kemenag memilki lebih dari 4.500 satker di seluruh Indonesia yang rawan pengawasan dan tentunya rawan keculasan, 48 titik tata kelola dana haji rawan korupsi, 11 titik pengelolaan dana pendidikan Islam rawan rasuah, dan penempatan pejabat-pejabat eselon yang harganya dari ratusan sampai miliaran rupiah (400 juta-2,5 miliar—data beberapa stasiun TV swasta), pungli biaya nikah atau administrasi pernikahan di KUA (kabar buruk bagi jomblowers), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), termasuk juga pengangkatan rektor salah satu UIN yang bermasalah pada 2015 mengindikasikan bahwa Kemenag begitu molek dan seksi bagi para predator dan oligark. Setali tiga uang, tak sedikit politisi tengik yang menjual agama dan Tuhan dengan harga yang murah. Namun dengan jernih, kita harus melihat perihal korupsi sesorang tidak lantas melahirkan pemahaman bahwa seluruh mekanisme internal lembaga atau institusi tersebut kita anggap koruptif juga, belum tentu!

Apakah karena ongkos politik yang begitu tinggi? Apakah karena integritas yang sangat rendah? Apakah karena korupsi sudah mentradisi dan menjadi sistem di setiap kementerian dan institusi Negara (legislatif, eksekutif, yudikatif)? Apakah karena kaget jabatan dan post-power syndrome? Apapun itu, kekuasaan memang cenderung korup.

Sesekali, gaya hidup para politisi busuk perlu disinetronkan, ya sinetron azab, misalnya: korupsi daging sapi, diseruduk jutaan sapi; koruptor mendadak religius setelah diciduk KPK, atau Anda punya tawaran judul lain? Bahkan, saya kadang membayangkan seandainya para koruptor dan rampok Negera ini, juga bandar Narkoba dan siapapun yang melakukan politisasi agama dititipkan saja ke penjara Guantanamo, Raker Island, Port Arthur, La Sante, Alcatraz, Pitesti Prison, Ugra, Gitarama Prison, kamp kerja paksa Masanjia, Abu Ghuraib, atau ke kamp konsentrasi 22 Hyoeryong-Korea Utara saja. 


Di sana, hukuman mati dengan cara dirudal dari jarak 50 meter, dilempar ke sekawanan anjing gila kelaparan, dikuliti, dimutilasi hidup-hidup, dan dipenjara sampai tiga generasi. Atau tembak mati saja, tapi sebelumnya digunduli, diarak keliling kota ke seluruh provinsi dengan telanjang dada, buatkan patung koruptor (lengkap dengan kasus-kasusnya) di setiap sudut kota dan ini yang tidak kalah penting: bangun museum koruptor sebagai pendidikan anti korupsi sejak dini untuk anak-anak kita.

Harapan besar kita kepada KPK agar mengusut tuntas rentetan skandal KKN dari pusat sampai ke desa-desa. Semoga kasus yang menjerat Rommy akan membuka kotak pandora bagi kebusuk-culasan di Kemenag sebagai kementerian berindeks integritas paling buruk, juga Kemenkes, Kemendikbud, MUI, dan Kementerian-Kementerian lain dari pengaruh jahat para petinggi parpol yang sengaja menjadikan institusi Negara sebagai mesin ATM. Dalam situasi seperti ini, apakah petuah mendiang Cak Nur bahwa "Islam Yes, Partai Islam No" mendapati relevansinya? Perlu kajian lebih lanjut saya kira.

Memang, salah satu mangsa paling empuk bagi para koruptor dan petinggi parpol yang culas adalah demokrasi elektoral seperti sekarang ini, apa sebab? Karena saat pemilu dan suksesi kekuasaan berlangsung, dana sangat besar dari tangan-tangan predator digelontorkan. Dampaknya? Akal sehat menyusut, sikap kritis mengerdil, mekanisme hukum melemah, para tengkulak merajalela, dan banalitas terjadi di mana-mana. Nah, uang-uang "terima kasih" pasca pemilu juga semakin merusak nalar sebagian besar politisi yang tadinya relatif soleh dan jujur, belum lagi uang tutup mulut, uang tutup kuping, uang rokok, uang pelicin, mahar politik, mahar eselon, papa minta saham, kiriman apel Malang, kardus durian, dan belasan istilah lainnya terkait gratifikasi, dll.

Memang, demokra(tisa)si kita baru dua dasawarsa bangkit dari tidur panjang, tentu saja birokrasi neo-patrimonial dan kejahatan kerah putih (white colour crime) warisan Orde Baru masih akan terus mewarnai tahun-tahun politik entah sampai kapan. Sebagai extra ordinary crime, tak hanya merugikan negara, korupsi bahkan membangkrutkan negara. Hanya saja, kita sangat menyayangkan mengapa malah Kementerian Agama yang justru paling rawan KKN dan rendah integritas. Rupa-rupanya, pernyatan Muhammad Abduh (w. 1905) bahwa Al-Islam mahjubun bil muslimin (kemajuan Islam terhalangi oleh umat Islam sendiri) masih relevan. Semoga Abu Jahal-Abu Lahab di sekeliling Ka'bah seberang segara menyingkir, semoga badai korupsi cepat berlalu dan instansi-instansi terkait segera berbenah. Mana kopi?