Marx, Kapitalisme dan Perkoempoelan Paderi - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

13 Agustus 2019

Marx, Kapitalisme dan Perkoempoelan Paderi

Penulis: Nurbani Yusuf
Selasa 13 Agustus 2019

Atorcator.Com - Jika ada sepuluh ormas seperti Muhammadiyah dan NU, pekerjaan negara akan ringan--pada dua ormas ini pulalah ada ratusan pesantren, universitas, rumah sakit, panti asuhan dan bait amal dibangun dari hasil urunan---

Pada dua ormas besar ini--Ada puluhan ribu karyawan dan pekerja yang profesional, saya menyebuthya para Paderi yaitu relawan yang bekerja efisien dengan gaji murah--pernahkah terpikir dengan gaji 150 ribu sebulan seorang ibu guru TK dan SD berangkat pagi jam 06,00 puiang jam 4 sore. Mereka adalah para pejuang kebaikan tidak mengeluh dan tidak minta bayaran tambahan bahkan tanpa jaminan hari tua. Para Paderi ini hidup dari doa.

Perkoempoelan para Paderi--merelakan waktu--pikiran--tenaga bahkan semua hidupnya untuk mengabdi--orang-orang ini bekerja sungguh-sungguh bahkan semua doanya dicurahkan tak ada yang disisakan.

Negara kita butuh Paderi  bukan kuli--yang bekerja dengan tarif tinggi atau upah yang dibayarkan di awal bulan--dengan jam istirahat yang panjang. Gaya hidup materialisme telah mengubah indikator kesuksesan--gaji besar salah satunya, mobil mewah berikutnya rumah dan tabungan. Tidak salah menjadi kaya raya tapi ketika menjadi ukuran yang utama akan merusak kehidupan sosialnya.

*^^*
Ada yang tak suka dengan kapitalisme tapi tak tahu dengan cara apa melawan. Karl Marx salah seorang penganjur komunis pernah gelisah ketika kapitalisme menjadi bahan dasar berpikir. Kompetisi menjadi pilihan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin bertambah miskin--yang berkuasa semakin kuat, yang lemah semakin terpinggir. Pasar bebas melahirkan konglomerasi. Orang sedikit menguasai hajad hidup orang banyak--negara pun di kapling-kapling, rakyat kecil makin sengsara. Borju menguat, proletar terus melemah.

Marx menawarkan pola baru agar terjadi ke-merata-an : komunisme atau komunal. Ia tawarkan keadilan komulatif bukan distributif untuk mengurai kesenjangan agar tidak terus melebar. Keadilan distributif sebut Marx, hanya melahirkan kesenjangan sosial akibat keserakahan dan egoisme yang tak bisa dibendung. Keinginan harus diarahkan kata Marx ringkas dalam sebuah bukunya yang tebal: das kapital. Kekayaan dan kepemilikan orang kaya harus dibatasi agar harta tak hanya beredar di kalangan elite--kata Marx berikutnya yang diamini jutaan buruh yang miskin di Eropa kala itu.

Sayangnya Marx terlanjur dibenci, karena ada ungkapannya yang melukai para pemuka agama kala itu. Agama adalah candu masyarakat .. ' katanya kepada sekumpulan agamawan yang berperilaku koruptif. Bagi Marx prilaku koruptif juga bisa dilakukan oleh para rahib di rumah Tuhan. Marx pun dicap anti Tuhan atau atheis atas ulahnya itu. Marx hanya seorang idealis tua yang tak pernah bahagia bisa melihat gagasannya dipuja.

*^^^*
Usaha Marx tak pernah berhasil--mungkin ia tak cukup waktu untuk menjelaskan--keadilan komulatif yang digagas ternyata melawan fitrah. Dilawan di semua negara bahkan ideologi yang ditawarkan pun menjadi buron dan musuh kemanusiaan. Sebagian masih belum bisa bedakan antara komunisme dan PKI. Ironisnya praktik kapitalisme yang dilawan Marx dibenarkan ramai--negara dibawah ancaman konglomerasi.

Praktik kapitalistik tak bisa dihindari, manusia memang suka kemewahan termasuk gaji besar dan mobil mewah. Manusia juga tak suka dibatasi apalagi di arahkan untuk tujuan tertentu meski baik--tapi mungkin saja harus dipaksa dengan kekuasaan yang overmacht.

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar