Terimakasih Tamparannya Pak, Kini Saya Menjadi Lebih Baik - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

24 April 2019

Terimakasih Tamparannya Pak, Kini Saya Menjadi Lebih Baik

adi sumaryadi

Penulis: Robert Azmi

Atorcator.Com - Tiba-tiba ada pemuda parlente dengan mobil, bergegas menghampiri lelaki umur hampir setengah abad itu. Ia tersenyum bahagia, lalu langsung meraih tangan lelaki itu. Dan, “Cuppp!” tangannya ia cium.

“Sam pi yan, siapa?” gagap sang lelaki mendekati sepuh itu, kebingungan.

“Ini, Saya pak, Si Anu, murid Bapak di SMP dulu”

“Owalahhhh .... Kamu tho? Kok berubah? Alhamdulillah sekarang kamu sudah beda, ya?”

“Ah, nggak, masih sama kok, Pak. Ini saya yang dulu ... Tapi kalau bukan karena tamparan Bapak dulu, saya tidak akan bisa seperti ini. Terimakasih Bapak telah menampar saya.”

Dengan mata berkaca bahagia, lelaki gaek itu menceritakan kisahnya pada hamba. “Lha memang, dulu dia nakalnya naudzubillah. Tiada satu gurupun yang berani kepadanya. Akhirnya setelah semua usaha kulakukan, karena gelap mata, tamparan itu jadi pilihan terakhir. E, Alhamdulillah, hatinya terbuka. Tidak marah padaku, malah berterimakasih,” sejenak kemudian, dia malah tersenyum geli sendiri, “Aku dulupun sebenarnya juga agak lumayan juga sih hehe ... tapi berkat itu, sampai sekarang guru yang kujahili malah aku semakin mendekat dan mengaguminya”.

“Lho, memang apa jahilnya?” sergahku.

“Waktu dulu Beliau mengajar Matematika didepan kelas dan dilanjut dengan menguji kami satu persatu. Ketika giliranku, aku malah ngomong, ‘Halah Pak ... Pak ... Wong Matematika tidak jadi pertanyaan kubur saja kok dipersulit’”.

Aku seketika ngakak sekerasnya. Dan maklum akan kejadian setelahnya.

Guru zaman dulu, kisaran 90-80 kebawah, memang rata-rata bloko sutho; terang-terangan menyalahkan dan menasehati anak didiknya ketika ada salah. Karena mereka lepas, tiada perasaan apa-apa dengan orang tua yang telah 100 persen pasrah padanya, dan yang ada hanya bagaimana agar anak didiknya bisa menjadi lebih baik.

Kalau sekarang, entahlah. Tapi yang jelas, model pendidikan zaman dulu itu, masih banyak diterapkan di Pesantren berbasik salaf. Banyak dari para Kyai muda ataupun sepuh yang langsung mak klek; secara langsung menegur para santri yang tidak sesuai dengan syariat atau adab: Bawa kitab tidak hormat, ditegur. Dengan guru tidak hormat, ditegur. Apalagi hal yang jelas-jelas melanggar syariat. Itu khusus untuk anak didik mereka yang telah dipasrahkan orang tuanya. Untuk berhadapan dengan masyarakat awam, beda lagi gayanya.

Seperti kemaren waktu Haflah Akhir Sannah Madrasah Desa kami. Ketika Mbah Yai Muballigh yang sepuh naik keatas panggung agak tinggi. Karena santri panitia tidak cekatan untuk mengiring dan memapahnya. Kakak hamba bergegas maju untuk memapah Beliau. Dan kemudian membisiki salah satu panitia, “Gimana Sampeyan ini?! Mbok yao adabnya di lakukan cekatan. Lihat Mbah Yai kesulitan langsung tanggap!”.

“Masalah adab, memang saya agak tidak sabaran, Dik,” katanya padaku, “Sebab dulu ketika ada salah satu Kyai sepuh datang ke acara. Aku tidak ikut-ikutan berdiri menyalami Beliau. Waktu Beliau mendekat mengulurkan tangan, sedang aku masih duduk. Beliau membisikiku, ‘Hei, kalau ada Kyai datang, berdiri!’. Seketika itu Beliau mengajarkan adab padaku. Dan itu selalu terngiang sampai sekarang.”

Dalam sebagian riwayat. Hadratus-Syaikh Mbah Yai Hasyim Asy’ari, kok melihat ada santri sowan berdiri. Dengan tegas langsung berkata, “Duduk!”.

Malah kawan saya ada yang ektstrim. Ketika ada anak kelas sowan dan meminta salaman. Kok tidak mencucup tangannya. Dia bilang, “Ulangi! Salaman macam apa itu?! Cucup ini tangan!” Kalau sudah Cupppppp! “Nah, ini baru benar. Kalau sama Mbah Yai dan Orangtuamu, harus gitu cara salamannya!”

Ini bukan tentang Kyai atau guru ingin dihormati. Bukan! Tapi ini tentang pengajaran tatakrama yang jadi hal paling utama. Aduhai, betapa banyaknya yang pintar dan cerdas, tapi menyakiti sesama tanpa sadar, sebab lakunya tanpa adab.

Ingatkan? Dawuh, “Menjaga adab lebih baik daripada mengikuti perintah?!” dimana asal muasalnya adalah ketika Kanjeng Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wasallama melarang sahabat untuk memuji Beliau, tapi malah para karib baginda Nabi SAW. banyak yang menciptakan Syair pujian. Hingga ada dawuh, “Adab diatas ilmu”.

Jadi, kisah terbuka hati anak SMP yang kena tampar, sekaligus gurunya yang dulu juga ruwet diatas. Kalau tidak terpantik dengan adab dan rasa syukur. Apakah ada alasan lain?

Imam Syafi’i pernah mencontohkan adab pada orang yang suka memotong pembicaraan. Dan itu langsung didepan khalayak ramai: “Aku selesaikan dulu masalah ini, baru nanti ke permasalahan yang kamu kehendaki.” (Tadzkiratus-Sami’ Wal-Mutakallim Lis-Syaikh Badruddin al-Kannaani as-Syaafi’i Hal: 127 Maktabah Ibnu Abbas)


Wallahu A’lam bis-Shawaab.