Syekh Sulaiman Ar Rasuli Al Minangkabawi Ulama Masyhur Dari Tanah Minang - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Rabu, Juli 03, 2019

Syekh Sulaiman Ar Rasuli Al Minangkabawi Ulama Masyhur Dari Tanah Minang

Penulis: R. Umar Faruq
Rabu 3 Juli 2019 02:08
Ilustrasi foto/MajalahLangitan

Atorcator.Com - Perjalanan sejarah Islam di nusantara tidak dapat dipisahkan dengan kiprah para tokoh agama (Ulama) yang giat menyebarkan wakwah islamiyah di belbagai daerah. Salam satu daerah yang merupakan kelahiran Ulama-ulama besar terkemuka yang tidak hanya masyhur di Indonesia tapi juga ranah internasional adalah wilayah Sumatera. Di antara ulama besar itu Syekh Sulaiman Ar Rasuli dari Minangkabau. Tidak hanya gigih membela madzhab Syafii (ahlu sunnah wal jamaah), Ulama seangkatan dengan Syekh Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini dikenal dengan sosok yang sederhana dan pemersatu Ulama di tanah Sumatera.

Putra Minang

Beliau lahir pada Ahad malam Senin tanggal 10 Desember 1871 M bertepatan bulan Muharram 1297 H di Surau Pakan Kamis, Nagari Canduang Koto Laweh, Kabupaten Agam, sekitar 10 km. sebelah timur Bukittinggi, Sumatra Barat. Dari seorang ibu bernama Siti Buliah, suku Caniago, seorang perempuan yang taat beragama. Kakeknya (ayah dari ayahnya) juga seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya, yaitu Tuanku Nan Pahit. Jadi, Syekh Sulaiman lahir dari keluarga yang taat beragama dan pendidik di tengah-tengah masyarakatnya.

Maulana Syekh Sulaiman

Ayahanda Syekh Sulaiman adalah Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di tanah Minangkabau. Oleh penduduk sekitar, Syekh Sulaiman didipanggil dengan sebutan “Inyik Candung”, namun oleh murid-murid beliau, Syeikh Sulaiman dikenal dengan nama Maulana Syekh Sulaiman.

Sejak kecil beliau memperoleh pendidikan agama dari ayahnya dan belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada masa itu, masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.. Kemudian meneruskan studi ke Mekah.

Bumi Seribu Ilmu Mekah

Selain menjadi kiblat umat muslim, Mekah adalah salah satu tujuan studi agama tidak hanya bagi penduduk nusantara, tapi juga masyarakat dunia berbondong-bondong mengaji ke Ulama-ulama Masjidil Haram. Di Mekah, Syekh Sulaiman berguru pada Ulama Minang yang tinggal di Tanah Suci, seperti Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif Al-Minangkabawi. Guru yang lain Syekh Sulaiman di antaranya adalah, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, dan beberapa ulama Melayu yang bermukim di sana. Juga di tahun  1903 ketika pertama kali naik haji, beliau menuntut ilmu pada Syekh Mukhtar ‘Atharad as-Shufi, Syekh Usman al-Sirwaqi, Syekh Muhammad Sa’id Mufty al-Syafe’i, Syekh Nawawi Banten, Syekh Ali Kutan al-Kelantani, Syekh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Said Ahmad Syatha al-Maki, Said Umar Bajaned, dan Said Babasil Yaman.

Ulama seangkatan dengannya antara lain adalah, Syekh Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang Jawa Timur (1287 H/1871 M – 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minangkabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minangkabawi dan lain-lain.

Pesantren dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)

Sekembali dari Mekah, di tanah air Syekh Sulaiman menyebarkan ajaran Islam dengan sistem lesehan (duduk bersila). Baru pada tahun 1928 beliau menggunakan bangku. Dalam waktu singkat, pesantren yang beliau adakan mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya dan bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu. Murid-murid yang belajar kepada Syekh Sulaiman tidak hanya berasal dari daerah setempat, juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada dari Malaysia.

Pada tahun 1928 juga, bersama Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya organisasi yang sempat menjadi partai politik, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) memperjuangkan dakwah islamiyah, pendidikan, dan social, organisasi ini mengusung prinsip satu madzhab, yaitu madzhab Imam Syafii. Pada tahun 1942 tercatat sekitar 300 sekolah PERTI dengan murid sekitar 45.000 orang (Hasril Chaniago, 2010: 474).

Kiyai Haji Sirajuddin Abbas dalam bukunya, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafie, menulis, “Beliau seorang ulama besar yang tidak menerima faham Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.” (Lihat cetakan kedua, Aman Press, 1985, hlm. 298.)

Pemersatu Ulama Sumatera

Bersama dua temannya, Syeikh Abbas Al Qodhi dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho, serta sejumlah ulama kaum tua (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, pada tahun 1921 M, Syekh Sulaiman membentuk organisasi bernama “Vereeniging Ittihadul Oelama Sumatera” (VIOS) sebagai wadah berkumpulnya para ulama Sunniyah-Syafi’iyyah. Organisasi ini bertujuan membela dan mengembangkan paham ahlus sunnah wan jamaah madzhab Syafii. Salah satu kegiatannya menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafii.
Seorang Alim

Kedalaman dan keluasan ilmu Syekh Sulaiman sudah tidak terbantahkan, beliau menulis beberapa karya, karya-karya ini juga banyak dipelajari oleh para pelajar Muslim, di Munangkabau, Sumatera dan beberapa kawasan Nusantara lainnya. Antara lain adalah :

Dhiyaus Siraj fil Isra‘ Walmi‘raj
Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan.
Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya‘qub
Risalah al-Aqwal al-Washitah fi Dzikri Warrabithah
Al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran
Al-Jawahirul Kalamiyyah.
Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah
Perdamaian Adat dan Syara‘
Kisah Muhammad ’Arif

Syekh Sulaiman juga dipercayai oleh masyarakat Minang sebagai penggagas landasan kemasyarakatan islami di Sumatera Barat dalam adagium “adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan kitabullah.”

Kharismatik

Pasca kemerdekaan, pengaruh Syekh Sulaiman sebagai tokoh nasional terlihat ketika beliau dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI, badan konstituante dibentuk pemerintah pada tahun 1950-an saat mengadakan pilihan raya, lembaga konstituante yang Syekh Sulaiman dipilih sebagai pimpinan sidang itu didirikan untuk menyusun Undang-undang Dasar permanen, menyempurnakan UUD 1945 yang disusun sebagai UUD sementara menjelang kemerdekaan Indonesia. Konstituante ini kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Bendera Setengah Tiang

Hari Sabtu, tanggal 28 Rabi’ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, Syekh Sulaiman ar-Rasuli wafat dalam usia 99 tahun. Ribuan pelayat yang mengantarkan jenazahnya ke pemakaman di halaman madrasah induk yang asli dari MTI Canduang. Gubernur Sumatera Barat, Harun Zein, Panglima Kodam II/17 Agustus dan pejabat pemerintah lainnya, sipil dan militer, kaum muslimin dari berbagai penjuru, hadir pada pemakaman itu, karena radio telah menyiarkannya.

Bahkan Gubernur Sumatera Barat, Harun Zein, memerintahkan agar pemerintah dan rakyat mengibarkan bendera setengah tiang selama delapan hari penuh, sebagai tanda belasungkawa yang dalam. Di hari itu, sedang berlangsung pula seminar sejarah Islam di Minangkabau yang dihadiri oleh sejumlah cendikiawan, termasuk Buya Hamka. Mendengar wafatnya Syekh Sulaiman ar-Rasuli, beliau langsung menuju Canduang dan shalat jenazah di atas pusara.

Tahun 1975 Gubernur Sumatera Barat menanugerahkan piagam penghargaan sebagai ”Ulama Pendidik” yang diserahkan kepada ahli waris Syekh Sulaiman, beliau juga juga pernah menerima penghargaan ”Bintang Perak” dari Pemerintah Belanda dan ”Bintang Sakura” dari Pemerintah Jepang. Bahkan ulama besar Minangkabau ini ditetapkan pemerintah sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan pada tahun 1969.


Menjelang wafat, banyak pesan berharga yang Syekh Sulaiman sampaikan pada keluarga dan murid-muridnya. Satu di antaranya, dirumuskan dalam kalimat ”Teroeskan Membina Tarbijah Islamijah Ini Sesoeai dengan Peladjaran yang Koe Berikan”, dan rumusan pesan itu kini terukir di atas pusaranya. Al Fatihah

Selengkapnya bisa dibaca di sini