Syair Munajat, Abu Nawas, dan Sanubari Masyarakat Banten - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

29 Juni 2019

Syair Munajat, Abu Nawas, dan Sanubari Masyarakat Banten

Penulis: Muhammad Masrur
Sabtu 29 Juni 2019 06:00
Ilustrasi foto/brillio

Atorcator.Com - Syair ini tentu tidak asing bagi kita umat muslim di Indonesia,

Ilaahi Lastu Lil Firdausi A’laa *** Wa laa aqwaa ‘alaa-n-naari al-jahiimi
Fahablii taubatan waghfir dzunuubii *** Fa innaka ghaafiru-dz-zanbi-l-‘adhiimi

Tuhanku, Aku tidak pantas tinggal di Surga Firdaus-Mu *** Aku pun tidak kuat kalau tinggal di Neraka-Mu
Maka terimalah taubatku, ampuni dosaku *** Karena Engkaulah Pengampun dosa besar.

Seingat penulis, syair ini populer disenandungkan di masjid, acara keagamaan seperti maulid, Isra’ Mi’raj, dan acara sejenisnya. Ketika sudah masuk rekaman, ada banyak orang terkenal yang menyanyikannya. Dari K.H. Abdurrahman Wahid sampai penyanyi religi macam Opick dan Raihan. Yang terakhir ini adalah grup Nasyid dari Malaysia. Jika anda mengenal Musthafa ‘Aatif, penyanyi muda dari Mesir yang biasa menyanyikan shalawat, menyatakan kalau syair ini adalah syair terakhir yang diucapkan ayahnya sebelum wafat, seperti yang ia sampaikan lewat akun twitter-nya.

Tapi siapa yang pertama kali membuat syair ini? Pertanyaan ini menggoda kami menjawab karena mendengar kabar yang populer kalau syair ini didendangkan oleh Abu Nawas, seorang jenaka di masa Kekhalifan Abbasiyah. Kabarnya, ia menyanyikan syair ini di akhir hayatnya, sebagai sebuah pengakuan kalau ia dahulu di masa hidupnya bergelimang dosa. Tapi benarkah demikian? anda bisa mengkritisi saya jika informasi ini tidak benar. Saya mencoba mencari tahu lewat googling, hampir seluruhnya menyebut syair ini masuk kedalam Diwan Abu Nawas. Namun, Diwan Abu Nawas yang kami temukan dalam Maktabah Syamilah, software berisi kitab-kitab berbahasa Arab, tidak menyebutkannya.

Dalam beberapa kitab kuning, kami menemukan syair ini dalam Kashifatu al-Sajaa karya Syaikh Nawawi al-Bantani, syarah (penjelasan) atas kitab Safinatu al-Najaa.Dalam kitab tersebut, dinukil dari pendapat Imam ‘Abdu al-Wahhab al-Sya’rani, disebutkan bahwa siapa yang melazimkan membaca syair ini di hari jumat, maka Allah Swt. akan wafatkan dia ketika memeluk agama Islam.

Redaksi yang sama disebutkan dalam I’aanatu al-Thaalibiin, Bughyatu al-Mustarsyidiin, dan Haasyiyah al-Baijurii ‘ala Fath al-Qariib. Ketiganya adalah kitab fikih mazhab Syafi’i. Tapi sampai tulisan ini dibuat, saya belum mengetahui di kitab apa Imam al-Sya’rani, seorang sufi besar di Mesir abad ke-9 H/15 M ini.Wallahu A’lam, jika pembaca mengetahuinya, akan segera saya tambahkan.

Kembali lewat Maktabah Syamilah, penulis mencoba menelusuri di kitab-kitab lain yang barangkali memuat syair ini. Hasilnya menarik. Empat mazhab fikih yang masyhur kecuali mazhab Syafi’i tidak menyebut kitab ini. Tidak juga disebutkan dalam kitab akidah dan akhlak.

Tapi, kami menemukan syair ini dianggap sebagai diantara jenis bid’ah dalam sebuah kitab bernama al-Sunan wa al-Mubtadi’aat karangan Muhammad ‘Abdu al-Salaam Khidr al-Qusyairi. Membaca syair ini digolongkan sebagai ragam bid’ah yang dilakukan di waktu jum’at. Ada kitab lain bernama Mawsu’ah al-Syi’r al-Islaami(Ensiklopedi Syair-Syair Islam). Syair ini disebutkan didalamnya, tetapi tidak disebutkan asal-usulnya. Beberapa karya lain mencantumkannya sebagai bagian dari buku retorika berpidato kalau kumpulan ceramah.

Walhasil, saya menarik kesan kalau syair yang populer di Indonesia ini adalah syair yang sufistik yang dipopulerkan ulama Haramain, yang banyak mempengaruhi perkembangan Islam di Nusantara. Terlepas mana yang benar apakah Abu Nawas terlebih dahulu atau al-Sya’rani yang mencetuskannya, itu tidak lagi menjadi permasalahan utama. Soal dakwaan bid’ah, boleh jadi berangkat dari adanya ganjaran dari amaliah yang secara eksplisit tidak ada dasarnya, tapi bukankah syair diatas mengandung nilai doa. Tentu saja, doa adalah inti dari beragama bukan.

Sebagai informasi yang mungkin patut diberikan perhatian, penulis menemukan kalau anjuran al-Sya’rani dalam Kashifatu al-Sajaa ini masih istikamah dijalankan di daerah Banten. Kami pernah tinggal satu bulan di sebuah daerah yang tidak jauh dari Tenara, daerah Imam al-Nawawi dilahirkan. Di sana, syair ini selalu dibacakan bersama dengan wirid lain setelah shalat jum’at, persis dengan apa yang disebut dalam Kashifatu al-Sajaa. Seorang kawan dari Banten mengaku bahwa syair ini memang masih rutin dibaca setiap jum’at di masjid-masjid Banten. Saya pun bergumam, bahwa pengaruh Syaikh Nawawi al-Bantani masih mengakar kuat dalam sanubari rakyat di daerah Banten.

Selengkapnya di sini


Wallahu A’lam.

  • Muhammad Masrur  Peneliti di el-Bukhari Institute, Alumni Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah dan Dirasat Islamiyah UIN Jakarta