Ada Upaya Internasionalisasi Kerusuhan 21-22 Mei - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

28 Mei 2019

Ada Upaya Internasionalisasi Kerusuhan 21-22 Mei

Ilustrasi foto (kerusuhan 21-22)

Penulis: Budi Setiawan

Atorcator.Com - Sejumlah pihak kini berusaha menginternasionalkan kerusuhan 21-22. Termasuk MER-C. Mereka mengatakan pemerintah melanggar Konvensi Jenewa.

Meski tidak disebut gamblang,  berbagai pihak yang mendukung perusuh berusaha menciptakan opini bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan pada kerusuhan 21-22. Sebuah tuduhan absurd,  tidak masuk akal dan kampungan.

PELINTIRAN KONVENSI JENEWA

Para pendukung kerusuhan memakai jurus Konvensi Jenewa untuk membawa kerusuhan 21-22 itu ke arena internasional.  Mereka memakai Konvensi Jenewa 1949 terutama Pasal 11, Pasal 24-27, Pasal 36, dan Pasal 37.

Pasal-pasal tersebut menegaskan petugas kemanusiaan dan kesehatan harus dihormati dan dilindungi oleh kedua belah pihak yang bertikai.

Namun gerombolan pendukung kerusuhan itu menutupi tujuan dari konvensi tersebut dan pada keadaan apa konvensi itu diberlakukan. Dan pada kondisi bagaimana  yang melanggar bisa dituntut melakukan kejahatan kemanusiaan.

Faktanya Konvensi Jenewa 1949  dan aneka protokol tambahan yang mengikutinya dan kemudian dibakukan menjadi SOP Palang Merah Internasional hanya bisa berlaku dalam keadaan perang.  sekali lagi dalam keadaan perang.

Pertanyaannya yang tentu saja mudah dijawab adalah apakah kerusuhan 2122 itu negara dalam keadaan perang?

Tentu saja tidak karena apa yang terjadi di depan Bawaslu adalah operasi pengendalian keamanan. Bukan pemberontakan.

KORIDOR KEMANUSIAAN

Lebih lanjut MER-C dan gerombolan pendukung perusuh memanipulasi tujuan dari Konvensi Jenewa itu.

Tujuan menghormati dan melindungi petugas kemanusiaan memasuki daerah konflik adalah menolong warga sipil yang terjebak konflik antara dua pihak.

Dan dengan penilaian objektif lembaga kemanusiaan yang terlibat maka pihak yang bertikai harus bersepakat menciptakan koridor kemanusiaan di zona aman.

Gencatan senjata biasanya diambil untuk memberi kesempatan bagi warga sipil keluar dari zona konflik.

Zona kemanusiaan itu nantinya akan dipakai untuk penyaluran bantuan dan upaya penyelamatan bagi combatan  yang terluka terlepas dari pihak mana mereka berasal.

Dari tujuan konvensi Jenewa tadi jelas gerombolan pendukung perusuh mencoba memanipulasi opini publik.

Karena dalam kerusuhan 21-22 tidak ada warga sipil yang terjebak. Yang ada perusuh pengidap halusinasi akut wujudnya Indonesia bersyariah melawan petugas keamanan.  Kaum perusuh memanfaatkan kebijakan tangan terbuka Prabowo menerima dukungan tanpa mau mencegah aksi protes itu menjadi kerusuhan.

TAMENG KEMANUSIAAN

Jadi jika alasan Konvensi Jenewa yang menjadi dasar  keberadaan Dompet Dhuafa dan ACT di lokasi kerusuhan,  maka pendapat itu sama sekali salah.

Apalagi jika melihat kasus Suriah,  banyak organisasi kemanusiaan palsu yang memanfaatkan Konvensi Jenewa itu untuk membantu pemberontak. Termasuk disini White Helmets. Lembaga Mitra ACT dan Dompet Dhuafa di Turki disinyalir menyalurkan bantuan itu untuk pemberontak. Bukan untuk warga sipil yang terjebak disana.

Dari narasi yang menyudutkan pihak keamanan dan pemerintah Indonesia dengan memakai Konvensi Jenewa,  maka sudah jelas bahwa semua itu adalah bentuk kekecewaan mereka yang gagal menciptakan Indonesia sebagai Suriah Kedua.

BAKAL GAGAL

Upaya mereka yang berharap dunia internasional mengecam Indonesia terkait kerusuhan 21-22 tidak bakal ditanggapi dunia luar.

Hal ini disebabkan karena persepsi internasional bahwa kerusuhan 21-22 bersifat lokal dan  bagian dari upaya kelompok Muslim radikal pendukung Prabowo.

Mereka justru melihat kerusuhan itu merupakan bagian dari upaya Jokowi memerangi Islam radikal. Yang bisa membendung aksi terorisme global  pasca kalahnya ISIS dan serangan bom bunuh diri Paskah di Sri Lanka.

Dunia internasional juga tidak memandang kerusuhan itu sebagai tindakan sewenang-wenang negara atas warganya.

Mereka justru melihat kelompok ini sebagai pembuat keonaran dan  percaya sepenuhnya Jokowi bisa memadamkan aksi tersebut. Dan mereka menghargai penegasan Jokowi yang tidak memberi toleransi sedikitpun terhadap aksi kerusuhan.

Akibatnya hanya delapan negara yang melarang sementara warganya bepergian ke Indonesia. Yakni Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Singapura, Malaysia,Thailand dan Filipina.

Lagipula,  Indonesia bukan negara lemah.

Negara ini sangat berwibawa di pelataran internasional.

Hingga teriakan MER-C dan gerombolan pendukung perusuh hanya dianggap sebagai ucapan ngawur mereka yang mabok agama.

Sama sekali tidak penting.


Karena pesing kayak air kencing..