Abah Guru Sekumpul dan Fitnah Yang Membawa Hikmah - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

26 Juli 2019

Abah Guru Sekumpul dan Fitnah Yang Membawa Hikmah

Jumat 26 Juli 2019


Atorcator.Com - Ketika di  Majlis Darussalam, Abah Guru Sekumpul membicarakan tentang kedudukan niat yang diterangkan Imam Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin bahwa hakikat niat itu adalah inbi’ats atau motivator penggerak di dalam hati. Jadi,  apa yang menjadi motivasi kita itu adalah niat kita, kalau motivasi kita keridhaan Allah, berarti niat kita karena Allah.

Ternyata, ada orang tidak suka dengan Guru Sekumpul dengan melaporkan ke kantor Dewan Guru. Dari rapat para Dewan Guru, maka sosok Guru Sekumpul dikeluarkan dari jajaran staf pengajar Darussalam.

Akibat fitnah itu, Guru Sekumpul tidak mau diam di rumah, karena beliau tidak mau keluarga di rumah ikut mendapat fitnah juga. Beliau memilih berdiam di Musholla Darul Aman, dengan perbekalaan seadanya. Beliau fokus beribadah hingga beberapa bulan lamanya. Semua itu tidak membuat beliau berkecil hati dengan anugerah Allah, beliau tetap merasa bersyukur atas apapun yang menimpa dan memang harus dijalani.

Bagi Guru Sekumpul, hal ini menimbulkan hikmah tersendiri, karena dengan adanya kejadian ini beliau lebih konsentrasi kepada hapalan al-Qur’an. Beliau menjadi akrab dengan ayat-ayat kitab Allah tersebut, tanpa harus selalu membuka lembaran-lembarannya, karena pada akhirnya beliau hapal di luar kepala 30 juz wahyu Allah tersebut hanya dalam waktu tidak lebih dari  7 bulan lamanya.

Waktu-waktu berada di Musholla Darul Aman beliau lewati dengan penuh semangat, sehari-harinya hanyalah berada di Musholla. Ia tidak ingin pulang sebelum selesai Khatam menghafalkan Al-Qur’an. Adapun masalah makan ia dapatkan dari sepiring nasi setiap hari yang diberikan oleh keluarganya. Nasi tersebut kemudian beliau bagi menjadi tiga bagian, satu bagian untuk sarapan pagi, sebagian lagi untuk makan siang, dan sisanya untuk makan malam walaupun nasinya sudah agak keras dan terkadang bersemut.

Menyebarnya kabar sesatnya Guru Sekumpul, sebagian ulama tak percaya, bagaimana mungkin bisa terjerumus kepada hal yang demikian pada beliau orang ‘alim, apalagi beliau adalah kemenakan al-‘Alimul Fadhil Tuan Guru Semman Mulya, rasanya tidak mungkin Tuan Guru itu akan mendiamkan kemenakannya, jika ilmu yang diyakini kemenakannya ternyata berbeda dengan faham ahlu sunnah wal jama’ah.

Suatu hari, saat berada dalam Musholla Darul Aman, Guru Darussalam bertanya masalahnya. Abah Guru mengatakan bahwa jawaban ada di dalam kitab yang dibawa ulama itu, ternyata kebetulan ulama tersebut membawa kitab Ihya ‘Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali.

“Jelaslah sudah permasalahannya, kalau demikian ini semua adalah fitnah” katanya. Namun Guru Sekumpul tidak ingin memperpanjang permasalahan ini, bagi beliau cukup Allah SWT saja yang menjadi saksi kebenaran beliau.

Guru Sekumpul sudah memutuskan untuk tidak kembali lagi mengajar di Darussalam, beliau lebih memilih menyendiri, mendalami ilmu dengan muthola’ah dan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Beliau merasakan hikmah di balik semua kejadian itu sangatlah positif, menjadi lebih dekat dan makrifat dengan Allah SWT. Beliau sering pergi ke makam Syeikh Abdussamad Bugis di Tungkaran, disana beliau banyak beribadah dan memuthala’ah kitab-kitab ilmu agama.

Hikmah kejadian ini melahirkan berkah tersendiri bagi umat muslim di bumi Kalimantan. Dengan keluarnya beliau dari jajaran staf pengajar Pondok Pesantren Darussalam malah membuat beliau menjadi milik semua umat, karena ilmu titipan Allah pada beliau bisa dikaji oleh berbagai kalangan di Majlis Ta’limnya.

Dan akhirnya Abah Guru dapat izin Rasulullah membuka majlis di keraton yang menurut cerita awal muridnya cuma 7 orang (salah satu almarhum Guru Zaini Mursyid di Skumpul bisa jadi imam di mushalla Ar-raudhah) . Dan cerita Sofwan, salah seorang santri yang ikut belajar di majelis ta’lim Guru Zaini ketika itu menceritakan, bahwa sekitar penghujung tahun 1966, ia dan teman-temannya yaitu Mahmud dan Fathullah yang menjadi murid Guru Zaini sejak tahun 62-an, mereka disewakan oleh Guru Zaini sebuah rumah untuk tempat tinggal selama mengaji di tempat beliau.

Sofwan menceritakan pula bahwa selama berdiam di rumah itu selain mendapatkan bimbingan ilmu dan amal, mereka juga mendapatkan bantuan secara materi dari Guru Zaini yang membelikan kebutuhan hidup mereka sehari-hari; dari beras, lauk maupun kebutuhan lainnya. Malah terkadang Guru Zaini sendiri yang memasakkan makan siang mereka.

Sofwan dan teman-temannya pun seusai pulang sekolah di Pesantren Darussalam tinggal makan saja. Di masa itu menurut cerita Sofwan lagi, ia sering mengalami sakit, sehingga Guru Zaini selalu memanggil seorang mantri yang bernama Umar, langganannya, untuk mengobati dirinya.