Penulis: Moh. Syahri
Ya, Alhamdulillah saya di pondok dulu lumayan banyak ngoleksi alias beli kitab atau buku, sekalipun nggak dikaji semua oleh kyai. Tapi manfaatnya nampak ketika ada diskusi, musyawarah, dan Bahtsul Masail. Jadi banyak refrensi yang dibaca untuk dijadikan rujukan berdiskusi.
Sabtu 13 Juli 2019 8:45
Atorcator.Com - Sebagai mahasiswa tentu saya sadar bahwa melek literasi itu penting walaupun saya nggak terlalu melek-melek amat. Dan ngoleksi buku itu juga penting. Sebab kata guru agama saya dulu, koleksi saja dulu, sekalipun kamu belum mampu membaca semuanya karena bukumu atau kitabmu pada sejatinya sudah menunggumu untuk membaca.
Ilustrasi foto: pribadi |
Ya, Alhamdulillah saya di pondok dulu lumayan banyak ngoleksi alias beli kitab atau buku, sekalipun nggak dikaji semua oleh kyai. Tapi manfaatnya nampak ketika ada diskusi, musyawarah, dan Bahtsul Masail. Jadi banyak refrensi yang dibaca untuk dijadikan rujukan berdiskusi.
Ngoleksi bacaan itu penting buat diri sendiri, anak-anak kita kelak, dan yang tak kalah menarik, juga jadi buruan teman-teman, diincar teman-teman yang melek literasi, tapi tak sadar untuk beli. Rajin ngoleksi buku tapi yang dikoleksi buku temannya hehehe. Tapi tidak apa-apa, mungkin itu hanya sebagian kecil saja.
Sebenarnya saya tak terlalu banyak mengoleksi buku bacaan. Namun, karena setiap kali bahas soal buku, seringkali teman-teman saya kepincut dan berujung pada prosesi peminjaman. Di sinilah kadang saya merasa dilematis. Satu sisi saya trauma, terhadap buku yang berkali-kali dipinjem teman tapi tak kunjung kembali ibarat bak ditelan peradaban. Setiap kali ada yang mau minjem saya langsung meraba, ini bakalan aman nggak ya, balik nggak ya. Bahkan kadang saya sudah bisa menebaknya.
Sekitar ada 12 buku, yang tak kunjung datang kembali di pelukan saya. Buku yang semuanya dilengkapi dengan nama saya alamat saya bahkan ada sebagian buku yang saya tulis nama saya dan nama bapak saya. Ya tujuannya biar dia ingat, buku ini milik siapa? Dan siapa tau dia lupa sama nama saya, tapi ingat dengan nama bapak saya. Rasanya terlalu berlebih-lebihan jika harus saya tulis nama sekeluarga di buku yang dipinjamkan itu, alih-alih biar buku saya balik dan dia ingat buku ini milik keluarganya siapa.
Sekalipun berkali-kali saya ditimpa musibah harus kehilangan buku akibat dipinjam yang saya juga lupa siapa namanya, tapi saya tetap husnudzan bahwa buku yang dipinjamkan tak mungkin aka dibuat gêgênèn (dibakar untuk memancing nyala api pada tungku)”, pasti dibacalah minimal dijaga kehormatan bukunya. Soal tega nggak tega saat ada teman mau minjam buku saya, rata-rata mereka bawa muka-muka melas dan memprihatinkan.
Disitulah saya ingat dauh Gus Dur “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya. Dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah dia pinjam.”
Sepertinya memang nggak ada yang beres dengan dua orang di atas ini. Sadar atau tidak memang sebaiknya kita perlu berpikir dua kali sebelum kita meminjamkan buku pada seseorang, sebab sangat rentan ia tak bisa kembali akibat dicekal dan tak sesuai kesepakatan awal pengembalian.
Celakanya, dari teman-teman saya yang minjem buku kebanyakan memang tak pernah tepat waktu sesuai kesepakatan. Mau nagih, dikira perhitungan, nggak ditagih mereka nggak pernah sadar diri. Di perpustakaan saja dibatasi, pakek kartu lagi. Lah, kalian sudah nggak ribet pakek kartu masih enggan membatasi dan seenak e dewe.
Satu sisi meminjamkan buku ke teman tak selamanya harus diorientasikan pada soal kebaikan sebab kebaikan hati kita ini seringkali tak terbalas oleh kesadaran kawan-kawan kita sendiri (soal minjam buku).
- Moh. Syahri Founder Atorcator | Pernah nyantri di pondok pesantren Darul Istiqomah Batuan Sumenep