Tuhan Para Pembenci - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Senin, Maret 04, 2019

Tuhan Para Pembenci


[Penulis buku best seller Peradaban Sarung dan Kondom Gergaji]

Atorcator.Com  - Selalu, akar dari pertikaian dan intoleransi yang mengatasnamakan agama dan menyeret-nyeret Tuhan adalah urusan perut dan kelamin, baik pribadi maupun gerombolan. Demikian rilis terbaru Mazhab Kepanjen dalam refleksi haul Gus Dur, Imlek dan haul Imam Al-Ghazali yang ke-935 di Pesantren Luhur Baitul Hikmah.

Betapa kita saksikan gelegak memuakkan dengan frame aksi bela agama dan Kitab Suci, mengawal fatwa MUI, memindahkan makam yang beda pilihan politik, tidak menyalati jenazah yang beda pandangan politik, menyamakan Pilpres dengan Perang Badar, sehingga lawan politk otomatis kafir plus auto neraka, juga apapun ekspresi dangkal dan sempit lainnya mencerminkan bahwa penyakit waham dan fantasi beragama yang justru menistakan agama dan menghina Tuhan.

Implikasinya, mereka ramai-ramai menyeret agama dan Tuhan dalam pusaran kebencian seenak perut dan syahwat mereka. Eksesnya, kebanyakan dari kita tak dapat lagi membedakan mana perlu, mana panting dan mana yang mendesak, mana politik mana agama, mana ulama mana karbitan. Bela agama itu abstrak, yang konkret adalah kemiskinan, bela Kitab Suci (apalagi dalam momentum politik) juga sangat maya, yang nyata adalah kebodohan dan pengangguran. Berdoa sembari mengancam Tuhan itu sangat dungu dan nirfaedah, yang cerdas adalah merawat kebinekaan dan membiarkan orang lain riang-gembira dengan warnanya masing-masing.


Kalau kita mau, kapan can do manapun kita bisa menjadi "manusia" dan menjadi baik (menolong, memberi, melepas, mendidik, memaafkan, merajut kebinekaan, menebar kasih dan kerukunan) tanpa harus menunggu Pilpres dan bergantung momentum politik.

Oleh karena itu, mobilisasi massa dengan biaya ratusan miliyar tentu menjadi sangat mubazir sebab Negara mengamankan aksi-aksi semu dengan pekik takbir ambigu itu dengan uang rakyat. Bahkan, yang lebih menggelikan, memilukan dan memalukan, hanya di Indonesialah pakaian, atribut, roti, partai politik, sains dan televisi harus beragama dan syar'i, take a beer, traktir!

Jika ditelisik lebih dalam, kemungkinan terjauh sikap ugal-ugalan dan banalitas dalam beragama adalah berangkat dari: Pertama, minimnya interfaith dialogue atau dialog lintas iman. Cara-cara beragama yang cengeng, fanatisme buta, pemahaman yang dangkal dan cara pandang yang kerdil dan jumud cenderung mengerucut pada eksklusivitas agama dan kelompok tertentu. Hanya agamanya yang benar, yang lain kafir; hanya kelompoknya yang punya kavling surga, sementara yang lain bahan bakar neraka. Dengan kata lain, yang tidak sepaham, sebangsa, sesuku dan seselera dengan kepentingan politik mereka adalah musuh-musuh Tuhan.

Pada episentrum ini, ustadz Maximilian Weber mengingatkan agar negara dan otoritas agama menginisiasi dialog-dialog lintas iman sebagai bentuk penghargaan dan toleransi atas kebinnekaan. Sangat boleh jadi mereka para pembenci adalah mereka yang menutup diri dengan mempertuhankan diri sendiri dan mempersetankan yang lain. Dalam hal ini, negara dan masing-masing kita harus intoleran terhadap intoleransi itu sendiri.

Baca juga: Pahala Hoax

Kedua, kesenjangan sosial. Jurang yang terlalu merentang-menganga antara kaya-miskin, terpelajar-primitif, jomblo-poligami, mustadh'afin-mustakbirin, proletar-pemodal, ulama KW dan pasukan nasi bungkus tak ayal kerap menyeret manusia pada pusaran kebencian tak berujung, kedunguan tak terbendung.

Benderang sekali bahwa kebanyakan si Miskin membenci si Kaya, terutama kalau si kaya ini ternyata China dan non-muslim. Konsekuensinya, para pembenci mencari-cari legitimasi dari Kitab Suci, bahkan Tuhanpun dipaksa menjadi Pembenci seperti mereka. Lahirlah gerakan anti kafir besar-besaran, anti asing gila-gilaan, padahal semua yang mereka kenakan adalah buatan kafir dan asing. Lantas, nikmat kafir manakah yang masih kau dustakan?

Ketiga, lembaga keagamaan yang diinisiaai oleh Negara dan dilegitimasi oleh Penguasa. Kita tahu bahwa MUI didirikan oleh Haji Muhammad Soeharto pada 1970 semata untuk melegitimasi kepentingan monarki dan oligarkinya, karena memang ormas yang mainstream seperti NU dan Muhammdiyah berseberangan dengan rezim Orde Baru. Nah, belakangan lembaga tersebut—kerena sebagian diisi oleh tengkulak—sering menakut-nakuti orang dengan fatwa yang lucu dan aneh-aneh. Konon, tiap tahun lembaga itu mendapatkan 480 triliyun untuk lebelisasi dan sertifikasi halal dan tidak diaudit (Anda mau bilang "wow!"). Pantaslah ketika 1999 presiden Gus Dur meminta Gus Mus untuk jadi ketua MUI, dengan setengah berkelakar Gus Mus menolak, "pagi saya dilantik, sore saya bubarkan MUI!"

Apapun itu, para pembenci adalah saudara kita yang tidak boleh kita benci, sangat mungkin mereka kita sadarkan, kita ajak dialog agar jenggot mereka lebih ilmiah dan toleran terhadap segala bentuk perbedaan dan jika perlu—ini jurus pamungkasnya—kasih mereka jabatan strategis, kasih mereka panggung agar tidak takbir di jalanan, angkat jadi Nabi jika perlu agar fantasi (dalam beragama) dan ilusi (dalam bernegara) mereka kian menjadi-jadi.

Dalam momentum Rajab ini, ada baiknya kita merenungi firman Tuhan dalam sebuah hadits Qudsi: sabaqat rahmati 'ala ghadhabi (Aku selalu mendahulukan cinta-kasih dari pada kebencian).

Nah, pertanyaan kampungan yang tersedia kemudian di depan hidung Anda adalah: siapakah Tuhan para pembenci itu? Tak lain, adalah diri mereka sendiri. Demikian, Kisanak. Jangan lupa ngopi!

Foto: Ach. Dhofir Zuhry