Mengenang KH. Nawawie Bin Noer Hasan Bin Noer Khatim Sidogiri - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

30 Juni 2019

Mengenang KH. Nawawie Bin Noer Hasan Bin Noer Khatim Sidogiri

Penulis: Abdul Adzim
Ahad 30 Juni 2019 08:00
Makam kiai Nawawie/majalah langitan

Atorcator.Com - Tanggal 25 Syawal, tepat hari wafatnya KH. Nawawie bin Noer Hasan Sidogiri. Dulu saat saya masih di pondok, Hual Beliau selalu diperingati hanya melibatkan santri yang didalam, dengan nasi talaman (loyang, tampan)  yang di antarkan ke daerah (kotakan santri) sebagai ciri khasnya. Kami semua para santri pasti bahagia mengikuti acara Haul Beliau hingga selesai karena di malam itu kami bisa makan gratis dengan aneka lauk pauk menu restoran. Hehehe

KH. Nawawie bin Noer Hasan lahir pada tahun 1862 Masehi silam. Beliau merupakan salah satu cucu keempat Mbah Sayyid Sulaiman.

Karena hidup dan besar di lingkungan pesantren, Kiai Nawawie sudah tidak asing lagi dengan ilmu-ilmu keagamaan sejak kecil. Apalagi Sang Ayah, KH Noerhasan bin Noerkhotim dengan setia selalu membimbing dan mengarahkan Kiai Nawawie.

Dari Bangkalan Sampai Mekah al-Mukarramah kehidupan Kiai Nawawie muda dipenuhi dengan rihlah ke beberapa pesantren untuk mencari ilmu. Mekah al-Mukarramah juga tak luput dari pijakan beliau dalam proses pencarian ilmu.

Pesantren pertama yang menjadi oase Kiai Nawawie dalam mengarungi lautan ilmu adalah pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Syaikhona Kholil dan Kiai Nawawie sebenarnya masih tergolong sanak famili. Dalam satu versi Beliau berdua merupakan cicit Kiai Asror bin Abdullah bin Sulaiman Bangkalan (Bujuk Asror/Bujuk Langgundih), cucu Sayyid Sulaiman yang bertempat tinggal di Bangkalan Madura. Orang Madura biasa menyebut hubungan sanak antar cicit ini dengan du popoh (dua pupu), kelanjutan dari sepupu.

Selain nyantri di Bangkalan, Kiai Nawawie juga pernah mencecap ilmu agama di negara tempat lahirnya Islam, Arab. Di Mekah beliau mempelajari segala bidang ilmu pengetahuan Islam dengan rajin dan tekun.
Konon, Kiai Nawawie nyantri di Mekah selama tiga tahap. Pertama, Kiai Nawawie ditemani oleh KHR Syamsul Arifin, Situbondo. Setelah itu beliau kembali ke Sidogiri. Namun tak lama kemudian Kiai Nawawie kembali ke Mekah karena merasa ilmunya belum cukup dan karena saat itu masih ada kakaknya, Kiai Bahar yang menjadi Pengasuh Pesantren Sidogiri.
Kiai Nawawie kembali lagi ke Mekah setelah diberi pertanyaan oleh sang kakak dan beliau tidak bisa menjawabnya. Kiai Nawawie kembali ke Mekah seraya bersumpah tidak akan pulang selagi belum bisa ‘mengalahkan’ kakaknya.
Kiai Nawawie baru pulang dari Mekah setelah diminta untuk meneruskan estafet kepengasuhan Pesantren Sidogiri karena Sang Kakak, Kiai Bahar telah berpulang ke rahmatullah.

SALAH SATU TOKOH PERINTIS NU

Bermula dari keprihatinan para ulama terhadap perkembangan lslam dunia, khususnya Indonesia, dimana pada masa itu sistem pemerintahan khilafah di Turki dihapus. Bagaimanapun juga, penghapusan sistem khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah bekas jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi.

Dari situlah KH A Wahab Hasbullah menghadap KH Hasyim Asyari untuk mengutarakan niatnya mendirikan suatu organisasi keagamaan agar umat Islam bermadzhab mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaanya.
KH Hasyim Asyari tidak langsung menyutujui niat baik KH A Wahab Hasbullah tersebut, namun beliau menyarankan agar berkonsultasi terlebih dahulu kepada KH Nawawie Sidogiri. Atas saran gurunya itu, Kiai Wahab datang ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah Kiai Wahab menyampaikan maksud kedatangannya, Kiai Nawawie menyarankan agar terlebih dahulu bermusyawarah dengan Ulama Pasuruan. 

Akhirnya Kiai Nawawie dan Kiai Wahab sepakat untuk membicarakannya di Masjid Jami’ Pasuruan. Dari musyawarah tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertemuan para ulama di Kediaman KH Wahab Hasbullah pada tanggal 31 Januari 1926 yang kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah jam’iyyah yang diberi nama Nahdlatul Ulama. Dalam catatan Aboe Bakar Atjeh, KH Nawawie bin Noerhasan termasuk salah satu pengurus pertama NU bersama KH Ridlwan Mujahid (Kudus), KH Doro Munthaha (Bangkalan), Syekh Ahmad Ghana’im ( Surabaya asal Mesir), dan KH Rd Hambali.

Di struktur NU, Kiai Nawawie duduk di dewan mustasyar (penasehat) periode pertama. Beliau menjadi mustasyar NU sampai akhir hayatnya.

AIR PEMANDIAN TIDAK JATUH KE TANAH

Pagi itu, Jumat 25 Syawal 1347 H, ada tamu yang bermaksud mengundang Kiai Nawawie untuk melaksanakan salat jenazah. Beliau mengatakan pada tamu tersebut untuk menunggunya sebentar, lalu Kiai Nawawi masuk ke mihrabnya. Lama menunggu, Kiai Nawawie tak kunjung keluar. Santrinya juga menyangka Kiai Nawawie masih melaksanakan Salat Dluha.

Beliau memang istikamah melaksanakan Salat Dluha sebelum membuka pengajian di surau. Lama berselang, Kiai Nawawie juga tak kunjung keluar. Akhirnya salah satu santri memberanikan diri untuk mengintip dari celah lubang kunci, dilihatnya Kiai Nawawie masih sujud. Karena masih tak kunjung keluar, akhirnya santri tadi mengintipnya dan melihat dari mulut Kiai Nawai keluar busa, itupun masih dalam keadaan sujud. Tenyata Kiai Nawawie memenuhi panggilan Sang Khalik dalam keadaan sujud. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Ada kejadian unik saat jenazah Kiai Nawawie dimandikan. Air yang dibuat memandikan jenazah beliau tidak sampai jatuh ke tanah, karena orang-orang yang hadir berebut menadahinya untuk dibawa pulang karena yakin air tersebut mengandung berkah.

Semoga kita selalu diberi hati cinta ulama dan para guru-guru kita serta barokah ilmunya. Amin...


  • Abdul Adzim Lahir di Surabaya. Domisili Bangkalan Madura. Alumni Pondok Pesantren Sidogir. Aktif mengajara di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.