Kenapa Buku Itu Mesti Disita? - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

07 Agustus 2019

Kenapa Buku Itu Mesti Disita?

Penulis: Hasan Gauk
Rabu 7 Agustus 2019

Atorcator.Com - Akhir-akhir ini saya disibukkan dengan kegiatan riset, turun setiap hari menemui masyarakat, mewawancarai, juga ke beberapa lembaga pemerintahan. Tak jarang saya menginap di rumah warga jika narasumber yang ingin saya temui melarang saya pulang malam, "daerah ini masih rawan, Nak, mending menginap saja". Saya sebenarnya sama sekali tidak khawatir dengan itu, toh beberapa orang tetua dari si pembuat resah masyarakat itu saya kenal baik. Tapi karena jarak tempuh yang kadang kerap cukup jauh dan dinginnya serbuan angin malam jika saya kekeh melaju dengan motor bebek untuk pulang dan tidur di rumah. Alasan lain juga karena di kawasan ini menjanjikan makanan laut seperti ikan, cumi, dan kepiting membuat niat pulang selalu tak benar-benar saya laksanakan.

Setelah keesokan harinya, saya akan berangkat ke kota, menemui kepala dinas dari beberapa instansi untuk saya wawancarai. Sepulang perjalanan di kota, saya kerap melihat beberapa pegiat literasi membuka lapak di pinggir-pinggir jalan kota, taman, saya bisa memastikan hal itu karena dengan jelas terpampang sebuah papan besar bertuliskan " Perpustakaan Gratis". Alhamdulillah, ternyata masih banyak yang perduli dengan minimnya tingkat pengetahuan kita. Namun dibalik pengelihatan saya itu, justru ada kesedihan yang teramat mendalam. Baik terhadap pemerintah dan beberapa pegiat literasi.

Kesedihan ini cukup mendasari, kenapa setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, sebut saja festival misalnya selalu diadakan di kota? Kenapa semua kegiatan harus terfokus di kota? Begitu juga dengan para pegiat itu?!

Di pelosok-pelosok, ada beberapa martir-martir literasi yang terus bergerak, tapi mereka tidak memiliki cukup kapasitas, jangkauan mereka tidak cukup luas, walupun terus berjuang dan tertatih-tatih dengan bacaan yang terus dijajakan seadanya. Saya makin khawatir melihat kondisi ini setelah beberapa kali melihat dan mendapati para pelapak buku gratis itu hanya menggelar karpet di taman-taman kota? Lalu pertanyaan di benak saya muncul, sebodoh itukah orang-orang kota sehingga orang-orang yang melabeli diri mereka sebagai pegiat ini hanya mau melapakkan perpustakaan mereka di kota? Sebaliknya, orang-orang di dusun-dusun, di pelosok-pelosok itu cukup cerdas sehingga tidak membutuhkan bacaan lagi?!

Seperti yang kerap kita baca dan tonton di beberapa media, di luar sana, oknum-oknum yang gemar menyita buku dengan alasan buku itu tidak cocok beredar di negeri ini? Saya rasa, alasan itu cukup absurd, coba telisik, hanya buku-buku berkelas yang menyuguhkan teori, data dan revisi yang cukup revolusioner yang kerap menjadi target dan bulan-bulanan orang-orang goblok tersebut. Pertanyaannya, apakah model pendidikan kita memang sudah sengaja disetel untuk tetap melamban? Dengan kata lain, masyarakat sengaja dibiarkan tidak tahu atas Kebenaran-kebenaran sejarah bangsanya? Ini sama halnya dengan kegiatan pemerintah dan pegiat literasi yang kerap melakukan kegiatan di kota, mereka secara tidak langsung ikut serta dengan oknum yang sengaja menjaga agar kebodohan tetep berlanjut.

Di wilayah-wilayah marjinal, pelosok-pelosok, dusun-dusun, justru di sinilah kita mestinya bergotong royong membangun kesadaran dan kecintaan masyarakat terhadap pentingnya budaya pengetahuan, di sini kita mestinya berlomba-lomba melapak di setiap dusun, pelosok, dan tempat-tempat terpencil lainnya, mengajar, dan bercerita, bukan malah berlomba melakukan kegiatan di kota agar tampak keren dan perduli. Itu namanya goblok!


Hasan Gauk
Pemerhati Jomblo Progresif NTB