Penulis: Dr. Ahmad Ubaydi Hasbillah
Jumat 5 Juli 2019 02:08
Ilustrasi foto/Republika |
Atorcator.Com - Tahun 2013 adalah masa kematangan pemikiran K.H. Ali Mustafa Yaqub tentang model pendidikan dan lembaganya. Pasalnya, pada tahun tersebut Darus-Sunnah sedang membangun banyak hal. Di samping membangun gedungnya, juga membangun sumber daya manusianya. Dan, ternyata pada tahun itu pula dapat dinyatakan sebagai tahun kematangan usia beliau, yaitu usia 60 tahun, yang sejak itu beliau semakin sering mengingat kematian.
“Anâ, ‘umriy al-ân, sittûna sanah. Ma’nâhu, qarîb min ‘umrin Nabîy shallallôhu ‘alaihi wa sallam. Syuf, idzâ kân ‘umrun Nabîy shallallôhu ‘alaihi wa sallam tsalâtsah wa sittîna sanah, idzân lâ yabqâ minnî illâ tsalâtsu sanawât faqath.”
(Saya, umur saya sekarang telah masuk enam puluh tahun. Itu artinya, umur saya sudah hampir sama dengan umur Nabi. Coba perhatikan! Kalau usia Nabi shallallôhu ‘alaihi wa sallam adalah 63 tahun, berarti jatah umur saya kira-kira tinggal tiga tahun lagi.]”)
Kalimat-kalimat seperti itu sering sekali kami dengar saat hampir setiap kali bertemu di halaqah, di pengajian umum, di sambutan wisuda, di rapat pengurus pondok, atau saat kami menghadap sowan ke beliau. Saat sudah masuk usia 61, terucap tinggal kira-kira dua tahun lagi, umur saya sama dengan umur kanjeng Nabi shallallôhu ‘alaihi wa sallam. Hingga saat usia beliau telah genap 63 tahun, beliau juga menyatakan hal yang sama.
“al-Ân, anâ fî tsalâtsah wa sittîna sanah. Syuf, Kânan Nabîy shallallôhu ‘alaihi wa sallam indamâ tuwuffiya, fa huwa fi 63 sanah aidlon. Rubamâ ghadan, ba’dal fajr, au hâdzihil lailah, au ba’dal ghad. Lâ adri, wallâh. Lâkin labudda an asta’idd. Wa anta aidlon, lâ budda an tasta’idd. Idzâ muttu anâ, fa ‘alaikum bil ma’had. Khalâsh, al-ma’had hâkadzâ. Anâ ardlô bi hâdzal manhaj.”
[Sekarang, saya sudah masuk usia 63 tahun. Tahukan, dulu Nabi Muhammad shallallôhu ‘alaihi wa sallam wafat pada usia 63 juga?! Mungkin esok pagi, nanti malam, atau esok lusa [saya meninggal dunia]. Sungguh, tak ada yang tau. Tapi, saya harus selalu siap. Kamu juga, harus siap. Jika saya mati, maka jaga pondok ini. Sudah, [sistem] pondok seperti ini saja. Saya suka, nyaman, dengan sistem seperti ini.]
Tak jarang, beliau melanjutkannya sampai dengan pesan, “nanti kalau saya meninggal, jangan lupa, posisi kuburan saya di sebelah situ.” Sambil menunjuk arah belakang Masjid Munirah Salamah dan mengingatkan peta komplek pemakaman Darus-Sunnah.
Perlu diketahui, bahwa sejak memasuki usia enam puluh tahun itu, beliau telah menggambar sendiri komplek pemakaman Darus-Sunnah. Beberapa kali kami diajak beliau jalan ke sekitar masjid. Sesampainya di belakang masjid, tepat di dekat tiang tengah itu, beliau menunjuk bahwa nanti posisi makam saya di sini.
“Syuf, Ba’dîn, anâ hunâ. Mitr wâhid min hunâ wa arba’ah amtâr min hunâk. Idzan hunâ, yakfî li qabrin wahid.”
[Perhatikan, nanti, [posisi kuburan] saya di sini. Satu meter dari sini [ujung teras belakang masjid], dan empat meter dari sana (menunjuk ke arah selatan).]
Setelah itu beliau menggambarnya, dan kemudian meminta Kang Denden Taufiq Hidayat untuk memolesnya di komputer dan dilaminating, lalu disimpan rapi.
Kami pun selalu diingatkan oleh beliau. Beliau sering sekali memastikan bahwa saya juga mengetahui di mana gambar peta pemakaman itu disimpan. Untuk memastikan itu, saya selalu jawab, “Ada di lemari musyrif. [sekarang posisinya di kantor ma’had]
Benar, setelah beliau dinyatkan telah tutup usia oleh dokter RS. Hermina 28 April 2016 pagi itu, gambar itu pun langsung dibuka kembali. Dan wasiat beliau pun dijalankan sesuai dengan petunjuk gambar tersebut.
Baca juga: KH Maksum Jauhari- Lirboyo Kediri Bangkitkan Semangat Jihad Tumpas PKI
Baca juga: KH Maksum Jauhari- Lirboyo Kediri Bangkitkan Semangat Jihad Tumpas PKI
Setahun sebelum itu, tepat pada saat acara wisuda, beliau juga menyampaikan sambutan yang unik mengenai komitmen beliau menjalankan sunnah Nabi tentang mengingat kematian itu. Sebenarnya hal itu sudah sering diungkapkan di hadapan para santri. Namun, kali ini benar-benar beda, karena di forum wisuda itu dihadiri oleh banyak orang dari luar pesantren. Sehingga, suasananya menjadi penuh sedih dan entah campur aduk.
Saat wisuda 2015 itu, usia beliau telah tepat masuk 63 tahun. Sama dengan usia wafatnya Nabi. Saat memasuki usia tersebut, beliau seringkali mengutip pidato Nabi saat haji Wada’.
لَعَلِّيْ لاَ أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِكُمْ هَذَا
Boleh jadi aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun kalian yang ini.
Dan betul, tepat satu bulan sebelum wisuda yang hendak dihelat pada tanggal 28 Mei 2016 hari Sabtu itu, beliau dipanggil oleh Penciptanya dengan sangat tenang.
Baca juga: Apakah Hijab Juga Ada Dalam Tradisi Agama Yahudi?
Baca juga: Apakah Hijab Juga Ada Dalam Tradisi Agama Yahudi?
Begitulah cara beliau komitmen mengamalkan sunnah Nabi tentang mengingat kematian, dan mempersiapkannya hingga kemudian meninggal dengan sangat mudah, penuh bahagia yang terlihat jelas dalam senyuman bibirnya, setelah menjalankan ibadah salat subuh pada Kamis pagi itu, 28 April 2016.
Tulisan ini adalah bagian dari Refleksi Jelang Haul Ke-3 K.H. Ali Mustafa Yaqub. Tulisan sudah pernah dimuat di darussunnah.ponpes.id dengan judul “Cara Kiai Mengingat Mati: Mengenang 1000 Hari Wafatnya Pak Kiai”
Selengkapnya bisa dibaca di sini
- Dr. Ahmad Ubaydi Hasbillah Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) dan Kepala Sekolah Madrasah Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan