Hj Siti Zubaidah Hasbiyallah Ulama Perempuan Betawi, Penulis Risalah Shalat Tarawih dan Shalat Id - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

19 Juli 2019

Hj Siti Zubaidah Hasbiyallah Ulama Perempuan Betawi, Penulis Risalah Shalat Tarawih dan Shalat Id

Penulis: Rakhmad Zailani Kiki
Jumat 19 Juli 2019
Ilustrasi: Santrimedia
Atorcator.Com - Di Betawi juga di belahan bumi lainnya, ulama perempuan sangat sedikit jumlahnya yang dimunculkan oleh masyarakat. Salah satu dari yang sedikit ini adalah Nyai Hj Siti Zubaidah KH Hasbiyallah.

Lazimnya ulama, ia memiliki karya dalam bentuk risalah yang ditulisnya dalam aksara Arab Melayu dengan judul Kayfiyah Sembahyang Tarawih dan Shalat Al-`Idain (Tata Cara Shalat Tarawih dan Shalat Idul Fithri serta Idul Adha). Sebelum lebih jauh membahas tentang risalah ini, perlu diketahui dulu mengenai sosok ulama perempuan Betawi ini.
Riwayat Hidup Nyai Siti Zubaidah

Nama lengkapnya Siti Zubaidah binti H Hasanuddin. Ia merupakan anak pertama dari sembilan saudara dari hasil perkawinan H Hasanuddin dan Hj Hindun. Ia lahir sekitar tahun 1941 atau tahun 1942 di Cipinang Kebembem, Jatinegara, Jakarta Timur.

Sejak kecil sampai menikah, ia  mengaji kitab kuning kepada KH Abdul Hadi, ulama Betawi di Cipinang Kebembem. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya adalah nahwu shorof, aqidah, akhlak dan fiqih. Di usia sekitar 21 tahun yang bertepatan dengan tahun 1962, ia dinikahi oleh KH Hasbiyallah, pendiri Perguruan Islam Al-Wathoniyah.

Dari hasil perkawinannya ini, ia dikarunia dua orang anak, putra dan putri, yaitu Hj Hilmah dan H Saifullah Hasbiyallah. Pada tahun 1973, ia menunaikan ibadah haji yang pertama. Kemudian ia menunaikan ibadah haji kembali pada tahun 1978, 1994, 1995, dan tahun 1996.
Ketinggian intensitasnya dalam pergi haji lebih didasarkan pada layanan bimbingan haji yang dipimpinnya pada tahun 1994. Pada tahun 1996, bimbingan hajinya berbadan hukum yayasan dengan nama KBIH Al-Istiqamah Az-Zubaidiyyah yang kini diteruskan oleh anaknya, KH Saifullah Hasbiyallah.

Walau sudah menikah dan kemudian mempunyai anak, ia tetap meneruskan pendidikan agama non-formalnya dengan mengaji kitab kuning kepada suaminya, KH Hasbiyallah. Ia merupakan tipe pembelajar yang tekun dan gigih. Hampir setiap hari, ia mengaji kitab kuning setiap selesai shalat Zuhur atau selesai shalat Ashar, tergantung keluangan waktu suaminya. Aktivitas mengaji ini terus dijalaninya sampai kitab-kitab yang dipelajarinya itu selesai atau khatam. Maka wajar jika ia sangat paham tentang isi Kitab Alfiyah Syarah Ibnu Malik, Bulughul Maram, dan Ihya `Ulumiddin.

Selain mengaji, ia juga turut mengajar di dua puluh dua majelis taklim ibu-ibu setiap bulannya. Majelis taklimnya tersebar di sekitar Klender, Tanah Koja, Kampung Bulak, Kampung Sumur, Rawa Badung, Kampung Jati, Cipinang, dan Pulo Kambing. Ia juga menjadi guru tetap di majelis taklim ibu-ibu di Kelurahan Jatinegara Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Selain mengajar keluar, ia juga dipercaya oleh suaminya untuk mengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Banatul Wathoniyah.

Santri-santrinya yang mondok dan yang pulang pergi (santri kalong) berasal dari sekitar Klender, Bogor, Cinere, Taman Mini. Kebanyakan santrinya berasal dari Bekasi. Pada tahun 1986, ia tidak lagi menerima santri yang mondok. Ia hanya menerima santri yang pulang pergi sampai ia wafat pada tahun 1996 tepatnya pada tanggal 22 Rabi`ul Tsani. Ia dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga besar KH Hasbiyallah di depan Masjid Jami` Al-Ma`mur, Klender.

Latar Belakang Penulisan Risalah

Salah satu motif utama Nyai Hj Siti Zubaidah KH Hasbiyallah menulis risalah Kayfiyah Sembahyang Tarawih dan Shalat Al-`Idain adalah untuk membantu suaminya dalam mencarikan dana ketika Pondok Pesantren Putri Al-Banatul Wathoniyah dalam masa pembangunan. Cara yang dilakukannya ini untuk mencari dana pembangunan tersebut terbilang cukup unik bahkan terbilang cerdas pada masa itu.

Risalah ini kemudian dicetak dan diperbanyak kemudian disebarkan kepada jamaahnya dan jama`ah suaminya. Hasil penjualan risalah ini kemudian digunakan untuk membangun pondok pesantren putri tersebut. Sebenarnya, ia banyak menulis risalah, namun tidak sempat tercetak. Risalah-risalah yang masih berbentuk manuskrip itu kini hilang pada saat kediamaannya direnovasi untuk pelebaran jalan raya.

Isi Risalah Kaifiyah Sembahyang

Risalah Kayfiyah Sembahyang Tarawih dan Shalat Al-`Idain memiliki tinggi 21,5 cm dan lebar 13, 5 cm; dicetak di kertas jenis HVS. Halamannya berjumlah 18 halaman dengan halaman muka sebagai halaman pertamanya.

Pada pengantar risalah di halaman kedua, ia menuliskan alasan lainnya tentang penulisan risalah ini, selain sebagai sarana untuk mencari dana pembangunan pondok pesantren, yaitu adanya kebangkitan atau dorongan hati untuk menyusun sebuah risalah tentang kayfiyat tarawih mengingat betapa pentingnya pada kaum Muslimin dan Muslimat agar menjadi tertib amal ibadah kita dan menjadi semangat di dalam mengerjakan ibadah tarawih.

Isi risalah ini terdiri atas tata cara pelaksanaan shalat tarawih dan tata cara shalat Idul Fithri dan shalat Idul Adha. Namun, isi risalah lebih didominasi oleh tata cara pelaksanaan shalat tarawih yang mencakup 14 halaman. Sedangkan tata cara shalat Idul Fithri dan shalat Idul Adha hanya mencakup tiga halaman. Pada tulisan ini, saya hanya menjelaskan tentang tata cara pelaksanaan shalat tarawih dari risalah ini secara singkat.

Sebagai tata cara shalat tarawih, isi risalah ini sangat lengkap. Risalah ini ditulis dengan sistematis dan sangat rinci. Ia, seperti umumnya masyarakat Betawi, berpegang kepada Mazhab Syafi`i. Karenanya, risalah ini menjelaskan tentang tata cara shalat tarawih sebanyak 20 rakaat yang ditutup dengan shalat sunnah witir tiga rakaat.

Tata cara shalat tarawih yang pertama adalah bilal atau mubaligh mengucapkan seruan shalat. Imam kemudian berdiri. Bacaan pada shalat pertama di rakaat pertama adalah Surat At-Takatsur dan rakaat kedua Surat Al-Ikhlas.

Adapun bacaan shalat kedua sampai shalat kesepuluh, pada rakaat pertama surat yang dibaca mengikuti urutan surat sesudah Surat At-Takatsur, kecuali untuk rakaat kedua yang dibaca tetap Surat Al-Ikhlas.

Adapun shalat witir dilakukan sebanyak dua kali, yaitu shalat pertama berisi dua rakaat dan shalat kedua berisi satu rakaat. Surat yang dibaca pada rakaat pertama adalah Surat Al-A’la. Sedangkan surat yang dibaca pada rakaat kedua adalah Surat Al-Kafirun.

Setelah selasai, jamaah kemudian melakukan shalat witir sebanyak satu rakaat. Surat yang dibaca pada shalat witir setelah Surat Al-Fatihah ini adalah Surat Al-Ikhlas, Surat Al-Falaq, dan Surat An-Nas. ***

Source Selengkapnya bisa dibaca di NU online

Penulis adalah peneliti dan penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Ia kini diamanahi sebagai Sekretaris Asosiasi Pesantren (RMI NU) DKI Jakarta.