Pendidikan yang Demokratis dan Berkeadilan - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

02 Agustus 2019

Pendidikan yang Demokratis dan Berkeadilan

Penulis: Prof. Rochmat Wahab
Jumat 2 Agustus 2019
Ilustrasi foto: timesjogja
Atorcator.Com - Manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah swt itu unik dan lahir di lingkungan keluarga, masyarakat dan negara yang satu dan lainnya berbeda baik secara fisik maupun non fisik. Konsekuensinya, keadaan dan kondisi serta potensi individu berbeda (individual differences). Negara menjamin setiap individu memperoleh hak pendidikan yang sama. UUD 1945 pada pasal 31 menyebutkan bahwa “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dalam konteks ini pendidikan dasar, bahkan dewasa ini sudah dicanangkan wajib belajar pendidikan menengah 12 tahun menjadi public goods. 

Selanjutnya berdasarkan Konferensi Internasional di Jomtien Thailand tahun 1990 telah mempersoalkan pendidikan dasar bagi semua anak. Puncak dari konferensi ini adalah lahirnya deklarasi tentang Pendidikan untuk semua (Education For All). Selanjutnya Konferensi internasional di Salamanca, Spanyol tahun 1994 menghasilkan Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement), bahwa pendidikan inklusif (Inclusive Education) mulai diperkenalkan secara meluas ke berbagai negara. Hingga saat itu, demokrasi pendidikan semakin nyata, berlaku untuk semua warga dunia. Pendidikan untuk semua baru berlaku secara kuantitatif, sehingga lebih mengutamakan aksesibilitas. 

Sejak tahun 2003, dengan dikeluarkannya UU No 20 tahun 2003 tentang SPN, telah menegaskan adanya prinsip pendidikan yang diselenggarakan secara berdemokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”

Prinsip-prinsip ini memberikan landasan pada hak pendidikan dan kewajiban mengikuti pendidikan. Perihal hak pendidikan warga negara yang tertuang pada pasal 6, (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, dan pasak (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Dalam prakteknya, nampak pemerintah dengan segala kemampuannya telah berusaha melayani warga negaranya untuk memperoleh akses pendidikan bermutu. Namun pada kenyataannya akses secara kuantitatif masih jauh dari memuaskan, karena masih ada warga negara yang belum memperoleh pendidikan, baik karena bertempat tinggal di daerah 3 T (tertinggal, terdepan dan terluar), dari keluarga miskin, anak berkebutuhan khusus, dan kurang beruntung lainnya. Bahkan masih dijumpai sejumlah 200 ribuan anak pada ke jenang pendidikan dasar dan menengah yang di-drop out terbiaskan.

Ada sejumlah faktor penting penyebab warga negara yang tak bisa mengakses pendidikan bermutu. Pertama, pemerintah belum all out memberikan dukungan untuk menuntaskan anak usia pendidikan dasar, karena masih banyak sekolah rusak, menyediakan anggaran di bawah satuan harga pendidikan bermutu, dan sebagainya. Kedua, masih dirasakan dukungan sejumlah orangtua yang kurang, apakah pendanaan, pelibatan kerja di usia dini, tidak kirim ke sekolah karena berkebutuhan khusus, dan sebagainya. 

Ketiga, kepala sekolah dan guru masih jauh dari idealnya dari profesionalisme, sehingga anak-anak belum mendapatkan layanan pendidikan bermutu yang seharusnya mereka dapatkan. Inilah gambaran akses pendidikan yang baru pada tingkatan kuantitatif, belum tingkatan kualitatif. Akibatnya bermunculan bimbel-bimbel yang tidak jarang pesertanya datang dari sekolah unggulan. Apalagi dengan kurikulum 2013, totalitas guru dalam mendidik menurun. Bahkan ironisnya ada yang tidak mampu secara ekonomi kurang tapi berjuang keras ikut bimbel agar punya tiket untuk studi lanjut di tempat pendidikan unggulan. 

Keempat, masyarakat (dunia industri dan usaha) yang juga belum memberikan dukungan akses pendidikan bermutu untuk semua. Karena disinyalir, bahwa institusi pendidikan swasta yang dikelola masyarakat terkesan berbiaya tinggi, sehingga tidak selaku mudah bisa diakses oleh semua, terlebih dari warga yang tak beruntung. Tanpa menutup kemungkinan ada juga sekolah swasta yang bersifat pilantropis dengan mutu yang baik, tapi jumlahnya masih relatif terbatas. Memang harus dihindarkan adanya sekolah yang berorientasi bisnis. 

Terlepas dari banyak faktor yang menyebabkan terhambatnya akses pendidikan bermutu, maka yang penting juga kewajiban warga negara dan orangtua untuk memanfaatkan wajib belajar 12 tahun. Warga negara wajib aktif manfaatkan fasilitas pendidikan dengan sebaik-baiknya, tidak boleh abaikan. Jika perlu diberi sanksi yang mendidik bagi yang abaikan, sebagai konsekuensi merugikan negara. Ada timbal balik. Orangtua juga yang lengah dan mengganggu proses pendidikan anaknya diberi sanksi yang membuat jera, tetapi tetap mendidik. Semoga wajib belajar benar-benar bisa mencerdaskan dan menjaga martabat. 

Untuk membuat pendidikan yang demokratis dan berkeadilan, memang kita seharusnya berkomitmen untuk melaksanakan tindakan afirmatif dengan menfasilitasi semua kebutuhan warga negara yang tak beruntung bisa memperoleh akses pendidikan bermutu, sama sekali tidak boleh terpinggirkan. Apakah mereka memperoleh beasiswa full atau dan fasilitas lain, sampai ke jenjang pendidikan setinggi-tingginya atau setinggi yang diinginkan di tempat pendidikan yang bermutu.

Dengan begitu education for all diharapkan dapat diterapkan secara fungsional. Bahkan perlu diwujudkan Gerakan wajib belajar  pendidikan bermutu 12 tahun. Untuk itu dibutuhkan komitmen kita semua. Persoalan ini sangatlah mendesak, sehingga perlu dijadikan salah satu prioritas pembangunan pendidikan nasional, selain yang sudah dirumuskan. (Rochmat Wahab, Yogyakarta, 02/08/2019, Jum’at, pk. 08.20)