Saya Pikir 17 April Selesai, Ternyata Tidak Bagi Kubu Prabowo - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

18 April 2019

Saya Pikir 17 April Selesai, Ternyata Tidak Bagi Kubu Prabowo

 
gatra
Penulis: M Kholid Syeirazi

Atorcator.Com - Saya pikir—dan banyak orang berharap—17 April adalah puncak kelelahan batin dan jiwa bangsa Indonesia. Setelah itu plong, lega. Ini kali pertama bangsa Indonesia mengalami pemilu serentak. Jangan dikira gampang. Ada empat- lima lembar, kertasnya lebar-lebar. Hanya kertas Capres/Cawapres yang paling kecil. Sisanya besar-besar, gambarnya banyak. Bayangkan bapak/ibu, kakek /nenek kita yang sudah lamur matanya. Harus buka dan mengamati banyak gambar yang membingungkan. Artinya, kalau ini bisa dilewati dengan baik, kita sebagai bangsa berhak menepuk dada. Demokrasi kita tidak main-main.

Setelah itu, ada metode ilmiah, berdasarkan teknik pencuplikan data acak, yang dapat secara kasar menerka siapa pemenang baik Pilpres maupun Pileg. Setelah itu, semua orang legowo. Inilah hasil referendum rakyat, kalau mau pakai istilah itu. Kalah-menang biasa. Hasil akhir tunggu real count KPU. Itu aturannya. Meski akurasinya tinggi, QC tidak bisa jadi pegangan untuk deklarasi kemenangan. Saya kira Jokowi, yang sementara menang versi QC, sudah benar. Pidatonya minta pendukungnya sabar menunggu hasil akhir KPU. Seandainya isi pidato Prabowo sama, pasca 17 April kita bisa kembali bekerja tenang. Linimasa medsos cooling down. Semua orang plong setelah kenduren akbar.

Yang bikin ruwet adalah pidato Prabowo dan statemen orang-orang dekatnya. Pertama-tama menyoal QC dan meragukan kredibilitas surveyor. Secara tidak langsung menyangkal metodologi ilmiah. Seluruh lembaga survei kredibel yang terdaftar di Persepi ijma’ (muttafaqun ‘alaih) memenangkan Paslon 01. Orang Prabowo mentahkan kredibilitas mereka semua. Yang kedua, dan ini paling parah, deklarasi kemenangan berdasarkan—katanya—real count internal, dibumbui drama sujud syukur. Yang ketiga, ini yang buat orang ngeri-ngeri sedap, ancaman people power. Hanya orang GEMBLUNG yang menyangkal prinsip kerja ilmiah dan kemudian percaya bahwa di era IT yang sudah kayak rumah kaca orang bisa laku curang diam-diam. Kita masuk di era di mana rumput-rumput bisa bicara, dinding-dinding menyadap pembicaraan, genteng-genteng jadi saksi atas apa pun yang kita lakukan. Hanya orang SEMPRUL yang percaya bahwa penyelenggara pemilu bisa merancang kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif tanpa ketahuan orang. Karena itu, tuduhan kontan bahwa KPU curang dan mengancam people power  tidak lebih ekspresi dungu anak-anak kecil yang tidak siap berdemokrasi. Ini yang membuat pasca 17 April belum selesai.

Seandainya kita semua menahan diri, percaya pada KPU tanpa meruntuhkan kesahihan metodologi ilmiah, kita bisa menyongsong bulan suci Ramadan dengan tenang. Sebulan kemudian, kita lakukan halalbihalal nasional. Pak Jokowi dan Prabowo cipika-cipiki, para pendukungnya salam-salaman. Saya berharap momen itu betul-betul akan terjadi. Drama kemarin sekadar ekspresi defensif yang wajar dari sebuah kondisi kejiwaan orang yang berjuang untuk mulai berdamai menerima kenyataan.


Pak Jokowi dan Pak Prabowo, tunjukkanlah kepada dunia bahwa Indonesia bangsa besar dan beradab. Hentikan drama kanak-kanak yang mencerminkan mentalitas kerdil dari jiwa yang tidak matang. Kita semua berharap, pesta demokrasi kali ini adalah pergelaran kebesaran jiwa dan kelapangan dada dari semua aspiran kekuasaan yang percaya kedaulatan berada di genggaman rakyat.