Puasa Model Jawa dan Arab - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

12 Mei 2019

Puasa Model Jawa dan Arab

Kompas
Penulis: Sunardian Wirodono

Atorcator.Com - Karena Islam muncul di Arab, perintah puasa Ramadan menurut Islam tentu tak lepas dari kebiasaan-kebiasaan di mana agama itu dikembangkan.

Di negeri gurun pasir, kita tahu perintah puasa dari sejak terbit hingga tenggelam matahari, bukanlah perintah yang ringan. Sampai sekarang pun, dibandingkan paska jaman Jahiliyah dahulu kala, hal itu masih terasa.

Di jaman sekarang, bisa cek hotel-hotel bintang lima di London (Inggris) dan beberapa negara Eropa. Banyak disinggahi para pangeran dan orang-orang kaya Arab Saudi pada bulan Ramadhan. Mereka bukan hanya numpang tidur, atau ngadem dari sejak sahur hingga menjelang buka, tapi juga membawa mobil-mobil mewahnya.

Sementara bagi orang Jawa, yang secara genetik keturunan dari China, lebih mengenal puasa leluhurnya yang jauh lebih berat. Apalagi dalam pengaruh Hindu dan Buddha yang lebih kuat. Banyak varian puasa yang dikenalinya. Puasa sehari semalam tanpa makan dan minum. Pasa ngedur 7 hari, pasa ngalong, pasa ngrowot, pasa mutih, pasa ngebleng 40 hari 40 malam tanpa makan dan minum.

Bagi sebagian orang (yang masih) Jawa dan yang tinggal di Indonesia, puasa seharian itu bukankah sesuatu yang berat-berat amat. Apalagi puasa Ramadan sekarang, banyak kemudahan. Sahur ditemani pelawak-pelawak yang nggak lucu. Di sepanjang jalan banyak orang jualan takjil, atau bagi gratis. Banyak cafe, resto, hotel, menggoda dengan paket-paket makan enak, berbonus umrah gratis. Nikmat apalagi yang kau dustakan?

Hanya bedanya, bagi saya pribadi, sebagai orang Jawa yang berusia bukan bocah lagi, keindahan Ramadan saya adalah pada masa-masa kanak. Setidaknya sampai SD dan SMP, setiap bulan puasa, karena sekolah di negeri, selalu liburan sebulan penuh. Dan selama liburan, selalu saya diungsikan oleh orangtua ke rumah salah satu saudara di desa.

Hidup di desa, dari keseharian hidup di kota, adalah sebuah kenikmatan yang membangun karakter tersendiri. Seolah masuk ke sebuah goa, atau enclave dari kerutinan. Menikmati waktu senggang (sebagai dasar pembentukan karakter, atau dasar kebudayaan menurut Rama Dick Hartoko, S.J.).

Pendidikan sekuler menjadi begitu penting, dibandingkan pendidikan agama yang sekarang ini, di mana dogma agama dicekokkan bukan untuk membangun religiusitas. Apalagi cuma sekedar agar anak didik biar pun kecil-kecil sudah bisa teriak; Ganti Presiden! Atau, Jokowi kafir!


Sayangnya, waktu kanak itu lewat dengan cepatnya. Sekarang adalah masa tua, di mana Ramadan lebih sering datang membawa kesedihan.