Doa dan Dengkul - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Minggu, Mei 19, 2019

Doa dan Dengkul

Ilustrasi foto (Jakarat posts)
Penulis: Taufiq WR. Hidayat

Atorcator.Com - Panembahan Batara Semar Badranaya pagi itu nyapu lantai padepokan, nyabit rumput, nyiram bunga. Ngasoh. Diminumnya air putih, meneguk kopi, menyalakan rokok.

Petruk, Gareng, dan Bagong menghadap. Pisang goreng hangat di meja. Bagong segera menyambar sepotong pisang goreng, menguyah dengan lahap. Semar diam saja. Petruk dan Gareng diam-diam mengarahkan kedua tatapannya yang waskita ke arah pisang goreng itu. Hatinya berdebar melihat Bagong makan pisang goreng sambil kedua kakinya ditaruh di atas meja. Anak Semar yang satu ini memang tidak tahu sopan santun.

"Jaga sikapmu, Gong!" ujar Gareng.

"Apa?! Apa itu sikap?" jawab Bagong. Mulut penuh pisang goreng.

"Jagat Dewa Batara Agung! Bagaimana menjelaskan perihal sikap dan kebudayaan kepada monyet macam kamu?" ucap Gareng kesal.

"Gong, mbok ya yang sopan!" tegur Petruk pelan.

"Apa? Sopan? Hidungmu gak sopan!" jawab Bagong. Tangan kirinya menyambar pisang goreng di meja. Sementara tangan di kanan pisang goreng belum habis. Mulutnya mengunyah. Penuh.

"Ndak usah ngurusi Bagong. Sudah kalian ikut makan pisang gorengnya, mumpung semua pisang goreng itu belum diuntal sekalian dengan piringnya sama Bagong," ujar Semar.

“Sendiko dhawuh, Romo!” ujar Petruk dan Gareng bersamaan. Dengan tangkas dan cekatan, kedua tangan mereka berdua menyambar pisang goreng.

"Ooo... Cangkemmu!" kata Bagong.

Petruk dan Gareng mengunyah.

"Romo, mohon jelaskan pada kami mengenai doa dan permohonan," kata Petruk.

"Iya, Romo," timpal Gareng sambil mengunyah pisang goreng.

"Ndak usah, Mar! Dua orang ini cuma biar gak dianggap salah nguntal pisang goreng dan menghabisi kopi-rokokmu!" ujar Bagong.

"Apa, Gong?!" kata Petruk dan Gareng bersamaan.

"Asu!" jawab Bagong. Kedua kakinya di atas meja.

Petruk dan Gareng bangkit. Dada Petruk dan Gareng naik turun nahan marah dan mulut keduanya masih ngunyah pisang goreng.

"Sudah duduk saja. Dengarkan Semar si tua bangka mau bertutur. Nuturi cangkemmu!" ujar Bagong.

Petruk dan Gareng makin marah. Untung Semar menyuruh keduanya duduk. Kalau tidak, bisa terjadi perang tanding yang pasti akan menggegerkan dan memorak-morandakan alam semesta.

Sambil mengepulkan asap rokoknya, Semar pun dawuh.

"Gini lho, ngger. Hakikat berdoa pada Gusti Kang Murbheng Dumadi bukan terletak pada apa yang kita pinta atau bagaimana kita mengucapkan permintaan itu. Silahkan minta rejeki, minta keselamatan, atau apa pun.

Yang penting permintaan itu sesuai dengan ukuran akal dan harapan yang telah dianugerahkan-Nya kepadamu. Silahkan diucapkan dengan bahasa apa saja.Karena  Gustialah mengukur hati yang mengucapkannya, bukan siapa dan apa bahasanya, bukan apa permintaannya.

Ketulusan hati dan hati yang berharap membuka kepastian jadi nyatanya suatu doa atau permohonan. Tapi ingat, ngger! Hati yang tulus dan berharap itu cuma Tuhan yang tahu ukuran-ukurannya. Kamu cuma boleh berikhtiar menuju ketulusan dan pengharapan sejati."

"Jangan kamu tertawakan orang-orang berdoa dan berharap pada-Nya. Tuhan menyuruh kita berdoa, agar kita sadar kita ini manusia yang punya cemas, kelemahan, bimbang, bahkan keraguan. Bukan bhedes! Setiap orang berdoa dan berharap menurut kapasitas akal dan pikirannya masing-masing. Bahasa dan doa tukang akik tepi jalan tidak sama dengan doa dan bahasa seorang raja. Hatilah yang sama. Hati dan kemanusiaan tidak memandang status dan kapasitas ilmu. Pada hati dan kemanusiaanlah Tuhan memandang. Gustialah tidak memandang dengkulmu atau ndasmu yang atos!"

"Pengertian dan pemahaman, kelapangan dan permakluman yang mendalam itu memerlukan kesabaran. Dan tentu saja, kesabaran hanya omong kosong dan menjelma kebosanan bila tanpa "kerana-alah", yakni totalitas ikhlas dan penyerahan. Ini ujian sekaligus jalan. Butuh kedalaman yang tenang, daya pandang dan dada yang "menyamudera": kearifan. Apa yang tidak akan didera? Kehidupan ini tak akan lepas dari penderaan, seolah yang hanya ada adalah penderaan demi penderaan, rundung demi rundung.

Kamu, aku, kalian, kita semoga sampai pada pencapaian: "al-kamil" (jangkepe perilaku luhur) sebagaimana yang telah Gusti Kanjeng Rosul Muhammad teladankan. Mencahaya. Menjadi cahaya, mengejawantahkan sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya ke dalam diri untuk mengisi sejarah dan kenyataan sehari-hari sampai hayat lepas dari badan ini. Bukan hanya berburu Tuhan dan mengembara ke mana-mana namun dalam khayal dan angan-angan, dalam ruang yang tertutup, meninggalkan kenyataan. Kalau tangan kita adalah tangan-Nya, maka tangan mereka pun tangan-Nya.

Dan jika tangan kita atau tangan mereka terluka, maka hakikatnya adalah tangan-Nya juga yang terluka. Apakah kita akan diam saja? Hati itu adalah hati-Nya. Jika hati menderita apakah kita akan diam tanpa berupaya melipur lara derita menjadi wujud syukur dan rasa yang sama dan setara sebagai hamba, yang manunggal? Rasa dan gerak kemanusiaan, tak lain ialah gerak dan rasa-Nya. Ingat itu! Atau kamu lihat itu cagak kayu yang kokoh! Benturkan saja kepalamu ke situ!"

Ketiga putra Semar lari tunggang langgang. Tapi, Bagong berhasil menyambar rokok romonya.


Muncar, 2015-2019

  • Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa WongsorejoBanyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi Suluk Rindu (YMAB, 2003), Muncar Senjakala (PSBB, 2009), kumpulan cerita ‖Kisah-kisah dari Timur‖ (PSBB, 2010), ‖Catatan‖ (PSBB, 2013), ‖Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti‖ (PSBB, 2014), ‖Dan Badut Pun Pasti Berlalu‖ (PSBB, 2017), ‖Serat Kiai Sutara‖ (PSBB, 2018). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi