Spiritualitas tanpa Agama - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Senin, Juni 17, 2019

Spiritualitas tanpa Agama

Penulis: Roy Murtadho
_______
Editor: Syarifah
Publisher: Azam Ibrohmy
Senin 17 Juni 2019 06: 40
Ilustrasi foto/gkjw

Atorcator.Com - Saya akan berbagi sedikit cerita:

Anak pertama saya, suatu hari bertanya perihal orang ateis. Suatu pertanyaan yang tak pernah saya duga sebelumnya. "Apakah orang ateis itu baik?" Demikian pertanyaannya. Sebenarnya saya tak terlalu kaget dengan pertanyaan tersebut. Yang saya kaget justru dengan adanya embel-embel adjective "baik" di belakangnya. Ada apa hingga Ia bertanya seperti itu?

Tak seperti biasanya, kali ini mendadak, saya menjadi sangat hati-hati untuk menjelaskan sesuatu: soal ateisme. Namun sebelum menjawab saya balik bertanya: Memang apa yang pernah kakak tahu tentang ateisme dan bagaimana bayanganmu tentang orang ateis?

Secara umum Ia tahu apa itu ateisme. Namun ia tak pernah tahu, seperti apa dan bagaimana moral orang ateis. Ia belum punya bayangan setitik pun tentang perilaku orang ateis. Ia hanya dapat informasi dari gurunya bahwa orang ateis jahat, amoral, menghalalkan segala cara (khas stigma pada komunis). Pendeknya mereka orang yang tak punya akhlak, pantas dibenci bahkan layak dimusnahkan.  

Singkat cerita, saya jelaskan banyak sekali tentang kisah dan sikap ilmiah para ilmuan, dan filsuf yang memilih menjadi ateis sebagai konsekuensi teoritis yang diikutinya, dengan ditopang argumen yang sangat kokoh. Tentu saja ia belum bisa menangkap semua pesan yang sedang saya sampaikan, mengenai sebuah konsepsi tertentu. Saya sadar soal itu. Inti dari pesan saya adalah, mereka, orang ateis tadi punya andil besar bagi kehidupan. Menjadi pionir di berbagi cabang ilmu pengetahuan, seni, sastra dan filsafat. 

Untuk mempermudah mencari padanan. Saya memintanya mengingat-ingat ketika Ia saya ajak berkunjung ke berbagai tokoh agama: Konghucu, Budha, Hindu dan Kristen. 

Kakak, ingat tidak waktu saya ajak ke rumah pak pendeta A, pendeta B, dll. Atau waktu ikut ayah ke gereja karena diundang mengisi ceramah? "Iya ingat".

Menurut kakak orang-orang itu baik tidak? "Iya baik". 

Atau ingat tidak ketika sahabat-sahabat ayah berkunjung ke rumah Jombang. Ada yang Cina, Madura, Kristen, Hindu dls? Atau kakak masih ingat Cik Wa dan pak Wandi yang China dan Kristen itu? "Oh ya tentu ingat. Semua baik orangnya". Jawabnya mantab!. 

Oke. Demikian juga dengan orang ateis, homo, komunis dls. Kalau ada yang jahat, tentu saja bukan karena agamanya, atau orientasi seksualnya, tapi karena orang tersebut sudah terlanjur membiarkan dirinya dikuasai sikap mental yang jahat, yang bisa jadi dipengaruhi oleh banyak hal: lingkungan, keluarga, perkawanan dls. Sebaliknya, kalau ada orang halus budinya, gemar membahagiakan kawannya atau orang lain, punya rasa hormat pada kawannya, suka menolong, mau berbagi pandangan, tidak mau menang sendiri. Ya semata-mata Ia senantiasa melatih diri dan pikirannya untuk bertindak positif pada orang lain. Ia menempa dirinya agar tertanam sikap mental positif. 

Setelah berselang lama. Beberapa hari lalu Ia saya ajak ke acara "Kupatan Tumpang Pitu: Tolak Tambang Emas di Banyuwangi" di pantai Pulau Merah persis di samping Gunung Tumpang Pitu. Sesuai baca doa, kami aksi bersih-bersih pantai. Tiba-tiba Ia berkelakar, "yah, lihat itu...." Sambil menunjuk anak-anak remaja duduk-duduk di tepi pantai. "Mbak-mbak dan mas-mas itu tadi buang bungkus es nya di pantai. Mereka itu kan semua umat Rasulullah?" Katanya sambil ketawa. 

Artinya apa Le? Sambil bercanda, Ia jawab singkat: "Nggateli!". 😁

Nah, itu bukan salah Islamnya atau salah Rasulullah. Tapi karena salah mereka sendiri. Meski begitu, sebenarnya kalau dirunut yang paling bertanggung jawab ya produsen plastik dan sistem kapitalisme. 

Di jalan, sambil pulang ia bilang, "Tante Sophia orangnya baik. Ia Kristen". 

Iyap betul kak. Itu aja belum tentu Ia rajin ke gereja. 🤐 Yang penting baik.

Cerita yang lain, 

Suatu ketika saya dipanggil eyang Gunawan Wiradi, seorang pemikir dan aktivis agraria kawakan di negeri ini. Di tengah-tengah perbincangan kami, tiba-tiba, si eyang yang selalu asyik menjadi teman diskusi dan berdebat ini bilang kepada saya, "Gus Roy, apa ya pantas saya ini jadi umatnya Rasulullah?" 

Saya terhenyak, dada saya berdebar-debar, bulu saya merinding mendengarnya. 

Duh, Gusti. Beliau adalah orang yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk berpikir dan berjuang bagi kemanusiaan, pembebasan kaum tani, masih bertanya begitu. Gumam saya dalam hati. 

"Saya ini dididik oleh macem-macem agama. Karena ditinggal bapak mati sejak saya masih kecil. Saya dititipkan ke paman, bibi dan kakak, yang agamanya beda-beda. Mulanya saya dididik Islam, kemudian karena pindah ikut paman lainnya, saya dididik kristen. Di sekolah dididik ajaran Teosofi. Jadi ya campur-campur. Tapi kalaupun dianggap Islam. Saya ini kejawen!. Ajaran Krisna!" Katanya melanjutkan. 

"Eyang, seharusnya saya yang tanya begitu. Apa pantas saya mengaku umat Rasulullah? Belajar Islam sekian lama, tapi banyak nilai-nilai luhur Islam yang justru saya ingkari atau belum bisa saya amalkan?. Eyang telah mengamalkan sebagian besar dari nilai-nilai islam itu". Jawab saya. Tiba-tiba saya mbrebes mili  mendengar ketulusan dan kepolosan eyang Wiradi. 

Inilah. Spiritualitas itu. Seperti dikatakan Bli Made. Hati dan pikiran eyang Wiradi selalu gelisah. Selalu bersemangat dan bahagia setiap kali membincangkan persoalan teori sosial, pengalaman riset, kenangan di gerakan rakyat, dan ketika membincang nasib rakyat. Ia tak dikungkung oleh suatu ajaran agama tertentu. Ia melampuai itu semua. Ia selami banyak khasanah pemikiran, sastra dan teologi. Lebih dari sekedar, apa yang dikira banyak orang selama ini: "hanya omong agraria". Tidak. 

Kembali ke percakapan dengan anak saya.

Pertengahan puasa kemarin kami sekeluarga berkunjung ke rumah seorang kawan arsitek di Jogja. Sebelum mudik ke Jatim. 

Anak saya tanya. "Yah, agamanya om Yoshi apa?" Entah. Dan emang kenapa. Bisa jadi om Yoshi Kristen, Katolik, atau ateis, atau klenik, atau pemuja pohon, atau malah yang lainnya. Entah. Emang kenapa kamu terobsesi tanya agama orang lain? 

"Enggak. Orangnya baik. Menyiapkan kita berbuka puasa dan sahur. Padahal kita nggak tahu agamanya apa". 

Saya hanya tersenyum. Saya tahu si kakak, anak saya yang pertama ini, tak sedang usil ingin tahu atau ngurusin agama orang lain apa. Tapi sebagai anak-anak Ia sedang belajar atau latihan meyakinkan dirinya bahwa orang baik, memikirkan lingkungan, membela orang yang dianiaya itu ada dimana-mana, dari agama apa saja, atau yang tidak beragama. Demikian juga sebaliknya. Yang merusak hidup dan kehidupan ini dari berbagai agama, juga yang tidak beragama. Mungkin inilah yang disebut spiritualitas tanpa agama. Dan memang spiritualitas pada dirinya tak memerlukan agama. 

Lebih-lebih, ia kerap mendengar propaganda keji di lingkungan rumah dan sekolah bahwa orang ateis jahat, atau orang kristen jahat. Padahal orang Islam juga banyak yang jahat. 

Sambil menggoda saya tanya, lha kalo haji Muhidin. Pergi haji. Bisa ngaji. Kaya. Pelit. Suka ribut dengan tetangganya itu gimana? "Nggateli...." 😁. Kami tertawa bersama sambil makan sahur yang disiapkan kawan yang kami tak pernah tahu agamanya apa. 

Ketika engkau merenung tentang berbagai hal yang terjadi dan ingin menyumbang sesuatu untuk perubahan yang lebih baik, ya itu spiritualitas. Ketika engkau tergertar hatimu melihat orang dizalimi dan engkau bangkit membela. Itulah spiritualitas. 

Apakah engkau gelisah dan sedih melihat sampah menumpuk dimana-mana? "Iya" Itulah spiritualitas. Apakah engkau sedih melihat tanah petani dirampas dan mereka dianiaya? "Ya" itulah spiritualitas. Apakah engkau gelisah ketika melihat video dokumenter Hutan Lore Lindu dirusak dan hewan-hewan nya mati? "Iya, tentu" itulah spiritualitas. Apakah engkau akan merawat mamamu kelak kalau sudah tua renta? "Iya". Itulah spiritualitas. Apakah engkau rela mengorbankan apa yang paling kamu senangi untuk hidup yang lebih baik bagi semua orang dari manapun agamanya? "Mmm, iya". Ya, itulah spiritualitas. Seperti ceritamu, engkau dan adik membela temanmu si Carlos, yang Kristen saat dibully teman-temanmu yang lain. Itulah spiritualitas. Kita boleh mengklaimnya sebagai "Islam Kita Nak!".

Catatan: "Nggateli" adalah bahasa gaul Jawa timuran yang artinya "brengsek", atau "kurang baik".