KH. Sahal Mafudz: Begawan Fiqih Sosial yang Pernah Dimilki Bangsa Ini - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Senin, April 15, 2019

KH. Sahal Mafudz: Begawan Fiqih Sosial yang Pernah Dimilki Bangsa Ini

islami.co

Penulis: Muhammad Rodlin Billah

Atorcator. Com - Sejauh ingatan saya saat diajak orang tua sowan ke ndalem beliau Alm. Dr. KH. Sahal Mahfudz ketika saya masih SMP, yang paling saya ingat ialah sosok beliau yang sederhana dan wajah-tubuh yang kurus.

Saya gagal menggali ulang apa saja yang dibicarakan oleh orang tua saya, bersama para paman dan bibi serta sepupu, saat sowan ke beliau. Mungkin karena saya masih terlalu kecil untuk mengerti, atau juga saya sekadar malas mendengar.

Beberapa kesempatan pertemuan berikutnya dengan beliau di Jombang juga ternyata tak berhasil membuat saya tertarik untuk mendengarkan dawuh-dawuh beliau.

Dan inilah satu dari sekian hal yang saya sesali belakangan ini begitu memahami bila beliau adalah salah satu begawan ilmu fiqih terbaik yang pernah dimiliki oleh bangsa ini.

Ingatan saya tentang kyai Sahal ini tiba-tiba mencuat kembali sebab tiga orang berbeda dalam waktu yang berdekatan.

Pertama, oleh goresan kuas digital mas Fihril Kamal. Karya karikatur mas Fihril yang beredar di FB membuat saya terkesima sebab detail-detail yang sangat mirip dengan yang ingatan saya tentang kyai Sahal.

Kedua, oleh bulik Evi Ghozaly. Status beliau dalam beberapa jam terakhir tadi menitikberatkan betapa pentingnya aspek keadilan untuk seorang pemimpin negara; beliau menyarankan untuk mendoakan siapapun yang nanti memimpin Indonesia agar menjadi pemimpin yang adil.

Ketiga, oleh guru kami kyai Ma'ruf Khozin. Pasca kajian online bersama beliau baru saja, kedua mata saya tetiba basah dengan sendirinya saat beliau mengatakan bahwa para kyai-kyai kita lebih banyak yang memilih untuk menjadi jembatan, yang meskipun diinjak-injak orang tetapi dapat menghubungkan (setidaknya) dua bagian yang terpisah, ketimbang menjadi tembok, yang malah memisahkan (setidaknya) dua ruangan meskipun tak diinjak-injak.

Ketiga sebab ini kemudian melemparkan saya untuk kembali membaca kata pengantar kyai Sahal sebagai Rais Am PBNU saat itu, dalam buku Solusi Problematika Aktual Hukum Islam yang tidak lain berisi keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU mulai tahun 1926 hingga 1999.

Seluruh kata pengantar itu, meskipun ditulis 15 tahun yang lalu, sarat dengan nilai dan hikmah, baik yang eksplisit maupun implisit, juga sangat relevan di masa ini.

Setidaknya dua paragraf dibawah ini sangat menarik buat saya. Saya tuliskan sama persis kecuali dengan perubahan pemisahan paragraf agar lebih mudah dibaca.

-awal kutipan-

Lebih jauh harus ditegaskan bahwa muara fiqih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma'a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma'a al-muslimin." Ibnu Taimiyah juga pernah berkata: "Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) muslim."

Dalam kerangka berfikir ini, maka seandainya ada produk fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat maka harus ditinggalkan. Misalnya "fiqih politik" (fiqh siyasah) yang sering sekali diktum-diktumnya tidak sejalan dengan gagasan demokrasi yang mensyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan hukum.

Rumusan fiqh siyasah klasik biasanya menempatkan kelompok non-Muslim sebagai "kelas dua" bukan sebagai entitas yang sederajat dengan kaum Muslim. Saya rasa pandangan demikian harus mulai diubah. Sebab pandangan ini selain bertabrakan dengan gagasan demokrasi modern juga bertentangan dengan ide negara bangsa (nation-state) seperti Indonesia.

Profesionalisme, kemampuan dan kapabilitas mestinya menjadi pilihan utama, bukan Muslim atau tidak, bukan laki-laki atau perempuan.

Ada satu contoh kecil. Suatu hari saya menitipkan barang kepada seseorang yang dapat dipercaya dan kebetulan ia bukan Muslim. Pertanyaannya apakah boleh menitipkan barang kepada dia? Kan lucu kalau tidak boleh.

Tentu tidak semua persoalan melibatkan non-Muslim dengan dalil demokrasi. Kalau mengenai urusan-urusan yang berkaitan dengan permasalahan umat Islam seperti penyusunan UU zakat tentu mereka tidak boleh dilibatkan, sebab bukan kompetensinya.

Jadi, prinsipnya pada kata keadilan (kemaslahatan). Maka kalau ada fiqih-fiqih klasik yang tidak relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka harus dibuat fiqih baru. Harus diingat bahwa yang namanya fiqih itu mesti ijtihady.

Fiqih siyasah itu sendiri bukan sebatas kekuasaan kekuasaan tetapi lebih kepada kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kemaslahatan umum. Rasul sendiri pernah berkata: "Antum a'lamu bi umuri dunyakum." Artinya pada wilayah "non ibadah" semisal kepolitikan, umat Islam diberi kebebasan penuh untuk merumuskan dasar-dasar politik yang adil dan egaliter sehingga bisa diterima semua pihak.

Rumusan itu harus mengacu pada prinsip maqashid al-syari'ah yang meliputi lima hal, yaitu (1) melindungi agama (hifzh al-din), (2) melindungi jiwa dan keselamatan fisik (hifzh al-nafs), (3) melindungi kelangsungan keturunan (hifzh al-nasl), (4) melindungi akal pikiran (hifzh al-'aql), dan (5) melindungi harta benda (hifzh al-mal).

Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam penyembahan Tuhan dalam arti yang terbatas pada serangkaian perintah dan larangan yang tidak dapat secara langsung dipahami manfaatnya.

Dalam kerangka pandang ini, maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia (kecuali yang bersifat ubudiyah murni) harus disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan. Karena hanya dengan menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dapat dilaksanakan dengan baik.

-akhir kutipan-

Lahu al-fatihah...