KH Achmad Masduqi Machfudz, Singa Penegak Syari’at - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

04 Juli 2019

KH Achmad Masduqi Machfudz, Singa Penegak Syari’at

Penulis: Muhammad Ichsan
Kamis 3 Juli 2019 13:00
Ilustrasi foto/Beritasantri

Atorcator.Com - KH Achmad Masduqi Machfudz dikenal sebagai ulama’ yang sederhana. Sosok yang dulu pernah menjabat sebagai Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini juga dikenal sebagai pribadi yang tegas dan dermawan. Dalam kehidupannya, beliau menanamkan prinsip “Kalau kita sudah meraih berbagai macam ilmu terlebih ilmu agama, maka kebahagiaan yang akan kita capai tidak saja kebahagiaan akhirat, akan tetapi kebahagiaan duniapun akan teraih.”

Kiai Masduqi lahir di Desa Saripan, (Syarifan) Jepara, Jawa Tengah, pada 1 Juli 1935 M. Lahir dari keluarga agamis dan fanatik terhadap agama, beliau tumbuh sebagi sosok yang tegas dan berani membela kebenaran. Kedua orang tua beliau, Kiai Machfudz dan Nyai Chafsoh, juga terkenal akan keberanian dalam membela agama Allah. Ditambah dengan jalaur dari ibu beliau yang masih dalam garis keturunan waliyullah Syaikh Abdullah al-Asyik bin Muhammad yakni Jagabaya dari kerajaan Mataram.

Mandiri Sejak Kecil

Karena dididik dalam keluarga yang taat dan fanatik terhadap agama, Masduqi kecil tumbuh menjadi pribadi santri. Ayahnya sendiri tidak pernah menghendaki beliau belajar di sekolah umum. Cukup di pesantren saja.

Larangan ini tidak mematahkan niat Kiai Masduqi untuk mempelajari berbagai macam ilmu. Dengan semangat, beliau bersekolah di pesantren dan sekolah umum dengan biaya sendiri. Beliau memperoleh uang dari hasil berjualan sabun atau kebutuhan lain yang beliau jual dengan berkeliling kampung. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.

Sejak berusia lima tahun, beliau sudah disekolahkan di Madrasah Ibtida’iyah di kampungnya. Sekolah itu terkenal dengan nama Sekolah Arab karena memang semua pelajaran yang diajarkan menggunakan bahasa Arab. Beliau belajar disini selama lima tahun (1939-1944), kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Jepara. Kurang lebih selama delapan tahun (1945–1953) beliau belajar di pesantren yang diasuh oleh Kiai Abdul Qadir tersebut. Tidak puas sampai di situ, beliau kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Krapyak selama tiga tahun.

Baca juga: Tiga Sosok Ilmuwan Kiai Achmad Siddiq, Kiai As’ad dan Kiai Ali Maksum

Dalam menempuh pendidikan formal, beliau telah lulus dari Sekolah Rakyat di Jepara (1942-1948), SMP di Jepara (1950-1953), Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) di Yogyakarta (1953-1957), IAIN Sunan Ampel Malang (1962-1966), dan IAIN Sunan Ampel Malang program doktoral (1975-1977).

Lika-liku Dakwah

Sejak menempuh sekolah di SGHA Yogyakarta, beliau telah aktif dalam berbagai organisasi. Salah satunya adalah Organisai Gerakan Pemuda Anshor (GP Ansor) yang dengan keuletan dan kegigihannya, beliau akhirnya terpilih sebagai ketua cabang GP Ansor periode tahun 1954-1957. Selain aktif di GP Ansor, beliau juga telah berdakwah ke berbagai daerah hingga lulus dari SGHA pada tahun 1957. Padahal, umur beliau pada waktu itu masih berkisar 22 tahun.

Setelah lulus dari SGHA, beliau menikah kemudian mendapat amanat untuk berdakwah di Kalimantan Timur. Tepatnya di daerah Tanjung Selor, suatu daerah yang masih minim penduduk. Sebelum itu, sebenarnya beliau mendapat tawaran untuk melanjutkan studi ke Mesir, namun dengan berbagai pertimbangan beliau mengurungkannya.

Perjalanan dakwah di Tanjung Selor terhitung singkat karena setelahnya beliau pindah ke Daerah Tunggulangin, Tarakan. Di sini beliau ditugasi menjadi guru SD dan SMP. Siang hari, beliau mengajar, sementara malamnya, beliau menggelar pengajian bagi masyarakat sekitar dan kursus guru. Di kawasan ini,  pengetahuan agama masyarakat sangat minim. Mereka masih menganut kepercayaan nenek moyang, sehingga banyak sekali orang menentang dan menghalangi dakwahnya. Namun demikian, semua itu beliau hadapi dengan sabar dan teguh, hingga akhirnya masyarakat bisa menerima beliau sepenuhnya. Bahkan, beliau adalah orang pertama yang khutbahnya di terima masyarakat Tarakan.

Setelah berhasil berdakwah di daerah Tarakan, beliau melanjutkan dakwahnya di daerah Samarinda pada tahun 1959. Saat itu, beliau berumur 24 tahun dan mempunyai seorang anak bernama Musoddaqul Umam. Hijrahnya beliau ke Samarinda didasari oleh kejadian tidak terduga, yakni saat beliau bepergian dengan naik kapal laut milik Gubernur Samarinda. Di perjalanan tersebut, tiba-tiba badai muncul sampai-sampai membuat semua penumpang panik. Dalam keadaan seperti inilah, tiba-tiba Masduqi muda naik ke bagian atas kapal dan berdo’a. Atas kehendak Alllah Swt. badai tersebut mendadak berhenti dan cuaca kembali seperti semula.

Mendengar kejadian di kapal tersebut, salah seorang awak kapal melaporkannya kepada gubernur. Seketika itu beliau diundang oleh Bapak Gubernur sebagai rasa terima kasih. Setelah mengadakan ramah tamah, Bapak Gubernur memberikan rekomendasi kepada beliau untuk mengajar di PGA (Pendidikan Guru Agama) di Samarinda dengan materi Bahasa Arab yang terdiri dari Nahwu, Shorof, dan Tajwid. Di sana beliau mengajar dari tahun 1959 sampai 1961.

Hijrah ke Malang

Pada tahun 1961, beliau mengikuti tes ujian masuk Institut Agama Islam Negeri. Dalam tes tersebut, beliau dinyatakan lulus di fakultas Tarbiyah. Adapun untuk pilihan lokasi kuliah, beliau memilih kota Malang yang merupakan anak cabang dari IAIN Surabaya.

Beberapa kali pindah tempat dan rumah, akhirnya beliau menemukan rumah yang sangat strategis karena berdekatan dengan masjid. Suatu ketika kiai yang biasa memberi pengajian berhalangan hadir. Masyarakat sekitar bersepakat menunjuk Kiai Masduqi sebagai gantinya. Mulai itulah nama beliau dikenal sebagai intlektual muda.

Baca juga: KH. Raden Ma’mun Nawawi: Ulama Ahli Falak Bekasi Murid KH. Hasyim Asy’ari

Di kalangan kampus beliau terkenal sebagai orang yang mumpuni dalam membaca kitab. Sejak semester satu, beliau telah menjadi asisten dosen KH. Oesman Manshoer dengan mata kuliah Bahasa Arab dan Akhlak, hingga akhirnya beliau diangkat menjadi dosen dari tahun 1991 hingga tahun 1996. Beliau melengkapi hari-harinya dengan mengajar mengaji di daerah-daerah sekitar Malang.

Mendirikan Pesantren

Keluasan ilmu yang sudah diakui oleh masyarakat sekitar dan masyhurnya beliau sebagai pakar dalam bidang bahasa membuat banyak mahasiswa ingin belajar kepada beliau. Akhirnya, beliau mendirikan pesantren dengan landasan agar bisa lebih konsisten dan fokus dalam mengajar mahasiswa. Beliau memilih daerah Mergosono, Malang, sebagai lokasi pendirian pesantren.

Pada mulanya, para mahasiswa yang mengaji kepada beliau berangkat dari tempat tinggal masing-masing. Ada pula sebagian yang mencari kos dekat kediaman beliau. Lambat laun KH. Ahmad Masduqi Mahfudz membeli beberapa petak tanah di sekitar rumah untuk tempat tinggal para santri yang setiap tahun kian bertambah. Perlahan tapi pasti, akhirnya berdiri sebuah pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Nurul Huda.

Wafatnya Sang Penegak Syari’at

Dalam perjalanan dakwahnya, beliau mendapati rintangan dan hambatan yang luar biasa. Namun, semua itu beliau hadapi dengan sabar dan tegas. Totalitas beliau sebagai aktifis NU tentu sudah tidak diragukan lagi. Hingga pada masanya, beliau juga dipercaya sebagai Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Baca juga: Kyai Ahmad Dahlan dan Reformasi Pendidikan

Beliau wafat pada hari Sabtu tanggal 1 Maret 2014 M./28 Rabi’ul Akhir 1434 H. di usia 78 tahun setelah dirawat beberapa hari di RS. Saiful Anwar, Malang.

Selengkapnya bisa dibaca di sini