Ideologi Tak Pernah Mati: Tarung Ideologi Pasca Pilpres 2019 - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

16 Juli 2019

Ideologi Tak Pernah Mati: Tarung Ideologi Pasca Pilpres 2019

Penulis: Nurbani Yusuf
Selasa 16 Juli 2019
foto: Beritagar

Atorcator.Com - Jangan berharap rekonsiliasi bisa mendamaikan apalagi putusan MK. Pilpres 2019 bukan hanya soal berapa jumlah biting suara yang ditilap--atau carut marut dpt dan situng KPU yang mengandung banyak masalah. Dibalik itu semua ada pertarungan ideologi yang sedang berebut dominan.

Ideologi telah mati. Daniel Bell keliru. Realitas nya malah sebaliknya. Ideologi tumbuh subur berikut varian-nya yang kecil-kecil tapi fanatik. Pilpres 2019 seakan membangkitkan kembali pertarungan ideologi para foundhing father pendiri negara. Meski dengan kemasan berbeda.

Taruh saja ada koalisi Jokowi-Prabowo tak akan meredakan pertarungan ideologi politik. Ada perbedaan mimpi membangun negara masa depan yang sangat tajam cenderung keras. Saling hujat dan kritik sepertinya akan terus bertambah. Dan tak akan reda dalam waktu dekat.

*^^*
Setidaknya ada lima varian baru ideologi yang bakal terus bertarung hingga Pilpres 2024. Meski tak sesederhana nasakom di ujung orde lama di masa Presiden Soekarno.

Pertama--Ideologi reformasi. Sebagai proses dialektik rezim orde baru masa Presiden Soeharto. Menawarkan kebebasan dan kesamaan. Baik dalam politik ekonomi sosial bahkan agama. Demokrasi khas Indoenesia. Berbeda dengan demokrasi barat sekuler atau model timur tengah yang kaku. Ideologi reformasi cenderung anti mainstream dan terus berubah.

Kedua--ideologi Islam Politik, dengan berbagai varian. Apakah HTI--FPI, PKS atau landskap ideologi tarbiyah. Ideologi ini bertujuan menegakkan syariah Islam. Atau negara Islam. Atau menghidupkan kembali Piagam Jakarta--dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya. Atau berbagai kelompok simpatisan yang tergabung dalam ijtima ulama.

Ketiga--ideologi nasionalis. Ditandai dengan keinginan kuat mengembalikan Pancasila dan UUD 45. Mempertahankan Negara Proklamasi dan NKRI. Ideologi ini menganggap bahwa era ini terlalu liberal-- baik politik maupun ekonomi. Ingin mengembalikan kedaulatan rakyat dan demokrasi sesuai amanat UUD 45.

Keempat--haluan kiri baru (newleft), Atau neo-komunis. Ideologi ini beranggapan bahwa negara terlalu lembek dan tak berdaya menghadapi massa rakyat. Terutama menghadapi massa Islam. Mereka total melawan syariah--dan terus melakukan perlawanan secara terbuka.

Kelima--ideologi trans nasionalis. Baik yang sekuler maupun yang radikal. Mereka sesunguhnya adalah para kapitalis yang ingin menguasai sumber daya alam dan kekayaan yang ada di Indoenesia. Ideologi ini menggunakan seluruh daya dan kekuatan untuk menguasai jalur-jalur perdagangan ekonomi pasar dan sumber-sumber kekayaan yang menguasai hajad hidup orang banyak.

*^^^*
Yang tidak kalah penting adalah pertarungan antar ras: Arab dan China. Bedanya, ras China di dukung penuh oleh negaranya dibuktikan dengan berbagai investasi ekonomi jangka menengah dan jauh dengan menguasai jalur perdagangan darat berupa jalan tol dan jalur laut untuk menguasai pertambangan dan hutan--sedangkan ras Arab bekerja sendirian--yatim secara politik dan sosial, kunjungan Raja Salman beberapa waktu lalu ternyata hanya simbolik tak membuahkan apapun--selain riuh kemewahan. Apapun ideologinya--bisa berubah setiap saat sesuai kepentingan dan kondisi, sebab politik dan ideologi memang tak pernah dirumuskan dengan rigid.

@nurbaniyusuf
Padma Fondation