Demokrasi, Makar, dan liberalisme - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

22 Mei 2019

Demokrasi, Makar, dan liberalisme

Ilustrasi foto (people power yang ricuh/jurnal.com)

Penulis: Wahyudi Akmaliah

Atorcator.Com - Harus diakui tradisi demokrasi sesungguhnya terjadi pada tahun 54 dan pasca reformasi. Kurun waktu rejim Orde Baru berkuasa, tidak bisa dihitung, karena itu bagian dari rejim refresif yang memberangus kebebasan berpendapat dan bersuara.

Pasca rejim Orde Baru, demokrasi yang kita bangun masih teramat muda, 21 tahun. Upaya membangun tradisi berdemokrasi ini juga terus-menerus dibangun dan dikuatkan. Di sini pemilu dan pilkada merupakan ritual 5 tahunan untuk melatih cara berdemokrasi tersebut.

Yang menyebalkan di tengah upaya membangun demokrasi yang sehat, atas nama demokrasi, justru diciderai oleh orang-orang picik dan tidak mau menerima kekalahan. Dengan dalih kecurangan, orang-orang ini menggunakan nama demokrasi untuk mengibirinnya sendiri.

Akibatnya, bukannya membuat masyarakat menjadi jauh lebih pintar, kritis dan rasional, justru membawanya kepada titik keresahan akut yang seolah-olah Indonesia tidak ada lagi jika tidak dipimpin oleh mereka. Propaganda membangun tuduhan curang sejak awal sebenarnya sudah diterapkan.

Misalnya, "kalau kami kalah berarti kami dicurangi". Saat ada hasil Quick Count yang bagian dari tradisi akademik, lalu tidak mempercayainya, "Quick Count itu adalah ilmu sihir, kami menunggu hasil real count". Ketika real count mulai keluar, malah mengatakan, "kami tidak percaya KPU".

Ironisnya, bukti kecurangan yang diajukan yang selama ini jadi doktrin ingatan bagi para pendukungnya ternyata hanya hasil print out dari tautan media online, bukan riset investigatif yang mendalam. Ya terang saja Bawaslu menolak. Meskipun demikian, mereka masih berpikir terjadi kecurangan di pemilu dan tidak mau mengadukan ini ke Mahkamah Konstitusi.

Sebaliknya, mereka ingin melakukan people power dengan turun ke jalan. Tentu saja harapannya dengan turun ke jalan ini dan adanya tekanan massa berharap tiba-tiba KPU bisa memenangkan mereka. Tindakan ini justru praktik iliberal demokrasi. Akibatnya, pihak aparat menjadi punya alasan untuk menertibkan mereka, yang tidak lagi dianggap menyuarakan demokrasi tapi sudah menjurus ke makar.

Dalam menghadapi ini, petahana justru bisa dianggap melakukan tindakan illiberal demokrasi, baik orang pencinta demokrasi, aktivis, dan Indonesianis, karena dianggap membungkam suara-suara mereka. Padahal itu dilakukan karena bagian dari reaksi sebelumnya, di mana perangkat media sosial sebagai bagian dari aktivisme publik tidak bisa selebihnya dalam pengawasan kontrol negara.

Kemenangan Jokowi-Ma'ruf ini dan periode terakhir Jokowi memimpin, membuat dirinya tidak ada beban apa-apa yang perlu dipertaruhkan dalam memimpin, membuatnya leluasa untuk terus-menerus membangun infrastruktur sekaligus kemungkinan untuk tidak kompromi. Sebaliknya, jika pihak oposisi dan para pendukungnya terus melakukan tindakan illiberal, justru memungkinkan Jokowi untuk melakukan tindakan illiberal sama dengan cara yang oposisi mainkan.


Ya, demokrasi Indonesia tidak setua Amerika Serikat dan Eropa, tapi kalau preseden ini terus-menerus terjadi, tindakan illiberal melalui tangan besi justru sebagai sesuatu yang diidamkan oleh masyarakat yang menginginkan stabilitas. Dalam konteks ini kita sudah memiliki contohnya selama 32 tahun sebelumnya. Selama itu juga, KKN berkecambah dan mengakar, yang membuat kita justru jadi muak terhadap institusi di bawah negara.