Ilustrasi foto (Jakarat posts) |
Penulis: Taufiq WR. Hidayat
Atorcator.Com -
Panembahan Batara Semar Badranaya pagi itu nyapu lantai padepokan,
nyabit rumput, nyiram bunga. Ngasoh. Diminumnya air putih, meneguk kopi,
menyalakan rokok.
Petruk, Gareng,
dan Bagong menghadap. Pisang goreng hangat di meja. Bagong segera menyambar
sepotong pisang goreng, menguyah dengan lahap. Semar diam saja. Petruk dan
Gareng diam-diam mengarahkan kedua tatapannya yang waskita ke arah pisang
goreng itu. Hatinya berdebar melihat Bagong makan pisang goreng sambil kedua
kakinya ditaruh di atas meja. Anak Semar yang satu ini memang tidak tahu sopan
santun.
"Jaga
sikapmu, Gong!" ujar Gareng.
"Apa?! Apa
itu sikap?" jawab Bagong. Mulut penuh pisang goreng.
"Jagat
Dewa Batara Agung! Bagaimana menjelaskan perihal sikap dan kebudayaan kepada
monyet macam kamu?" ucap Gareng kesal.
"Gong,
mbok ya yang sopan!" tegur Petruk pelan.
"Apa?
Sopan? Hidungmu gak sopan!" jawab Bagong. Tangan kirinya menyambar pisang
goreng di meja. Sementara tangan di kanan pisang goreng belum habis. Mulutnya
mengunyah. Penuh.
"Ndak usah
ngurusi Bagong. Sudah kalian ikut makan pisang gorengnya, mumpung semua pisang
goreng itu belum diuntal sekalian dengan piringnya sama Bagong," ujar
Semar.
“Sendiko
dhawuh, Romo!” ujar Petruk dan Gareng bersamaan. Dengan tangkas dan cekatan,
kedua tangan mereka berdua menyambar pisang goreng.
"Ooo...
Cangkemmu!" kata Bagong.
Petruk dan
Gareng mengunyah.
"Romo,
mohon jelaskan pada kami mengenai doa dan permohonan," kata Petruk.
"Iya,
Romo," timpal Gareng sambil mengunyah pisang goreng.
"Ndak
usah, Mar! Dua orang ini cuma biar gak dianggap salah nguntal pisang goreng dan
menghabisi kopi-rokokmu!" ujar Bagong.
"Apa,
Gong?!" kata Petruk dan Gareng bersamaan.
"Asu!"
jawab Bagong. Kedua kakinya di atas meja.
Petruk dan
Gareng bangkit. Dada Petruk dan Gareng naik turun nahan marah dan mulut
keduanya masih ngunyah pisang goreng.
"Sudah
duduk saja. Dengarkan Semar si tua bangka mau bertutur. Nuturi cangkemmu!"
ujar Bagong.
Petruk dan
Gareng makin marah. Untung Semar menyuruh keduanya duduk. Kalau tidak, bisa
terjadi perang tanding yang pasti akan menggegerkan dan memorak-morandakan alam
semesta.
Sambil
mengepulkan asap rokoknya, Semar pun dawuh.
"Gini lho,
ngger. Hakikat berdoa pada Gusti Kang Murbheng Dumadi bukan terletak pada apa
yang kita pinta atau bagaimana kita mengucapkan permintaan itu. Silahkan minta
rejeki, minta keselamatan, atau apa pun.
Yang penting
permintaan itu sesuai dengan ukuran akal dan harapan yang telah
dianugerahkan-Nya kepadamu. Silahkan diucapkan dengan bahasa apa saja.Karena Gustialah mengukur hati yang mengucapkannya,
bukan siapa dan apa bahasanya, bukan apa permintaannya.
Ketulusan hati
dan hati yang berharap membuka kepastian jadi nyatanya suatu doa atau
permohonan. Tapi ingat, ngger! Hati yang tulus dan berharap itu cuma Tuhan yang
tahu ukuran-ukurannya. Kamu cuma boleh berikhtiar menuju ketulusan dan
pengharapan sejati."
"Jangan
kamu tertawakan orang-orang berdoa dan berharap pada-Nya. Tuhan menyuruh kita
berdoa, agar kita sadar kita ini manusia yang punya cemas, kelemahan, bimbang,
bahkan keraguan. Bukan bhedes! Setiap orang berdoa dan berharap menurut
kapasitas akal dan pikirannya masing-masing. Bahasa dan doa tukang akik tepi
jalan tidak sama dengan doa dan bahasa seorang raja. Hatilah yang sama. Hati
dan kemanusiaan tidak memandang status dan kapasitas ilmu. Pada hati dan
kemanusiaanlah Tuhan memandang. Gustialah tidak memandang dengkulmu atau ndasmu
yang atos!"
"Pengertian
dan pemahaman, kelapangan dan permakluman yang mendalam itu memerlukan
kesabaran. Dan tentu saja, kesabaran hanya omong kosong dan menjelma kebosanan
bila tanpa "kerana-alah", yakni totalitas ikhlas dan penyerahan. Ini
ujian sekaligus jalan. Butuh kedalaman yang tenang, daya pandang dan dada yang
"menyamudera": kearifan. Apa yang tidak akan didera? Kehidupan ini
tak akan lepas dari penderaan, seolah yang hanya ada adalah penderaan demi penderaan,
rundung demi rundung.
Kamu, aku,
kalian, kita semoga sampai pada pencapaian: "al-kamil" (jangkepe
perilaku luhur) sebagaimana yang telah Gusti Kanjeng Rosul Muhammad teladankan.
Mencahaya. Menjadi cahaya, mengejawantahkan sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya ke
dalam diri untuk mengisi sejarah dan kenyataan sehari-hari sampai hayat lepas
dari badan ini. Bukan hanya berburu Tuhan dan mengembara ke mana-mana namun
dalam khayal dan angan-angan, dalam ruang yang tertutup, meninggalkan
kenyataan. Kalau tangan kita adalah tangan-Nya, maka tangan mereka pun tangan-Nya.
Dan jika tangan
kita atau tangan mereka terluka, maka hakikatnya adalah tangan-Nya juga yang
terluka. Apakah kita akan diam saja? Hati itu adalah hati-Nya. Jika hati
menderita apakah kita akan diam tanpa berupaya melipur lara derita menjadi
wujud syukur dan rasa yang sama dan setara sebagai hamba, yang manunggal? Rasa
dan gerak kemanusiaan, tak lain ialah gerak dan rasa-Nya. Ingat itu! Atau kamu
lihat itu cagak kayu yang kokoh! Benturkan saja kepalamu ke situ!"
Ketiga putra
Semar lari tunggang langgang. Tapi, Bagong berhasil menyambar rokok romonya.
Muncar,
2015-2019
- Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa WongsorejoBanyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi ‖Suluk Rindu‖ (YMAB, 2003), ‖Muncar Senjakala‖ (PSBB, 2009), kumpulan cerita ‖Kisah-kisah dari Timur‖ (PSBB, 2010), ‖Catatan‖ (PSBB, 2013), ‖Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti‖ (PSBB, 2014), ‖Dan Badut Pun Pasti Berlalu‖ (PSBB, 2017), ‖Serat Kiai Sutara‖ (PSBB, 2018). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi