Sexy Killers: Politik Oligarki Tambang Batubara Dibalik Kedua Capres - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

12 April 2019

Sexy Killers: Politik Oligarki Tambang Batubara Dibalik Kedua Capres

jpc

Penulis: Roy Murtadho


Atorcator.Com - Saking banyaknya komunitas, dan masyarakat umum yang membuat nobar #SexyKillers di berbagai wilayah di Indonesia. Sampai nggak bisa lagi nge-share satu persatu untuk turut mengabarkannya.

Sejak lama saya merasa akun ini, tugasnya yang paling utama adalah untuk menyebarkan, atau mengabarkan berbagai kegiatan dan akivitas kawan-kawan jaringan. Kalaupun pamer, dikit-dikit lah ya. Namanya juga medsos. Namun jujur, kali ini, saya merasa sudah kuwalahan untuk turut mengabarkan kegiatan nobar #SexyKillers besutan Watchdoc, wabil khusus mas Dandhy Dwi Laksono, Tommy Apriando, Merah Johansyah Ismail dkk. Ada banyak kiriman kegiatan berupa foto kegiatan nobar film ini ke saya dari berbagai komunitas yang menyelenggarakannya. Saking banyaknya saya cuman bisa bergumam dalam hati, "ya Tuhan. Ini pertanda apa? antusiasme masyarakat pada semua film produksi Watchdoc, dan kali ini pada #SexyKillers, menunjukkan satu hal pada kita bahwa masyarakat membutuhkan suguhan informasi yang benar yang diolah dari data riset yang dikerjakan secara persisten tapi disuguhkan dengan cara yang menarik, yang selama ini sulit mereka dapatkan ". #SexyKillers menjadi salah satu contoh terbaik dari bagaimana informasi yang benar itu ditampilkan. Dan tentu saja mencerdaskan.

Sejauh ini, masyarakat hanya disuguhi ilusi dan citra kebajikan penguasa dan pengusaha. Mereka selalu ditampilkan sebagai--seolah-oleh--penjaga dan penyelamat NKRI. Padahal kalau di buka. Sesungguhnya merekalah yang membuat cita-cita republik ini porak poranda. Berantakan dan  menyengsarakan. Ini menjadi tantangan kita di era keterbukaan. Dimana segala hal boleh untuk dibicarakan, namun tak semua hal yang dibicarakan tadi mengandung kebenaran. Sebagian besarnya, lagi-lagi menyuguhkan ilusi dan citra penguasa+penguasaha. Menghadirkan rekaan bukan realitas sesungguhnya. Namun sialnya inilah yang disuguhkan oleh kebanyakan media koorporasi dan yang paling banyak dimamah masyarakat. Kebenaran tak pernah sampai dan ditutupi tudung ilusi tentang narasi kebijakan yang dibangun penguasa dan pengusaha.

Maka itu, semua kisah tentang akal sehat seperti dibangun Rocky Gerung atau pesan bijak Romo Magnis Suseno, agar memilih dengan bijak menjadi ironi di tengah kehidupan demokrasi semu di bawah selangkangan hasrat ekonomi politik oligarki. Bahkan pesan bijak para filsuf tersebut menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Alih-alih membongkar ilusi dan citra penguasa dan pengusaha, tapi justru makin mempertebalnya. Mereka lupa bahwa dalam konteks pemilu elektoral mereka tidak pernah memilih tapi dipilihkan. Apa yang dimaksud dengan bijak memilih di sini? Tak ada. Ilusi. Persis seperti miniatur kehidupan di jaman kapitalisme mutakhir. Di mana semua orang bebas memilih tapi, mereka tak punya kuasa untuk memilih. Karena faktanya mereka selalu telah dipilihkan. Bahkan selera hasratnya pun telah dikonstruksi oleh seperangkat ide dan selera pasar. Bukan pilihan mereka.

Artinya apa. Kita tak mendapat asupan informasi yang benar di tengah banjir informasi. Yang mereka tangkap hanyalah citra. Sesuatu yang sifatnya seolah-olah, bukan senyatanya. Semua omongan elit bisa dipastikan sebagian besarnya adalah hoax. Baik hoax tentang pembangunan maupun tentang cita-cita khilafah Islam.

Anak saya yang masih usia 11 tahun saja tahu, bahwa apa yang dikatakan Prabowo dan Jokowi dalam debat pilpres dengan tema lingkungan beberapa waktu lalu bukanlah pernyataan yang benar. "Itu kan nggak bener. Ya mana mau mereka menghukum perusahaan perusak lingkungan seperti yang dikatakan di debat. Lha kalau benar begitu (seperti yang telah mereka katakan akan menghukum perusahaan perusak lingkungan). Mereka harus menutup perusahaan milik mereka sendiri. Lha terus siapa nanti yang ngasih duit buat kampanye? Begitu ya yah?" Demikian katanya dan berusaha meyakinkan saya. Mengapa Ia bisa berpikir begitu. Sederhana. Karena Ia melatih dirinya untuk menggali informasi yang benar dengan kritis. Mencari sumber-sumber informasi yang bisa dipercaya kebenarannya. Tapi apakah itu terjadi bagi semua masyarakat Indonesia. Tentu tidak. Mereka adalah korban dari informasi yang tidak benar atas semua isu yang beredar.

Jadi, bagaimana masyarakat bisa memilih di dengan bijak, dan menggunakan akal sehatnya dengan maksimal sementara prasyarat untuk memenuhi itu semua tak pernah ada. Semua info yang benar telah didistorsi oleh penguasa dan pengusaha. Inilah yang dulu di sebut oleh Coen Pontoh, sebagai hidup di jaman demokrasi pasar. Sekarang kita merasakannya. Jadi aneh juga kalau ada anak muda sekolah luar negeri ke Eropa masih mengatakan bahwa film #SexyKillers adalah pesanan donor yang merusak. Lha kenapa ia nggak bisa mikir kayak anak saya yang SD tadi. Atau jangan-jangan karena terlaku canggih memamah segala rupa teori sampai nggak mampu lagi berpikir sederhana, karena saking rumitnya kajiannya. Bisa jadi. Kenapa orang-orang pintar itu nggak nanya, misalnya, dari mana sumber duit yang dipakai untuk mendanai semua aktifitas kampanye elit? Dari mana sumber duit yang dipakai semua kubu untuk membayar elit agama dan membentur-benturkan mereka semua agar sibuk berantem sendiri? Kira-kira dari mana duit yang dipakai para elit politik untuk memproduksi hoax dan fitnah, agar sesama rakyat saling memukul?.

Kadang-kadang, bukan mau menghina. Sekolah tinggi-tinggi seperti orang-orang hebat itu tapi karena kurang atau enggan bergaul dengan rakyat, tidak memiliki pengalaman harian dengan mereka yang di sisihkan dan menjadi korban dari semua cerita agung pembangunan, bukannya menjadi teman seperjuangan masyarakat justru menjadi juru bicara perampasan dan perusakan.

Alhasil, sebagai penutup perjalanan Indonesia Biru, film ini menjadi suguhan yang menarik sebab di dalamnya berisi kombidansi antara ironi hidup rakyat di Indonesia dan panggung politik oligarki yang bergelimang uang tambang. Jadi siapapun yang melihat pasti dibuat campur aduk. Tertawa, sekaligus miris, gemas, dan marah melihat kondisi republik ini.  Bayangkan saja, ada gubernur seperti gubernur Kaltim, yang konon katanya terpilih melalui proses demokratis. Setelah melihatnya, Anda akan dipaksa untuk berpikir ulang tentang demokrasi kita. Ada apa dengan demokrasi kita, mengapa para pengecut seperti gubernur Kaltim bisa menjadi pemimpin?? Ada apa dengan demokrasi kita sehingga kita hanya dipaksa memilih antara Jokowi dan Prabowo.

Lihat saja statemen sang gubernur Kaltim, Ia dengan enteng mengatakan bahwa kematian anak-anak di lubang tambang batubara adalah takdir dan nasib yang harus diterima masyarakat. Gimana perasaan Anda. Bayangkan bagaimana perasaan keluarga korban yang mendengarnya? Saya sendiri pernah berjumpa dengan para ibu yang anaknya tenggelam di bekas lubang galian tambang batubara. Salah seorang ibu bercerita tentang kampungnya yang dihancurkan dan anaknya yang tenggelam di lubang galian tambang, bahkan sambil menangis sesenggukan di pundak saya. Saya mendengar langsung keluh kesah, dan kekecewaan mereka. Saya juga pernah lihat langsung bagaimana lahan petani dan nelayan dirampas tanah dan mata pencahariannya secara sewenang-wenang yang melibatkan tak hanya aparat, tapi juga elit agama. Saya mendengar langsung semua kisah penghancuran hidup tersebut. Setelah tanah, dan kampung halaman milik mereka dirusak, kini sesuatu yang paling berharga dari hidup mereka yaitu, anak-anaknya pun telah direnggut perusahaan tambang batubara milik para mantan jenderal yang Jakarta gemar jual omong menjaga NKRI. Dan menjual citra bahwa dirinyalah penjaga NKRI yang sejati. Bagaimana kira-kira perasaanmu?


Sudah bisa dibayangkan. Bila Anda ada di dekat sang Gubernur Kaltim. Anda pasti ingin sekali memukul mulutnya pakai sandal swallow, atau nyeplok telur dadar di atas kepalanya. Gemes, muak, jengkel, tapi mengambil tindakan benar. Itulah Sexy Killers. Terimakasih kawan-kawan. Kalian berharga bagi hidup dan pikiranku untuk tetap waras dan waspada hidup di bumi Indonesia yang secara sosial ekologis telah porak-poranda.