Mengenal Syekh Mahfudz Al-Tarmasi: Ulama Pacitan yang Mengajar Di Masjid Al-Haram - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

28 Juni 2019

Mengenal Syekh Mahfudz Al-Tarmasi: Ulama Pacitan yang Mengajar Di Masjid Al-Haram

Penulis: Annisa Nurul Hasanah
Jumat 28 Juni 2019 13:54
Ilustrasi foto/Hidayatullah.com

Atorcator.Com - Sekitar Abad ke-19 M. Indonesia telah memiliki ulama-ulama yang berkelas internasional. Betapa tidak, berkat kepakaran dan keilmuannya di bidang agama, mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengajarkan ilmunya di Masjid Al-Haram.

Setidaknya ada tujuh nama ulama terkemuka yang dikenal luas, mereka adalah Syekh Mahfuzh Al-Tarmasi (Jawa Timur), Syekh Nawawi Al-Bantani (Jawa Barat), Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (Sumatera Barat), Syekh Mukhtarom Banyumas (Jawa Tengah), Syekh Bakir Banyumas (Jawa Tengah), Syekh Asy`ari Bawean (Jawa Timur), dan Syekh `Abdul Hamid Kudus (Jawa Tengah). Dan artikel ini akan membahas sedikit biografi tentang Syekh Mahfudz Al-Tarmasi.

Nama lengkap Syekh Mahfuzh adalah Muhammad Mahfuzh bin  Abdullah bin Abdul Mannan bin Diman Dipomenggolo Al-Tarmasi Al-Jawi. Ia dilahirkan di Desa Tremas, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (pada saat Syekh Mahfuzh dilahirkan, Desa Tremas masih termasuk wilayah Karesidenan Solo Jawa Tengah),pada tanggal 12 Jumadil Ula tahun 1258 H bertepatan 31 Agustus 1842 M.

Saat dilahirkan, ayahnya, Kiai Abdullah, sedang berada di Makkah. Ibu dan pamannya adalah yang pertama memperkenalkan nilai-nilai dan praktik-praktik keagamaan kepadanya. Selanjutnya, ia belajar kepada ulama Jawa membaca Alquran serta ilmu agama tingkat dasar. Bahkan ia telah mampu menghafal Alquran sebelum usianya menginjak remaja.

Pada saat umurnya 6 tahun, ia sempat dibawa ayahnya ke Makkah tahun 1264 H /1848 M. Di Makkah, sang ayah memperkenalkan beberapa kitab penting kepadanya. Syekh Mahfuzh menganggap Abdullah lebih dari sekedar seorang ayah dan guru. Tentang ayahnya, Syekh Mahfuzh menyebutnya sebagai murabbi wa ruhi (pendidikku dan jiwaku).

Syekh Mahfuzh remaja belajar kepada ayahnya tentang ilmu Tauhid, ilmu Alquran, dan Fiqh. Dari ayahnya beliau mempelajari Syarh Al-Ghayah li Ibni Qasim Al-Ghuzza, Al-Manhaj al-Qawim, Fath Aal-Mu’in, Fath Al-Wahhab, Syarh Syarqawi `ala Al-Hikam dan sebagian Tafsir Al-Jalalain.

Setelah banyak belajar kepada ayahnya, Syekh Mahfuzh kemudian merantau ke Semarang untuk belajar kepada Kiai Saleh Darat (1820-1903). Kepada Kiai Saleh Darat ini, ia mempelajari Tafsir Al-Jalalain, kitab Wasilah Ath-Thullab dan Syarh Al-Mardini dalam ilmu Falak. Setelah itu pada umur 30 tahun, Syekh Mahfudz Tremas diutus oleh ayahnya bersama sama adiknya yang bernama Dimyathi untuk belajar ke Makkah pada tahun 1872 M.

Berbeda dengan adiknya dan teman-temannya seperti Kiai Khalil Bangkalan yang memilih untuk pulang setelah masa studi demi mengembangkan pesantren di tempatnya masing masing. Syekh Mahfudz Tremas lebih memilih untuk menetap di Makkah untuk mengajar hingga ajal menjemputnya.

Syekh Mahfuzh menikah dengan Nyai Muslimah, seorang putri asal Demak, Jawa Tengah, yang menunaikan haji pada dekade pertama Abad 20 M. Beliau dikaruniai tiga orang anak, tetapi dua anak perempuannya meninggal ketika mereka belum berusia 5 tahun.

Satu-satunya putra Syekh Mahfudz yang hidup adalah Muhammad. Ia didorong kuat oleh Syekh Mahfudz untuk mempelajari Alquran. Wasiat ini dipenuhi oleh Muhammad dengan berhasil menjadi seorang guru di bidang Alquran. Selain itu, Muhammad juga mengembangkan pesantren yang bernama “Bustanul Ussyaaqil Qur`an”di Betengan, Demak, Jawa Tengah dan memiliki banyak murid dari seluruh Nusantara. Adapun kepemimpinan pesantren sekarang adalah di bawah asuhan K.H. Hariri bin Muhammad bin Muhammad Mahfuzh Al-Tarmas.

Selama berada di Makkah, Syekh Mahfudz Tremas dikenal sebagai murid yang dinamis dan sangat tinggi antusiasnya dalam menuntut ilmu. Hal ini dapat dilihat dari caranya menemui beragam ulama dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, fikih, usul, ilmu Arabiyah, ilmu qiraat dan ilmu-ilmu lainnya.

Dan Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Shata (w.1310 H/1892 M) adalah guru yang paling berpengaruh dalam membentuk kepribadian dan masa depan Syekh Mahfuzh. Ia menyebutnya dengan Syekhuna Al-Ajal wa Qudwatuna Al-Akmal (guruku yang paling terhormat dan teladan yang sempurna).

Syekh Mahfuzh dijadikan sebagai anak angkatnya, dan menjadi anggota keluarganya. Ia belajar sebagian ilmu pengetahuan Islam dari gurunya ini. Sebagai tambahan, ia menjadi musnid hadis dikarenakan gurunya ini memberinya ijazah di berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Dalam kaitannya dengan penimbaan ilmu, Syekh Mahfuzh memiliki karya khusus yang mencatat semua sanad dari setiap ilmu yang ia pelajari. Kumpulan sanad tersebut terdapat dalam karyanya yang berjudul Kifayah Al- Mustafid.
Diceritakan dalam kitab Kifayah Al-Mustafidbahwa Syekh Mahfuzh selain terkenal sebagai seorang `alim yang khusyuk dalam ibadah, tawadlu’ dalam tingkah laku, ridla dan sabar di dalam sikap, juga sebagai seorang ahli dalam Hadis Bukhari.

Selain aktif sebagai pengajar di Masjid Al-Haram, kiprah dan kontribusi keilmuannya, khususnya dan dalam bidang Ulum Al-Hadits adalah menulis beberapa kitab dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk dalam bidang Ulum Al-Hadits.

Dalam menulis kitab, Syekh Mahfuzh termasuk salah seorang intelektual Muslim yang produktif. Produktifitasnya merupakan bukti kecerdasan intelektualnya. Syekh Mahfuzh lebih banyak menulis kitab qira’at dari pada bidang lainnya.

Namun sebagaimana ulama lain yang berpengaruh pada masa itu, ia juga merupakan ulama multidisipliner yang berhasil dalam menulis. Paling tidak, ada 10 bidang pengetahuan: fiqh, ushul fiqh, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan Nabi, kumpulan hadis, Musthalah Al-Hadits, dan ilmu waris, ilmu bacaan Alquran, dan akhlak.

Dalam menulis, konon Syekh Mahfuzh ibarat sungai yang airnya terus mengalir tanpa henti. Gua Hira menjadi tempatnya mencari inspirasi. Ia biasa menghabiskan waktunya di gua tempat Nabi menerima wahyu-Nya yang pertama itu. 

Kecepatan Syekh Mahfuzh dalam menulis kitab dapat disebut istimewa. Kitab Manhaj Dhawi Al-Nazhar misalnya ia selesaikan hanya dalam 4 bulan 14 hari.

Mengingat banyaknya karya yang dihasilkannya, tidak berlebihan jika Syekh Yasin Al-Padani, ulama Makkah asal Padang, Sumatera Barat, yang berpengaruh pada tahun 1970-an, menjuluki Syekh Mahfuzh dengan sebutan: Al-`Allamah, Al-Muhadits, Al-Musnid, Al-Faqih, Al-Ushuli dan Al-Muqri.

Syekh Mahfudz Tremas sebenarnya memiliki 43 karya, tetapi hanya 20 judul yang berhasil diterbitkan, sebagaimana berikut: As-Siqayah Al- Mardhiyah Fil Asma`al Kutub Al-Fiqhiyyah Asy Syafi’iyyah, dalam 3 bagian (kecil),  Al-Minhah Al-Khairiyah fl Arba’in Hadisan min Ahaadis Khair Al-Bariyyah dalam 2 bagian; AI-Kil’ah Al-Fikriyah bi Syarh Al-Minhah Al-Khairiyah 13 bagian;
Muhibah Dzy al-Fadhl `ala Syarh Muqaddimah Bafadhal 4 jilid besar; Kifayah Al-Mustafi’d fiima `ala min Asanid,1 bagian; AI-Fawa’id At-Tirmisiyah fl Asanid Al-Qira’at Al-Asy’ariyah,1 bagian; Al-Budur Al-Munir fi Qira’ah Al-Imam Ibn Al-Kathir,6 bagian; Tanwir Ash-Shadr fi Qira’ah Al-Imam Abi Amr 8 jilid; Insyirah Al-Fu’ad fi Qira’ah Al-Imam Hamzah 13 bagian; Tamim Al-Manafi’ fl Qira’ah Al-Imam Nafi’,16 bagian;
Is’af Al-Mathali’ bi Syarh Budur Al-Lami’ Nazham Jam’ Al-Jawami’, 2 jilid; ‘Aniyah Ath-Thalabah bi Syarh Nazham Ath-Thayyibah fi Al-Qira’at Al-Asyriyah 1 jilid;  Hasyiyah Takmilah Al-Manhaj al-Qawim ila Al-Fara’idh 1 jilid; Manhaj Dzawi Al-Nazhar bi Syarh Manzhumah ‘Ilm Al-Atsar 1 jilid; Nail Al-Ma’mul bi Hasyiyah Ghayah Al-Wushul fi`Iim Al-Usul, 3 jilid; Inayah Al-Muftaqir fima Yata`allaq bi Sayyidina Al-Hadhar 2 bagian; Bughyah Al-Adzkiya` fi Al-Bahts `an Karamah Al-Auliya, 3 bagian; Fath Al-Khabir bi Syarh Miftah Al-Sair 15 bagian; Tahayyu`ah Al-Fikr bi Syarh Alfiyah Al-Sair 14 bagian; dan Tsulatsiyat Al-Bukhari 1 bagian.

Perlu diketahui istilah “bagian” dan “jilid” menunjukkan adanya perbedaan. Istilah “bagian” merujuk pada suatu bundel kecil yang terdiri atas 25 sampai 50 halaman yang sering disebut dengan kurrasan (lembaran). Adapun ‘jilid’ merujuk pada suatu kitab atau buku tebal yang terkadang berisi lebih dari 500 halaman, seperti kitab Mauhibah Dzi Al-Fadl` ala Syarh Muqaddimah Bafadhal karya Al-Tarmasi dengan 2.339 halaman.

Setelah bermukim dan mengajarkan ilmu di Makkah selama 40 tahun, Syekh Mahfuzh wafat di Makkah pada hari Rabu, tanggal 1 Rajab, tahun 1338 H, bertepatan dengan 20 Maret 1920 M. Sejak berangkat ke Makkah, ia berharap agar akhir hidupnya berada di sana. Ia dimakamkan di Ma`la, di kota Makkah, berdampingan dengan makam Sayidah Khadijah, Istri Nabi SAW. Lokasi tersebut berada dalam pemakaman keluarga gurunya, Sayyid Abi Bakr Muhammad Shata.

Selengkapnya di sini

  • Annisa Nurul Hasanah Peneliti el-Bukhari Institute dan Tim Redaksi BincangSyariah. Alumni Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang dan Darus Sunnah International Institute For Hadith Sciences