Apakah Hijab Juga Ada Dalam Tradisi Agama Yahudi? - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

21 Juni 2019

Apakah Hijab Juga Ada Dalam Tradisi Agama Yahudi?

Penulis: KH. DR. Miftah el-Banjary, MA
Jumat 21 Juni 2019 13:12
Ilustrasi-Atorcator
Atorcator.Com - Persoalan hijab di kalangan umat Islam seringkali dibenturkan oleh paham sekulerisme dan liberalisme sebagai bagian dari budaya Arab yang harus ditinggalkan dan ditanggalkan.

Pada tulisan sebelumnya saya telah menjelaskan bagaimana posisi wanita pada masa Arab Jahiliyyah yang sangat termarginalkan dalam kehidupan sosial, sehingga Islam datang dengan misi utamanya mengangkat derajat para wanita serta memuliakannya dengan syariat berbusana hijab atau jilbab.

Sementara tudingan dan kecaman bahwa hijab atau jilbab merupakan bentuk pembatasan kreativitas, bahkan pengekangan terhadap kebebasan hak asasi manusia, selalu dilancarkan oleh para orientalisme demi mengusung konsep Emansipasi Wanita.

Jika persoalan hijab di dalam Islam hanya selalu dipersoalkan dari berbagai kritik dan tudingan, tapi mengapa hijab pada agama lainnya tidak menjadi sorotan, bahkan perlakuan kritikan yang sama?

Padahal faktanya, sejatinya hijab atau jilbab bukan saja merupakan bagian dari syariat Islam, akan tetapi juga bagian dari  ajaran agama-agama terdahulu, agama Yahudi dan Nasrani.
Marilah kita buka satu persoalan yang di negara-negara Barat  yang menganggap hijab sebagai simbol dari penindasan dan perbudakan wanita. Apakah pembahasan mengenai jilbab juga terdapat di dalam tradisi Yahudi-Kristen?

Mari kita lihat bukti catatan yang ada. Menurut Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja.

Disana ia mengutip pernyataan beberapa Rabbi (pendeta Yahudi) kuno yang terkenal:
"Bukanlah layaknya anak-anak perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup kepala" dan "Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut isterinya terlihat," dan "Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan."

Hukum Rabbi melarang pemberian berkat dan doa kepada wanita menikah yang tidak menutup kepalanya karena rambut yang tidak tertutup dianggap "telanjang".

Dr. Brayer juga mengatakan bahwa "Selama masa Tannaitic, wanita Yahudi yang tidak menggunakan penutup kepala dianggap penghinaan terhadap kesopanannya. Jika kepalanya tidak tertutup dia bisa dikenai denda sebanyak empat ratus zuzim untuk pelanggaran tersebut."

Dr. Brayer juga menerangkan bahwa jilbab bagi wanita Yahudi bukanlah selalu sebagai simbol dari kesopanan. Kadang-kadang, jilbab justru menyimbolkan kondisi yang membedakan status dan kemewahan yang dimiliki wanita yang mengenakannya ketimbang ukuran kesopanan.

Jilbab atau tudung kepala menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi. Jilbab juga diartikan sebagai penjagaan terhadap hak milik suami. Jilbab menunjukkan suatu penghormatan dan status sosial dari seorang wanita.

Seorang wanita dari golongan bawah mencoba menggunakan jilbab untuk memberikan kesan status yang lebih tinggi. Jilbab merupakan tanda kehormatan.

Oleh karena itu, di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur tidak diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai penutup kepala agar mereka lebih dihormati (S.W.Schneider, 1984, hal 237).

Wanita-wanita Yahudi di Eropa melanjutkan menggunakan jilbab sampai abad ke sembilan belas hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Tekanan eksternal dari kehidupan di Eropa pada abad sembilan belas memaksa banyak dari mereka pergi keluar tanpa penutup kepala.

Beberapa wanita Yahudi kemudian lebih cenderung menggantikan penutup tradisional mereka dengan rambut palsu sebagai bentuk lain dari penutup kepala.

Dewasa ini, wanita-wanita Yahudi yang saleh tidak pernah memakai penutup kepala kecuali bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi) (S.W.Schneider, 1984, hal. 238-239). 

Sementara beberapa dari mereka, seperti sekte Hasidic, masih menggunakan rambut palsu (Alexandra Wright, 19??, hal 128-129).

Dari keterangan di atas, maka jelaslah bahwa hijab atau kerudung juga merupakan bagian dari ajaran di dalam agama Yahudi. Maka hijab bagian dari budaya Arab, otomatis terbantahkan.

Artinya, hijab bukan budaya Arab, sebab Yahudi bukan bagian dari bangsa Arab, mereka berasal dari kalangan Bani Israel dari anak keturunan Nabi Ishaq, sedangkan bangsa Arab berasal dari keturunan Nabi Ismail.

Dengan demikian, agama-agama terdahulu, Yahudi dan Nasrani, juga terdapat tradisi hijab jika kita tidak ingin sebut sebagai syariat, sebagaimana syariat yang datang penyempurnaannya pada agama Islam yang juga menerapkan syariat yang sama.

Pada pembahasan berikutnya, saya akan memaparkan tentang tradisi hijab di dalam agama Nasrani. Apakah pembahasan hijab juga terdapat di sana?


  • KH. DR. Miftah el-Banjary, MA Penulis National Bestseller | Dosen | Pakar Linguistik Arab & Sejarah Peradaban Islam | Lulusan Institute of Arab Studies Cairo Mesir.