Ha.life |
Penulis: Ahmad
Husain Fahasbu
Atorcator.Com -
Sosok kiai As’ad bagi saya sangat istimewa, bukan hanya karena ia
sebagai tokoh agama dan pejuang kemerdekaan, tetapi ia istimewa karena
ketekunannya mencari ilmu dan mencari guru. Kiai As’ad berguru kepada ulama,
baik di dalam atau di luar negeri. Di Mekkah, sebagai tempat ia dilahirkan, ia
berguru kepada Syaikh Amin Kutbi, Syaikh Hasan al-Massyath, Syaikh Syarif
al-Sinqiti, Sayyid Abbas al-Maliki dan ulama Haramain yang lain.
Sepulang dari
tanah suci, berbekal ilmu yang “diunduh” di sana, ia masih mencari ilmu dan
berguru kepada beberapa ulama dan kiai di Nusantara. Berguru dari satu
pesantren ke pesantren yang lain, dari Banyuanyar Pamekasan, Sidogiri Pasuruan,
Buduran Panji Sidoarjo, Demangan Bangkalan dan berakhir di Tebuireng Jombang.
Pengalaman
sebagai santri kelana inilah yang membuat putra pertama Raden Ibrahim itu
multi-perspektif, dan memiliki jaringan intelektual dan jaringan perjuangan
yang luas. Namun, dari sekian guru yang pernah beliau temui, tampaknya Kiai
Hasyim Asy’ari lah yang paling berkesan dalam relung hatinya. Sebagaimana
pernah beliau sampaikan, bahwa Hadratussyaikh adalah guru terakhir yang paling
berperan dalam membentuk karakter Kiai As’ad.
Sebenarnya perjumpaan Kiai As’ad dengan Kiai Hasyim Asya’ari bermula dari peristiwa penyerahan “isyarah langit” dari Kiai Chalil Bangkalan sebagai tanda diresmikannya pendirian Nahdlatul Ulama oleh Kiai Hasyim. Bahkan kejadian ini terjadi dua kali, yang pertawa penyerahan tongkat dan firman Allah Swt dalam surat Thaha 17-23 dan yang kedua tasbih beserta bacaan “Ya Jabbar, Ya Qahhar”.
Kemudian
perjumpaan beliau berdua makin intens tatkala Kiai As’ad mondok di Tebuireng.
Selama di Tebuireng inilah Kiai As’ad belajar kepada Kiai Hasyim bukan hanya
ilmu hadis yang memang beliau kuasasi tetapi juga belajar tentang perjuangan
dan pengabdian untuk agama, nusa dan bangsa. Maka saya sepakat dengan
kesimpulan bahwa Kiai Hasyim adalah orang yang membela negara dengan
menggunakan agama bukan melawan negara menggunakan agama, begitupula muridnya,
Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Teladan lain
dari Kiai As’ad selama menjadi santri Hadratussyaikh adalah berpegang teguh
terhadap amanat gurunya. Ini terbaca dari setidaknya dari dua peristiwa.
Pertama, al-Kisah Kiai Hasyim pernah membangun lokasi sekolah dan asrama di
Pesantren Tebuireng, namun tidak selesai karena satu dan dua alasan. Kemudian
penyelesaian gedung itu dipasrahkan kepada As’ad muda. Menerima amanah ini, ia
kaget bukan main. Bagaimana bisa menyelesaikan bangunan ini? Dari mana uangnya?
Singkat cerita, akhirnya As’ad muda bisa menyelesaikan amanah ini.
Kedua, sebelum
Kiai As’ad pamit pulang, Kiai Hasyim berpesan agar kelak ia memperbanyak
mencetak kader ahli fikih (fukaha). Amanah kedua inilah yang cukup mengahbiskan
tenaga dan fikiran Kiai As’ad. Beliau merasa kesulitan untuk melaksanakan
amanat yang kedua ini sebab banyak pertimbangan, salah satunya siapa yang akan
menjadi tenaga pengajar? Ia kalau dulu ada Kiai Dhofir Munawwar, ujarnya suatu
ketika. Kiai Dhofir adalah salah seorang menantu Kiai As’ad yang terkenal
sangat alim.
Seiring dengan
berjalannya waktu, amanat Kiai Hasyim ini tampak semakin perlu diwujudkan.
Sebab ulama-ulama Rais Syuriah NU banyak yang pergi. Setelah proses yang amat
melelahkan dan mendapat rekomendasi tiga ulama sunni di Mekkah yaitu, Sayyid
Muhammad al-Maliki, Syaikh Ismail al-Yamani dan Syaikh Yasin al-Fadani, Kiai
As’ad mendirikan Ma’had Aly sebagai ikhtiar untuk mewujudkan amanat gurunya.
Maka, setelah
berbagai kebutuhan cukup terpenuhi, tepatnya suatu hari pada bulan agustus 1990
M, Kiai As’ad tak seperti biasanya. Ia tampak berseri-seri, sesekali kedua
matanya berkaca, tampak terharu diliputi rasa bahagia. Puncaknya, ketika
matahari cukup meninggi di arah timur, dan Kiai Hasan Basri Lc. Memberi kata
sambutan atas nama Pengasuh lalu ia mengutip pernyataan al-Ghazali perihal
ketidakmampuan beberapa orang membaca ayat-ayat Tuhan yang hanya bisa
dijangakau dengan mata hati bukan mata kepala. Al-Ghazali berkata dalam Ihya’
Ulumiddin:
اَلَّذِيْنَ يَعْجِزُوْنَ عَنْ قِرَاءَةِ الأَسْطُرِ الِّإلَهِيَّةِ
اَلْمَكْتُوْبَةِ فِىْ صَفَحَاتٍ الْمَوْجُوْدَاتِ بِخَطٍ إِلَهِيٍ لَا حَرْفَ
فِيْهِ وَلَا صَوْتَ الَّذِىْ لَا يُدْرَكُ بِعَيْنِ اْلبَصَرِ بَلْ بِعَيْنِ
اْلبَصِيْرَةِ
“Orang-orang
yang tidak mampu membaca garis-garis ketuhanan yang tertulis dengan “tinta”
Allah Swt. yang terdapat dalam lembaran-lembaran tanpa huruf dan tanpa suara
yang hanya bisa dijangkau dengan mata hati bukan dengan mata kepala”
Mendengar
kutipan al-Ghazali itu, Kiai As’ad menangis histeris seperti menangisnya anak
kecil tanda sangat bahagianya bisa mewujudkan amanat sang guru, di akhir-akhir
usianya. Bagi saya, ekspresi Kiai As’ad ini sangat tidak berlebihan karena
kebahagian apa yang paling membuat bahagia seorang murid kecuali telah
menunaikan amanat gurunya? Dan Kiai As’ad telah melakukan itu. Selang lima
belas hari dari peristiwa ini kemudian beliau mengembuskan nafas terakhir
menjemput panggilan kekasihnya, Allah Swt.
Peristiwa di
atas yang oleh Kiai Afifuddin Muhajir,sebagai salah satu kiai yang ditunjuk
oleh Kiai As’ad sebagai tim pendirian Ma’had Aly--disampaikan dalam berbagai
kesempatan. Bahwa pendirian Ma’had Aly Situbondo dengan takhassus fikih dan
usul fikih tak lebih dari perwujudan kecintaan seorang murid kepada gurunya,
yakni Kiai As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari yang berpesan agar Kiai As’ad
mencetak kader ahli fikih (fukaha).
Di samping
alasan lain, bahwa fikih adalah ilmu yang cukup komprehensif dan paripurna
(syamil dan kamil) dibandingkan ilmu-ilmu keislaman yang lain. Karena untuk
mendalami ilmu fikih membutuhkan aspek-aspek aqliyah dan naqliyah, memadukan
akal dan wahyu.
Al-Ghazali
dalam kitab al-Musytasfa min ilm al-usul memberi klasifikasi bahwa ilmu
dibagi menjadi tiga. Pertama, ilmu-ilmu yang bersifat naqli murni (naqli mahdh)
seperti tafsir dan hadis, kedua, ilmu yang bersifat aqli murni (aqli mahdh)
seperti matematika dan geometri, ketiga ilmu yang bersifat naqli dan aqli
sekaligus, yaitu fikih dan usul fikih.
Fikih merupakan
perwajahan Islam yang paling konkrit dibanding dua wajah Islam yang lain, yaitu
akidah dan akhlak karena fikih menyangkut hukum-hukum praktis (‘amaliyah) yang
mengatur perilaku dan tingkah laku manusia mukallaf, baik hubungannya dengan
Tuhan maupun dalam berinteraksi dengan sesama umat manusia itu sendiri.
Abdul Wahhab
Khallaf, dalam bukunya, Ilm Usul Fiqh menuturkan, semua ulama sepakat bahwa
setiap hal yang muncul dari manusia baik berupa perkataan, perbuatan, baik
bernuasa ibadah-ritual, muamalah-sosial, pidana (jaraim), perdata (ahwal
syakhsiyah) atau seluruh aspek dalam kehidupan manusia memiliki ketentuan hukum
dalam syariat Islam.
Ada seorang
penyair berkata:
تفقه فان الفقه افضل قائد الى البر والتقوى واعدل قاصد
هو العلم الهادي الى سنن الهدى
هو الحصن ينجي من جميع الشدائد
فان فقيها واحدا متورعا اشد على الشيطان من الف عابد
هو العلم الهادي الى سنن الهدى
هو الحصن ينجي من جميع الشدائد
فان فقيها واحدا متورعا اشد على الشيطان من الف عابد
“Belajarlah
fikih, engkau wahai manusia! Karena ia adalah sebaik-sebaik tuntunan untuk
kebaikan dan ketakwaan dan paling lurusnya sebuah tujuan.
Fikih adalah ilmu yang menjadi petunjuk menuju kebenaran
Fikih juga sebagai benteng yang kuat yang melindungi dari kerisauan yang sangat.
Karena satu orang ahli fikih lagi wara (yang berhati) lebih menyusahkan kepada setan dari pada seribu orang ahli ibadah”.
Fikih adalah ilmu yang menjadi petunjuk menuju kebenaran
Fikih juga sebagai benteng yang kuat yang melindungi dari kerisauan yang sangat.
Karena satu orang ahli fikih lagi wara (yang berhati) lebih menyusahkan kepada setan dari pada seribu orang ahli ibadah”.
Maka berdirinya
Ma’had Aly adalah peran Kiai As’ad sebagai inisiator yang sumber inspirasinya
adalah berasal dari gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari. Selang beberapa tahun
kemudian model sekolah dan pengajaran di Ma’had Aly ini diadopsi oleh
pemerintah melalui Kementrian Agama, yang meresmikan Ma’had Aly sebagai lembaga
pendidikan formal. Kalau bukan karena gigihnya seorang murid mewujudkan amanat
gurunya, lembaga yang kemudian dilirik pemerintah ini tidak akan pernah ada.
Pengabdian lain
Kiai As’ad kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari adalah ditunjuknya Gus Dur oleh
beliau sebagai ketua Umum PBNU. KH. Ach. Muhyiddin Khatib pernah bercerita
bahwa ketika Kiai As’ad kehilangan istri tercintanya, di sela-sela proses
penguburan jenazah, beliau berkata dengan bahasa Madura yang khas:
“Engkok, reya, sa ongghuna la e ajhek bik Abah (Kiai Syamsul), tape, engkok kik naber beremma mak tak eajhek. Polanah kik endik kewajiban mabelieh NU ka Se andik, ka tang Guru, endik kewajiben mateppak NU se car kalacer, epabhelie ka se andik, ka Guru”.
Terjemahannya
kira-kira begini:
“Saya, sebenarnya sudah diajak (mangkat atau pergi ke hadirat-Nya, pen) sama Abah, (Kiai Syamsul). Tapi saya masih nawar, gimana agar saya tak diajak. Kenapa? Karena saya masih punya kewajiban mengembalikan NU sama yang punya, yaitu Guru saya, Kiai Hasyim, saya punya kewajiban memperbaiki kondisi NU yang tidak stabil, mau dikembalikan sama yang punya, sama guru saya”.
“Saya, sebenarnya sudah diajak (mangkat atau pergi ke hadirat-Nya, pen) sama Abah, (Kiai Syamsul). Tapi saya masih nawar, gimana agar saya tak diajak. Kenapa? Karena saya masih punya kewajiban mengembalikan NU sama yang punya, yaitu Guru saya, Kiai Hasyim, saya punya kewajiban memperbaiki kondisi NU yang tidak stabil, mau dikembalikan sama yang punya, sama guru saya”.
Dalam sambutan
Kiai As’ad di atas, isyarat terpilihnya Gus Dur tampak begitu gamblang.
Meskipun Kiai As’ad tidak mengatakannya secara sharīh (jelas) soal nama Gus
Dur. Tapi, penyebutan “cucunya guru” menegaskan bahwa yang dimaksud teks
tersebut adalah Gus Dur. Karena pada waktu itu, cucu Hadratussyaikh Hasyim
Asy’ari yang aktif di NU dan yang paling menonjol adalah Gus Dur atau KH.
Abdurrahman Wahid.
Alhasil,
terpilihnya Gus Dur tidak bisa dipisahkan dengan sosok Kiai As’ad. Keberadaan,
Kiai As’ad yang pada waktu itu menjadi ahlu al-Halli Wa al-Aqdi tunggal memberikannya
hak penuh untuk memilih Gus Dur. Episode ini penting untuk diketahui, sebab
dengan terpilihnya duet KH. Ach. Siddiq dan Gus Dur menjadi babak baru dalam
perjalanan NU.
Membaca sejarah
para kiai yang alim, amil dan khasyah, hanya takut kepada Allah Swt selalu
memberikan insight dan pencerahan di tengah keringnya nurani kita akibat
bisingnya narasi politik yang semakin hari semakin tidak karu-karuan ini.
Mari kirimkan
hadiah al-Fatihah untuk kedua kiai ini. dengan harapan semoga beliau-beliau
mendapat tempat terbaik di surga-Nya dam kita selalu mendapatkan berkahnya. ila
ruhi almarhum Kiai Hasyim Asy'ari wa kiai As'ad Syamsul Arifin, al-Fatihah.
Salam
Ahmad Husain Fahasbu santri PP. Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, santri NU yang juga bisa salat tarawih 8 rakaat