Dialektika Media Massa di Era Reformasi - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

09 Juli 2019

Dialektika Media Massa di Era Reformasi

Penulis: Ahmad Maki
Selasa 9 juli 2019 14:39
Ilustrasi foto/Hipwe

Atorcator.Com - Adanya revolusi yang terjadi pada tahun 1998 dari kekuasaan orde baru menuju reformasi berimplikasi besar terhadap hak-hak kebebasan yang sempat direnggut oleh rezim orde baru. Pasca reformasi rupanya memberikan sisi positif bagi seluruh masyarakat yang ada di Indonesia, karena itulah yang diamini oleh segenap masyarakat, dapat terbebas dari belenggunya otoritas rezim orde baru. Selain hal positif rupanya reformasi memberikan pengaruh negatif yang sangat luar biasa dahsyatnya. Terutama mengenai kebebasan dalam bersuara bagi setiap individu.

Seiring berjalannya transisi reformasi yang masif diperdengungkan di seluruh penjuru Nusantara, hal ini memberikan kesempatan bagi media massa untuk eksis kembali dengan suasana geopolitik baru. Sebagai Fungsi untuk memberikan informasi kepada khalayak umum pers dan media massa kini bertebaran di mana-mana, bahkan tidak terhitung keberadaannya.

Mereka berkompetisi untuk mendapatkan legetimasi, baik dari pemerintah maupun rakyat sebagai media yang paling aktual dan faktual dalam memberikan informasi. Sehingga siapapun yang hendak mencari informasi  mereka dapat  mengakses  dengan mudah, bahkan dapat mengakeses dengan instan. Karena pesatnya kemunculan pers dan media massa diiringi dengan dunia digital yang semakin mudah dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

Namun kemunculan dan kemudahan untuk mengakses informasi bagi masyarakat rupanya menjadi problematika dan dilematika tersendiri bagi integritas bangsa. Diantara ribuan media massa yang tersebar di seluruh penjuru  Indonesia cara pandang dan penyampaiannya terkesan sangat berbeda satu sama lain sehingga jika ada suatu kasus atau peristiwa yang sedang menjadi sorotan publik konklusi yang disuguhkan  oleh ribuan pers dan media massa jauh dari kata netral, atau bahkan terkesan memiliki tendensi keberpihakan kepada salah satu kubu. Hal ini membuat masyarakat susah uantuk menyerap informasi atau bahkan mencerna informasi mentah-mentah sehingga dengan adanya hal ini dapat menimbulkan dikotomi diantara masyarakat.

Ini yang menjadi pertanyaan besar penulis mengenai perbedaan penyajian dan konklusi diantara media massa. Jika penulis melihat orientasi para awak media, rupanya tidak hanya berfungsi sebagai penyaji informasi atau pengawas. Kini mereka menjadikan status jurnalistik sebagai bisnis yang sangat menguntungkan, terutama media-media yang berskala nasional pun sudah tidak lagi dapat diharapakan kenetralannya.

Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa media media yang sering kita tonton di televisi yang dipegang oleh birokrat-birokrat yang yang hendak menumbuhkan reputasi dan mementingkan kepentingan aliansinya sendiri. Namun  bagaimana dengan masyarakat awam ?.Yang dicekoki informas-informasi seperti ini. Apakah suatu kewajaran jika diantara masyarakat terjadi adu argumen sampai menimbulkan kebencian, atau bahkan konflik berkelanjutan satu sama lain?.

"Media tidak akan pernah jujur menyebarkan informasi yang menunjukkan kesalahan mereka sendiri. Ini merupakan bagian dari praktik media yang bertujuan untuk menjaga kesan normalitas dan legitimasi yang ia miliki". Itu merupakan  komentar Remotivi sebuah lembaga studi dan pemantauan media mengenai kontestasi yang dilakukan oleh media massa.

Kemudian yang penulis soroti mengenai media itu ialah etika jurnalistik yang sering media massa langgar. Seorang penggiat pers di UIN Surabaya yang berasal dari Madura atau lebih dikenal dengan nama Mizan pernah berkomentar mengenai hal ini. “Salah satu misi utama media yaitu keberpihakan. Berpihak kepada keadilan dan berpihak kepada korban (jika kasus yang disoroti kriminalitas)”.

Kebanyakan dari media melupakan hal yang remeh seperti ini. Misalkan Ketika memaparkan  tentang pelecehan seksual kebanyakan media terkesan membuat malu korban, baik dari sisi judulnya maupun dari redaksi yang dipaparkan. Contoh ketika ada kasus pelecahan seksual terkadang media menulis judul kasus tersebut dengan diksi yang sangat vulgar dan kontroversi atau bahkan cenderung menyalahkan korban. Demi mendapatkan profit besar media akan melakukan apa saja meskipun dapat merugikan korban.

Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut tentunya akan mengurangi reputasi dan kualitas jurnalistik di zona internasional. Sehingga jurnalis atau media yang berasal dari Indonesia tidak lagi dapat dipercaya oleh negara-negara lain untuk meliput peristiwa-peristiwa yang dialami di negara tersebut.

Penulis sendiri tidak dapat berbuat apa-apa untuk hal ini. Karena penulis sendiri bukanlah orang bergelut di dunia media massa dan penulis juga bukanlah tokoh yang berpengaruh dalam dunia jurnalis yang berhak mengubah kinerja awak media untuk mematuhi aturan kode etik jurnalistik serta netral dalam menyajikan informas.

Penulis sebagai pengamat media hanya mampu memberikan solusi kepada para konsumen informasi media massa agar tidak menerima mentah-mentah pesan yang hendak media sampaikan. Kemudian penulis memberikan solusi yang lainnya kepada konsumen agar tidak hanya membaca informasi satu pandangan saja. Disarankan untuk membaca informasi dari berbagai media yang terbesar.


Jika memungkinkan bacalah informasi dari media massa yang berlawanan cara pandangnya. Kemudian menganalisa secara cermat apa yang hendak media tersebut sampai secara tersirat. Dengan begitu bukan hanya informasi utuh yang didapat, namun keluasan pandangan dalam memahami informasi juga akan terungkap.


  • Ahmad Maki Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang