Kartini Blusukan dan Budaya Korupsi - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

21 April 2019

Kartini Blusukan dan Budaya Korupsi



Penulis: Sunardian Wirodono

Atorcator.Com - Setelah berkali-kali menampik bujukan Residen Semarang Pieter Sijthoff dan Nyonya Marie Ovink-Soer, istri bekas asisten Residen Jepara, untuk membebaskan Kartini, Rukmini, dan Kardinah dari pingitan, sang ayah Raden Mas Adipati Ario Sostroningrat  akhirnya mencabut belenggu itu pada 2 Mei 1898. Kala itu, pingitan Kartini menjelang memasuki tahun keenam, sedangkan Rukmini dan Kardinah tahun kedua.

Seperti ingin merayakannya, sang ayah mengajak tiga putrinya tersebut ke luar Jepara. Mereka menghadiri perayaan Hari Penobatan Ratu Wilhelmina di ibu kota Karesidenan, Semarang. Dalam hidupnya, ini pertama kali bagi Kartini keluar dari Jepara.

Kartini menggambarkan suasana hatinya itu dalam suratnya kepada Estelle ”Stella” Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899, yang disitir Sitisoemandari Soeroto dalam bukunya, Kartini: Sebuah Biografi, seperti dimuat majalah Tempo, 22 April 2013.

“Sungguh, ini adalah kemenangan kami, kemenangan yang begitu kami dambakan. Adalah hal aneh bagi gadis-gadis sekelas kami muncul di keramaian, orang-orang mulai menggosip dan memperbincangkannya, 'dunia' menjadi terheran-heran. Hei, bersulanglah untuk kami! Dunia serasa menjadi milik kami”!

Kembali dari Semarang, ketiganya sepakat mewujudkan diskusi-diskusi yang selama ini mereka bicarakan dalam kamar pingitan. Apalagi orang tua mereka merestui ketiganya untuk ”menyelidiki” kehidupan rakyat--mengetahui bagaimana kehidupan di luar. Maka, bersama dua saudaranya itu, Kartini blusukan keluar-masuk kampung, terutama di Jepara bagian selatan. Mereka mendatangi sejumlah sentra kerajinan rakyat. Lewat inilah Kartini mengetahui suka dan duka masyarakat sekelilingnya. ”Oleh-oleh” dari blusukan itu dia tuangkan dalam sejumlah tulisan.

Bakat menulis Kartini terasah sejak ia dipingit. Awalnya hanya Sosrokartono, Rukmini, dan Kardinah yang mengetahui kemampuan ini. Tulisan pertamanya adalah mengenai upacara perkawinan suku Koja di Jepara. Kartini dengan sangat detail menggambarkan prosesi perkawinan warga keturunan Arab tersebut.

Dia, misalnya, menggambarkan tradisi brinei mempelai perempuan di malam sebelum pernikahan, yakni mewarnai kuku jari dengan tumbukan halus daun pacar atau inai. Ia juga mendeskripsikan pakaian pengantin, bentuk kuade (dekorasi pelaminan), suasana selamatan, sampai ajuran--upacara saling menyuap nasi kuning. Tak ketinggalan ritual mandi-mandi, yang menandai akhir tiga hari larangan pengantin keluar dari kamar.

Bagi Didi Kwartanada, sejarawan Yayasan Nabil yang banyak meneliti tentang Kartini, artikel perkawinan di Pekojan itu karya tulis yang luar biasa. Didi bahkan menyebutnya sebagai karya ilmiah. “Bukan hanya wartawan pertama, melainkan juga antropolog pertama Indonesia,” katanya.

Karangan Kartini yang berjudul Het Huwelijk bij de Kodja's (Perkawinan Itu di Koja) tersebut dipublikasikan dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (Jurnal Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Sosial Asia Tenggara dan Oseania) volume 50 nomor 1 tahun 1898 (halaman 695-702). Ini merupakan jurnal ilmiah bidang bahasa, antropologi, dan sejarah terpandang serta masih terbit sampai saat ini sejak 1853.

Memang tak tercantum nama Kartini sebagai penulis artikelnya. Yang muncul nama bapaknya. Jaap Anten dari Departemen Arsip dan Foto pada Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) memberi penjelasan dalam situsnya perihal tiadanya nama Kartini. “Tidak dicantumkan nama Kartini tapi nama ayahnya demi alasan keamanan,” tulisnya. Kartini menulis artikel tersebut pada 1895 saat berusia 16 tahun.

Tulisan itu pertama kali ditunjukkan Kartini kepada Marie Ovink-Soer. Dia menyarankan Kartini terus berlatih karena berbakat. Jiwa Kartini meluap-luap sehingga tambah bersemangat menulis. Tapi karangan itu hanya ia simpan. Baru tiga tahun kemudian Kartini menemukan kembali saat membereskan lemari. Tulisan itu lalu ia tunjukkan kepada sang ayah. Sosroningrat, yang diminta KITLV membantu memasok tulisan, lantas mengirimkan karangan anaknya tersebut.

Bukan hanya perkawinan adat Arab yang Kartini tulis. Pada buku Panggil Aku Kartini Saja karangan Pramoedya Ananta Toer, disebutkan Kartini juga menulis perkawinan di kalangan pembesar pribumi. Tulisan itu agaknya merupakan hasil reportasenya atas perkawinan Kardinah pada 24 Januari 1902. Soalnya tulisan itu cocok dengan surat Kartini kepada Hilda Gerarda de Booy-Boissevain pada 21 Maret 1902, yang bercerita detail tata cara pernikahan adat Jawa sejak tiga malam sebelum pernikahan, widodareni, akad nikah, hingga selamatan.

Menurut Pramoedya, tulisan itu tidak pernah diterbitkan meski sebuah majalah terbitan Belanda berkali-kali meminta. Kendati majalah itu menawarkan penulisan anonim, Kartini tetap menolak. Alasan Kartini: orang akan tetap tahu bahwa itu tulisannya. Pada masa itu hanya sedikit orang Indonesia yang bisa menulis dalam bahasa Belanda dan, lebih sedikit lagi yang bisa dipublikasikan. Jadi gampang diterka siapa penulisnya.

Kartini lebih menyukai publikasi tanpa mencantumkan namanya. Tulisan-tulisannya di majalah De Echo--majalah perempuan Hindia yang berbasis di Yogyakarta--menggunakan nama samaran Tiga Saudara. Pemimpin Redaksi De Echo Nyonya M. Ter Horst menyediakan kolom khusus untuk Tiga Saudara. Harian terbesar masa itu, De Locomotief, yang berbasis di Semarang, memuji tulisan-tulisan yang dikirimkan dengan nama pena Tiga Saudara.

Ihwal ini, Kartini mengakuinya dalam surat kepada Stella tertanggal 30 Agustus 1900. Dia mengaku sering ditanya tentang tulisannya dengan nama Tiga Saudara dan ia selalu menyangkal. “Aku sungguh tidak suka jika orang menanyakan hal itu. Mungkin mereka menganggap aku berpura-pura, tapi sungguh aku tidak suka dipuji,” tulis Kartini.

Publikasi Tiga Saudara itu membawa hal lain kepada Kartini. A.G. Boes, Direktur Sekolah Pelatihan Calon Kepala Bumiputera di Probolinggo, meminta kepada ayahnya agar Tiga Saudara mengisi jurnal untuk penerbitan berbahasa Belanda pertama bagi bumiputra. Kepada Stella, Kartini menyebut jurnal bernama De Nederlandsche Taal itu bergaya ”Lelie kita” (Hollandsche lelie).

Perihal jurnal itu, Kartini juga menyinggungnya dalam surat kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri tertanggal 21 Desember 1901, seperti dimuat dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya tulisan Sulastin Sutrisno. Kartini bercerita, Boes mengirimkan daftar topik yang harus ia kupas, di antaranya tentang pengajaran bumiputra untuk anak-anak perempuan dan lembaga bumiputra yang berguna.

Kartini juga menulis tentang seni batik. Dalam surat kepada Stella tertanggal 6 November 1899, seperti dikutip di buku Aku Mau: Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartika kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903), Kartini mengutarakan kegembiraannya perihal artikel batik yang ia tulis setahun sebelumnya yang akan diterbitkan menjadi buku. “Sedikit melegakan rasanya saat mendengar berita yang tak kukira sebelumnya. Sama sekali aku sudah lupa semuanya.”

Buku itu terbit dengan judul De Batikkunst in Ned lndie en haar Geschiedenis (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya), yang ditulis G.P. Rouffaer dan Dr H.H. Juijnboll. Buku ini termasuk karya besar. Dicetak pertama pada 1900 oleh H. Kleinman & Co, ia lalu dicetak ulang pada 1914 oleh A. Oosthoek, Utrecht. Tulisan Kartini dalam bahasa Belanda yang bagus itu ditempatkan pada bab pertama buku tersebut. Tulisan itu dikenal dengan sebutan Handschrift Japara (Manuskrip Jepara).

Artikel itu sebenarnya termasuk barang-barang koleksi perbatikan yang terdapat dalam peti yang disumbangkan Kartini untuk Pameran Nasional Karya Wanita (Nationale Tentoonstelling voor Vrouwenarbeid) di Den Haag. Koleksinya terdiri atas 4 potong mori, 16 potong batik yang masih ada lilinnya, 2 kain yang sudah jadi batik, 4 canting, 1 wajan kecil, 2 gawangan, 1 anglo kecil, dan 2 bandul. Kain batik itu merupakan karya Tiga Serangkai yang halus, menarik, dan anggun selayaknya dikerjakan orang yang berbakat membatik dan melukis.

Kartini sebenarnya bimbang menentukan cita-citanya, apakah menjadi guru, dokter, perawat, ahli kesenian, atau pengarang. Suratnya kepada Stella pada 11 Oktober 1901 menceritakan tentang ini. Dia bercerita ayahnya ingin ia menjadi guru, tapi ia sadar biayanya mahal. Ada memang sekolah dokter untuk pribumi, STOVIA, yang menggratiskan uang sekolah bagi laki-laki, tapi ia tak berminat karena pendidikannya lama. Kartini menyebut bidang sastra kecintaannya. “Kautahu ini adalah mimpiku bila suatu hari nanti aku bisa menjadi penulis yang diperhitungkan dalam bidang seni sastra.”

Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan penulis Kartini Pribadi Mandiri, menyebutkan tulisan Kartini istimewa karena kritis dan mengangkat isu sosial. Ini yang membedakan dengan pahlawan lain. “Karena ia meninggalkan tulisan,” ujar Saparinah.  | Dikopas sepenuhnya dari tulisan TIM TEMPO, “Tiga Serangkai Ini Rajin Blusukan”, Tempo.Co., Kamis, 21 April 2016 | 07:00 WIB

KARTINI & KORUPSI | Raden Ajeng Kartini menyoroti persoalan korupsi oleh pejabat negara pada zamannya. Ia mengutuk praktik korupsi tersebut. Mari menilik pemikirannya soal korupsi.

"Kejahatan yang memang ada atau lebih baik yang merajalela ialah hal menerima hadiah yang saya anggap sama jahat dan hinanya dengan merampas barang-barang milik rakyat kecil," demikian tulis Kartini pada sahabat penanya, Estella Zeehandelar, di Belanda, 12 Januari 1900.

Namun, Kartini melihat korupsi pada zamannya secara lebih "manusiawi". Korupsi bukan semata-mata karena sang pejabat negara itu, melainkan juga karena sistem pemerintahan yang belum mapan sepenuhnya.

Kartini menulis, "Tetapi, saya tidak boleh hanya menyalahkan hanya berdasarkan kenyataan-kenyataan begitu saja. Saya juga harus memperhatikan keadaan para pelaku kejahatan itu."

"Menerima hadiah-hadiah itu dilarang oleh pemerintah bagi pegawai-pegawai. Tetapi, kepala-kepala Bumiputera adalah golongan rendah yang digaji sedikit sekali sehingga hampir merupakan suatu keajaiban bagaimana mereka mencukupi keperluan hidup dengan gaji yang sedikit itu," lanjut dia.

Ironi juru tulis distrik | Kartini yang merupakan putri dari seorang bangsawan kemudian mencontohkan gaji juru tulis distrik.
Ia menyebut, juru tulis bekerja sampai bongkok punggungnya, tetapi tidak mendapat gaji yang layak.

Meski hanya juru tulis, mereka dihadapkan pada gaya hidup pemerintahan yang cukup mewah kala itu, menyesuaikan dengan orang Belanda yang menjadi kaki tangan di Bumi Nusantara.
Ia harus membiayai keluarganya, membayar sewa rumah, berpakaian rapi dan bersih. Intinya, tulis Kartini, mereka harus menunjukkan kecukupan lahiriah demi menjunjung tinggi martabat golongan dibanding mereka yang bergolongan lebih rendah, rakyat jelata. Ironis.

Saat pertama kali atau kedua kali diberi setandan pisang oleh penyuap, lanjut Kartini, mereka masih bisa menolak.

Namun, ketika dicoba diberi untuk ketiga kali hingga keempat kali, mereka mulai bimbang hingga akhirnya tanpa ragu menerimanya.
"Apa yang saya lakukan ini bukanlah suatu kejahatan, pikirnya. Saya kan tidak minta, saya diberi. Dan memangnya saya gila untuk menolak, kalau saya dapat menggunakan pemberian itu dengan baik," tulis Kartini.

Kartini menganggap, pemikiran seperti inilah yang membahayakan bagi kerusakan moral pejabat.

"Pemberian hadiah itu bukan hanya pernyataan penghormatan, tetapi juga alat pencegah salah suatu kejahatan yang pada suatu hari dapat menimpa pemberi itu dari pihak atasan. Nah, kalau ia ditangkap oleh wedana karena salah satu pelanggaran kecil, maka ia dapat mengharapkan pembelaan dari temannya, juru tulis distrik itu," tulis Kartini.

Camat, tak beda | Di tingkat lebih tinggi lagi, camat, juga tak ada bedanya. Gaji camat hanya 8,5 frank. Dengan uang segelintir itu, camat harus membayar juru tulis.

Sebab, ia tidak disediakan juru tulis oleh pemerintah. Ia juga harus membayar bendi atau dokar lengkap dengan kuda, ditambah biaya memelihara kuda dan kusirnya, harus membeli perabot rumah, lalu mengongkosi rumah tangga.

Belum lagi jika ada asisten residen atau bupati yang datang. Ia harus menginapkannya di penginapan jika rumah sang camat dirasa terlalu jauh atau terlalu jelek.

"Camat mendapatkan kehormatan tertinggi, diperkenankan menyiapkan makan untuk mulut-mulut terkemuka itu. Cerutu, air Belanda, minuman keras, dan makanan cukup mahal, yakinlah, hal itu bagi kepala onderdistrik setingkat mereka merupakan pengeluaran besar," tulis Kartini.

Bahkan, perkara menangkap penjahat kala itu saja, sang camat mesti merogoh koceknya sendiri. Mereka menggadai perhiasan, menjual perabot. Uang itu tidak diganti pemerintah.

"Apa gerangan yang harus dilakukan para pegawai, yang gajinya tidak cukup dan tidak memiliki orang tua atau keluarga yang membantu mereka? Dan rakyat terus saja memberi hadiah, orang melihat anak istrinya berpakaian compang-camping... Jangan menilai keras, Stella."

"Saya tahu kesukaran kepala-kepala Bumiputera: saya tahu suka duka rakyat. Dan apa yang akan diperbuat pemerintah sekarang...?" | Dikopas selengkapnya dari “Menilik Pemikiran Kartini tentang Korupsi...”, Kompas.Com.