Tiga Alasan Gus Dur Menyebut Agama Demokrasi - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

03 Juni 2019

Tiga Alasan Gus Dur Menyebut Agama Demokrasi


Penulis: Silmi Adawiya

Atorcator.Com - Konsep demokrasi menurut Gus Dur adalah konsekuensi logis yang dianggap sebagai salah satu dimensi dalam ajaran Islam. Berikut alasan Gus Dur menyebut Islam agama demokrasi.

Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas.

Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan (amruhum syuraa bainahum), artinya adanya tradisi bersama membahas dan mengajukan pemikiran secara terbuka dan pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan.

Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Dengan tiga alasan ini, maka sejatinya islam adalah demokrasi itu sendiri.

Ide demokratisasi Gus Dur muncul karena ia melihat ada kecenderungan umat Islam Indonesia menjadikan Islam sebagai “alternatif” bukannya sebagai “inspirasi” bagi kehidupan masyarakat. Di sinilah letak permasalahannya, Islam tidak bisa menyatakan sumbangannya lebih besar dan benar dari yang lainnya karena semua pihak sama. Adanya penghargaan terhadap pluralitas dengan menganggap mereka yang berada di luar sebagai orang mandiri.

Dalam konteks ke-Indonesiaan yang pluralistik hendaknya Islam tidak ditempatkan sebagai ideologi alternatif seperti memposisikan syari’ah berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi Islam dalam demokrasi bisa dicapai bila dari Islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti persamaan, keadilan, musyawarah, kebebasan dan rule of law, karena dalam satu aspeknya adalah merupakan agama hukum. Pemikiran demokrasi Gus Dur menunjukkan ia telah menerima konsep demokrasi liberal atau parlementer secara tegas.

Menurut Gus Dur, demokrasi dikatakan berhasil jikalau warga masyarakat mendapatkan keadilan. Demokrasi terasa berkeadilan apabila ada kesetaraaan (egalitarianisme) warga masyarkat baik di depan undang-undang, hukum maupun dalam lembaga birokrasi dengan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa adanya diskriminasi gender, warna kulit, pribumi-keturunan, etnis, idiologi, dan agama. Kalau Islam menopang demokrasi, maka Islam juga harus menopang keadilan. Sebagaimana difirmankan oleh Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa

Perintah ini sangat jelas, yakni perlunya ditegakkan keadilan dalam segala bentuk, baik keadilan hukum maupun keadilan sosial. Keadilan sosial ini sangat penting karena salah satu patokan Islam adalah kaidah fiqh: langkah dan kebijaksanaan para pemimpin mengenai rakyat yang mereka pimpin haruslah terkait sepenuhnya dengan kesejahteraan rakyat yang mereka pimpin itu. Karena orientasinya adalah kesejahteraan rakyat, maka keadilan sangat dipentingkan. Orientasi kesejahteraan inilah yang membuktikan demokratis atau tidaknya kehidupan suatu masyarakat.

Dalam pandangan Zuhairi Misrawi, Gus Dur telah memperlakukan kelompok-kelompok minoritas, terutama mereka yang tertindas, sebagai warga Negara yang mempunyai hak sama di depan hukum. Tatkala menjadi presiden ke-4 RI, Gus Dur juga memulihkan hak politik etnis Tionghoa.

Gus Dur senantiasa menegaskan bahwa kelompok minoritas mempunyai hak sipil politik ataupun hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sama dengan hak-hak kelompok ”pribumi”. Eksistensi mereka dilindungi oleh konstitusi. Dalam hal ini, pemikiran tentang multikulturalisme sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan makin memperkukuh. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan.

Dalam hal ini, menghidupkan dan mengembangkan kembali pemikiran Gus Dur sangat relevan. Di antaranya diperlukan pandangan keagamaan yang berorientasi kebangsaan, yang dapat melindungi seluruh warga negara, apapun agama, keyakinan, kelompok, ras, dan sukunya. Dalam buku Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, Gus Dur menegaskan bahwa umat Islam Indonesia harus mengembangkan pandangan keislaman yang berorientasi kebangsaan. Salah satu pesan yang sangat kuat dalam Al-Qur’an adalah bahwa Nabi Muhammad SAW diutus oleh Tuhan untuk membangun persaudaraan bagi seluruh umat. Tersirat dalam wahyu Allah QS al-Anbiya: 107


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam

Selengkapnya di sini
____________________

  • Silmi Adawiya Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta