Penulis:
Sarjoko
Senin 17 juni 2019 15:08
![]() |
Ilustrasi foto/NU-online |
Atorcator.Com -
Pertemuan saya dengan muslim pengguna celana cingkrang (anti-isbal; isbal adalah
istilah menggunakan celana menjulur di bawah mata kaki) sudah terjadi
bertahun-tahun yang lalu. Ketika saya masih mengenyam pendidikan di sekolah
dasar, beberapa kali masjid tempat saya mengaji didatangi puluhan orang
bercelana cingkrang yang mengatasnamakan kegiatannya sebagai khuruj.
Tidak ada yang
mengganggu waktu itu selain perasaan ‘aneh’ saya karena para geng khuruj ini
membawa budaya yang tak biasa. Mereka berpakaian gamis dan sorban, mandi di
toilet masjid, memasak di salah satu ruangan masjid, menggunakan siwak untuk
menggosok gigi sebelum salat, dan sering mengundang anak-anak seusia saya untuk
ikut kajian. Tentu saja, saya dan teman-teman yang ‘takut’ memilih kabur.
Tetapi kami
biasa-biasa saja. Saya sering diminta orang tua untuk mengirim gorengan atau
semangka kepada geng khuruj. Biasanya mereka akan mengucapkan terima kasih
dan mendoakan dengan berbagai macam doa yang baik.
Dalam
pengamatan awam masa kecil saya, saya bisa membedakan beberapa anggota geng khuruj di
masjid. Ada yang mau ikut dzikir setelah salat, ada yang dzikir sendiri. Ada
yang mau ikut salaman antar jemaah setelah salat, ada yang memilih langsung
melaksanakan salat rawatib. Biasanya, orang tua saya akan ‘rasan-rasan’ kalau
ada geng khuruj yang tidak membaur dengan masyarakat.
Salah satu yang
pernah dikeluhkan orang tua saya adalah ketika geng khuruj bertamu di
rumah, kemudian mengajak orang tua saya untuk salat jamaah lima waktu di
masjid. Beberapa dalil mengenai kewajiban salat jamaah bagi warga yang berada
di sekitar masjid dikeluarkan. Bukan tanpa sebab orang tua saya merasa jengkel.
Sudah sekian tahun orang tua saya dan tetangga di sekitar masjid memang tidak
pernah absen dari kegiatan salat jamaah. Tetapi mengapa malah dijadikan objek
dakwah?
“Lha, mengapa
mereka tidak mau dakwah di sana yang tiap adzan justru masih sibuk memancing?”
ujar bapak saya satu waktu sembari memberi isyarat di sebuah tempat
pemancingan.
Kegelisahan
semacam ini bukan hanya diungkapkan oleh bapak saya saja. Beberapa tetangga
yang aktif jamaah pun kerap menyampaikan ketidaknyamanan karena terus-terusan
diberi dalil-dalil.
Cerita lainnya,
di masjid saya sering ada peringatan maulid Nabi. Nah, anggota geng khuruj yang
kebetulan ada di masjid banyak yang tidak membaur dengan masyarakat untuk
burdahan dan salawatan. “Warga disuruh ikut kajian kok dianya enggak mau ikut
kegiatan warga.”
Ketika saya
merantau ke Jawa, saya menemukan realitas yang lebih kompleks. Terutama ketika
saya kuliah di Yogyakarta yang masyarakatnya begitu plural. Celana cingkrang bukan
lagi sebatas atribut geng khuruj. Di Yogyakarta, saya melihat celana
cingkrang sebagai bagian dari politik identitas. Oleh sebagian kalangan, celana
cingkrang bahkan sudah dicap sebagai wahabi, pelaku poligami, anti-tahlilan,
anti-basmalah dalam Al-Fatihah, dan lain sebagainya.
Di satu sisi
anggapan ini bisa benar karena ada banyak peristiwa yang menguatkan. Saya
beberapa kali salat di masjid yang didominasi kelompok anti-isbal ini dan
menemukan sebagian besar stigma yang orang-orang tuduhkan. Namun ingatan masa
kecil saya menolak keras untuk menggeneralisir pandangan tersebut. Apalagi jika
menyebut secara meyakinkan bahwa pengguna celana cingkrang sebagai golongan
yang memusuhi adat.
Ingatan saya
menuju ke sosok berjenggot bernama Pak Dahari. Sejak saya kecil, Pak Dahari
sudah menggunakan gamis dan pakaiannya selalu di atas mata kaki. Ia adalah
bagian dari geng khuruj yang sampai saat ini, ketika saya salat
jamaah di masjid, tidak pernah sekali pun melihat ketidakhadirannya.
Ada cerita
dari tetangga bahwa Pak Dahari selalu menghentikan aktivitasnya ketika waktu
salat menjelang. Bisa dikatakan, Pak Dahari adalah pejuang jamaah di desa saya.
Pak Dahari
tidak pernah memisahkan diri dari kebiasaan warga desa saya. Dia ikut berdzikir
setelah salat, ikut salaman seusai salat, dan ketika do’a sebelum adzan
menggunakan redaksi ‘sayyidina’ untuk mengawali penyebutan pada Rasulullah
Muhammad SAW. Pak Dahari juga sering melantunkan puji-pujian seusai adzan. Ia
mengikuti kegiatan warga bersalawat ketika bulan Maulid Nabi Muhammad.
Karenanya saya
selalu menolak untuk menilai seseorang karena perilaku kebanyakan orang lain
yang mirip dengannya. Kehidupan beragama itu kompleks. Bisa saja kita
berargumen dan menyalahkan pelaku politik identitas yang membentuk stereotip kita.
Tetapi apa salahnya kita menolak dan mengoreksi berbagai stereotip yang
melekat? Di era
politisasi identitas, kewarasan kita memang sangat diuji.
Wallahu a’lam.
Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan di islami.co
- Sarjoko Santri di Nailul Ula Center Plosokuning, Yogyakarta. Pegiat Islami Institute.