Problematika Hari Raya Bagi Perempuan dan Perspektif Islam - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

04 Juni 2019

Problematika Hari Raya Bagi Perempuan dan Perspektif Islam

Ilustrasi foto (Penulis/Nur Kholilah Mannan)

Penulis: Nur Kholilah Mannan

Atorcator.Com - Tulisan ini berawal dari kegelisahan tentang perempuan –khususnya di desa saya- yang tidak melakukan salat hari raya dan salat jumat dengan alasan adat setempat tidak mengizinkannya. Sebenarnya apakah perempuan mempunyai tempat dalam masjid?

Jika tidak, bagaimana mungkin ‘Rumah Tuhan’ yang Allah perintahkan pada seluruh hamba-Nya untuk berzikir di dalamnya hanya diperuntukkan pada muslim sedang muslimah harus mundur mengalah demi kekhusyukan mereka?

Bukankah muslimah juga hamba Tuhan? Apakah perempuan tidak memiliki tempat dalam masjid? Apakah karena muslimah adalah makhluk indah sehingga tak pantas untuk keluar rumah termasuk untuk beribadah? apakah hanya perempuan yang menyebabkan fitnah dan zina?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bermunculan di benak saya tatkala mengetahui masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan mempunyai posisi dan peran nomor dua (second human) dalam status sosial, agama dan kultur. Padahal tak dapat dipungkiri separuh dari kesuksesan sebuah masyarakat adalah kontribusi perempuan. Jika demikian adanya maka tak heran jika ada pernyataan “Agama Islam adalah agama untuk lelaki”.

Kembali pada posisi perempuan dalam masjid. Di beberapa daerah masih banyak ditemukan perempuan yang tak lumrah melaksanakan salat jumat dan salat hari raya di masjid. Alasannya beragam tetapi semuanya bermuara pada adat dan kebiasaan di daerah setempat yang memposisikan perempuan sebagai satu-satunya penyebab fitnah dan fasiknya lelaki.

Pernyataan ini bukan tanpa alasan, cendekiawan muslim yang pro pendapat ini menggunakan pendapat yang melarang perempuan datang ke masjid untuk salat jumat dikarenakan khawatir terjadi fitnah, salah satunya adalah Badruddin al-‘Aini dari kalangan _Hanafiyah mengatakan bahwa perempuan yang salat di masjid hukumnya makruh tahrim.

Penderitaan tidak berhenti sampai di sana, ia juga dibebani mengurus anak ketimbang salat berjamaah di masjid. Padahal sangat jelas diproklamirkan dalam al-Quran bahwa anak adalah milik dan tanggung jawab suami bukan istri (وعلى المولود له).

Setidaknya ada dua argumen ‘bumerang’ terhadap argumentasi diskriminatif di atas:

Pertama, Perempuan dilarang menghadiri masjid. Jaser Auda dalam diktatnya yang berjudul As'ilah Haula al-Mar'ah wa al-Masjid fi Dlau'i an-Nushus as-Syariah wa Maqashidiha (Problematika Seputar Perempuan dan Masjid Perspektif Teks dan Maqashid Syariah) mengatakan bahwa di beberapa Negara minoritas muslim masih banyak larangan masuk masjid bagi perempuan yang terpampang di pintu-pintu masjid, seperti di London, Delhi dan ibu kota besar lainnya.

Tidak hanya di kota-kota besar, di masjid yang sering kita jumpai di Indonesia juga terkesan ‘memojokkan’ perempuan. Buktinya, jatah tempat bagi perempuan disediakan relatif lebih sempit daripada jamaah laki-laki disertai pembatas yang mengahalangi perempuan untuk melihat imam/khatib secara langsung.

Ruang yang disediakan untuk perempuan biasanya diletakkan di pojok ruangan seakan-akan  tujuannya agar memberikan ruang khusyu bagi jamaah laki-laki dalam beribadah, agar tidak terganggu dengan hadirnya perempuan. Padahal, masih menurut Jaser Auda, secara logika sederhana, masjid adalah ‘Rumah Tuhan’ Pemilik segala alam, Tuhan bagi laki-laki dan perempuan. Lalu apakah pantas melarang hamba perempuan untuk beribadah di Rumah-Nya?

Larangan bagi perempuan untuk beribadah secara bebas ini biasanya didasarkan atas ayat berikut:


فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ...

Mereka beranggapan bahwa kata rijāl dalam ayat tersebut hanya khusus untuk laki-laki. Padahal, dalam literatur linguistik kata rijāl mencakup laki-laki dan perempuan, rujuklah lagi ayat-ayat yang lain seperti QS. al-A’rāf:46, al-Ahzāb: 23 dan lain-lain. Jika teks itu dikhususkan untuk laki-laki maka akan ada dikotomi pembahasan yang disusulkan setelahnya seperti dalam QS. Al-Fath: 25.


Jika sedikit saja menoleh pada sejarah Nabi, peran dan posisi perempuan dalam masjid mempunyai porsi yang sama dengan laki-laki. Hadis yang diriwayatkan Aisyah ra. “Kami para perempuan mukminah hadir bersama Nabi dalam salat fajar dengan mengenakan murūṭ (pakaian dari bulu yang dibalutkan ke tubuh) dan pulang ke rumah masing-masing setelah melaksanakan salat” .

Hadis lain diriwayatkan oleh Sya’bī “Kami menemui Fatimah bin Qais ia berkata “Panggilan untuk salat jamaah telah berkumandang, maka aku berangkat ke tempat jamaah dan aku berada di saf pertama barisan perempuan di belakang saf terakhir barisan jamaah laki-laki, lalu aku mendengar Nabi berkhutbah…”  dan hadis-hadis lain yang tak mungkin disebutkan satu persatu.

Kedua, jamaah perempuan dianggap menggangu pandangan dan kekhusyu'an ibadah jamaah laki-laki. Argumen ini cukup lemah lantaran penyebab timbulnya fitnah bukan hanya datang dari perempuan semata, melainkan juga ada upaya dari laki-laki. Melarang perempuan untuk beribadah dengan argumen tersebut merupakan diskriminasi terhadap perempuan karena telah mengahalanginya beribadah di masjid.

Ayat tentang tatakrama melihat dimulai dari seruan untuk laki-laki  (قل للمؤمنين يغضو من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكي لكم وأطهر)  baru kemudian dilanjutkan dengan seruan untuk perempuan (وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهم ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهم إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن ولا بيدين زينتهن إلا لبعولتهم).

Redaksi ini setidaknya memberikan kesimpulan bahwa yang harus dijaga terlebih dahulu adalah pandangan laki-laki kemudian perempuan harus menjaga penampilannya agar tidak mengganggu lelaki yang sudah menundukkan pandangannya tadi.

Wal-akhir, kita patut berharap kepada semua elemen masyarakat agar tidak memojokkan kaum hawa, karena walau bagaimanapun value manusia sama di hadapan Tuhan yang membedakan adalah takwa. Selamat Hari Raya Idul fitri, ja’alanallah minal ‘āidīn wal faāizīn.

Wallahu a’lam
________________________
  • Nur Kholilah Mannan Santriwati yang tulisan tangannya tidak layak tayang