Ramadan di Pesantren: Sebuah Kenangan KH Husein Muhammad (2) - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

21 Mei 2019

Ramadan di Pesantren: Sebuah Kenangan KH Husein Muhammad (2)

Ilustrasi foto (KH Husein Muhammad/Fahmina.or.id)

Penulis: KH Husein Muhammad

Atorcator.Com - Tahun 1960, saat usiaku 6 tahun Kiyai Mahfuzh Thaha, kiyai yang ganteng asal Lebaksiu Tegal menjadi menantu Kiyai Syathori. Beliau menikah dengan adik ibu saya. Bersamaan dengan  pernikahan beliau aku disunat/dikhitan.

Kiyai Mahfuz adalah seorang "hafizh", (sebutan untuk orang yang hafal al-Qur'an 30 juz), alumni pesantren Kaliwungu. Sejak saat itu lahir tradisi baru di pesantren. Sebagai seorang hafizh, Kiyai Mahfuzh diminta oleh Kiyai Syathori menjadi imam shalat Tarawih.

Setiap rakaat kiyai Mahfuz membaca 1,5 sampai 2 halaman Al-Qur'an. Dalam tradisi pesantren shalat Tarawih diselenggarakan sebanyak 20 rokaat plus 3 rakaat shalat witir. Setiap sekali tarawih memakan waktu sekitar 2 jam.

Nah, maka 30 Juz itu biasanya dapat dikhatamkan dalam 20 hari. Lumayan capek berdiri. Saat Kiyai Mahfuzh mengimami, Kiyai Syathori selalu berada tepat di belakangnya sambil memegang mushaf dan me"nyimak" yakni mengamati bacaan hafalan Imam dengan melihat mushaf. Boleh jadi juga untuk mengkoreksi jika ada kekeliruan bacaan atau lupa.

Bisa dibilang, Kiyai Mahfuzh adalah hafizh pertama di Arjawinangun. Beliau wafat tahun 1999 di pesantren Darul Quran, Muara Bulian Jambi yang didirikannya, tahun 1991. Beliau meninggalkan anak-anaknya yang juga Hafiz. Anaknya : Kiyai Ubaid dan menantunya : Kiyai Dr. Ahsin Sakho, itu yang menggantikan beliau meneruskan tradisi ini sampai hari ini. Alfatihah.

Di samping itu, setiap sore, sesudah shalat Ashar, di bulan Ramadhan juga Kiyai Mahfuzh Thoha mengadakan sema’an al-Qur`an yang dihadiri oleh masyarakat di sekitar pesantren. Jumlahnya bisa mencapai 70 orang. Beliau membaca dengan hafalan al-Quran dan yang lain menyimak/mendengar sambil melihat dan memperhatikan. Biasanya setelah itu beliau memberikan taushiyah, atau menjelaskan hal-hal penting terkait dengan bacaan dan makna beberapa ayat al-Qur`an yang dibacanya.

Tradisi ini juga masih berlangsung sampai sekarang. Selepas Kiyai Mahfuzh mangkat(meninggal), anaknya yang juga "hafizh", Kiyai Abdullah Ubaid yang meneruskannya. Jika berhalangan mengundang orang luar yang hafal al-Qur`an untuk menjadi imam shalat Tarawih dan hadir di acara sema’an. Kiyai Ubaid, adalah pengasuh pesantren Dar al-Qur'an di Lebaksiu, Tegal. Santrinya sudah mencapai sekitar 2000 laki-laki dan perempuan.

Saya sendiri sebetulnya juga adalah seorang hafizh, meskipun hafalan saya tidak sebaik dan sehebat adik saya, Kiyai Ahsin. Atau bahkan lebih tepat disebut "pernah jadi Hafizh". He he. Saya dulu tahun 1973-1979 belajar di PTIQ. Di sana kegiatan sehari-hari saya adalah menghafal al-Qur`an. Kiyai Mahfuz sering menyuruh saya jadi imam Tarawih. Dan saya sering hanya sanggup setengah juz saja, dan itu untuk beberapa juz awal.


Sekarang sudah tidak lancar lagi dan lebih tepatnya banyak lupanya. Maka kalau saya diminta jadi imam Tarawih, saya akan baca dari surah Al-Hakum sampai Tabbat pada setiap rakaat pertama plus Qulhu pada rakaat kedua. Untuk Witirnya baca surah Sabbihis dan Qulya   serta surah Qulhu dan mu'awwidzatain. Harap maklum. He he he.

  • Husein Muhammad Pencinta kajian-kajian keislaman, utamanya di bidang ilmu fikih, tema-tema keperempuanan, dan ilmu tasawuf. Menulis beberapa buku, aktif di pelbagai forum kajian, baik nasional ataupun internasional. Tinggal di Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, Jawa Barat