Pindah Ibu Kota: Kebutuhan Politik atau Keinginan Rakyat - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

28 Agustus 2019

Pindah Ibu Kota: Kebutuhan Politik atau Keinginan Rakyat

Penulis: Nurbani Yusuf
Rabu 28 Agustus 2019

Atorcator.Com - Saya tak mau larut dalam berbagai analisis spekulatif kenapa Ibukota harus dipindah. Khurchef menulis pendek dalam sebuah kertas : 'Politisi itu di mana-mana sama--berjanji membangun jembatan di mana tak ada sungai".

*^^*
Perpindahan ibukota hanyalah kemewahan para politisi--sama sekali tak ada hubungan dengan kebutuhan tentang hidup sejahtera--atau keadilan bagi semua. Mungkin semacam kebutuhan untuk menghindar dari riuh--uzlah dari berbagai tagihan politik. Jakarta memang sudah tak nyaman dan sarat beban.

Semua pemimpin ingin dikenang dan ditulis dalam sejarah dengan caranya. Gajah Madha punya Sumpah Palapa, sebuah cita-cita membuat nusantara berada dalam satu khilafah. Fasisme gemuruh di Eropa. Pan Islamisme di Afghan. Soekarno punya Proklamasi dan Soeharto Supersemar. Jokowi punya tol dan ibukota yang dipindahkan. Tapi ada pemimpin yang tak dikenang sama sekali.

Bicara pemimpin memang tak luput dari soal ambisi dan kedigdayaan--silakan sekarang ibu kota dipindah, pemenang Pilpres berikutnya akan balik ke Jakarta lagi--siapa bisa cegah.

*^^^*
Demokrasi tak menjanjikan apapun selain kebebasan yang ditukar dengan kertas suara. Mungkin Socrates akan terpingkal tertawa dengan praktik demokrasi di jaman yang katanya modern. Tapi jauh lebih pagan dibanding masa Romawi--di mana para penggagas demokrasi hidup dan tinggal.

Demokrasi mengalami kemunduran dan tak punya masa depan--papar Ben Anderson--demokrasi menjelma menjadi industri politik. Pusaran pemilik modal, penguasa dan penjaga keamanan berkelindan dalam kepentingan sama--lanjutnya. Dan rakyat tetap berada pada posisi bawah yang ditinggikan untuk di injak--diberi janji untuk diingkari--diberi posisi untuk kemudian dijatuhkan. Rakyat meski pemilik kekuasaan tertinggi tetap menempati posisi paling bawah pada heararkhy kekuasaan. Lantas masih perlukah aspirasi diwakilkan.

*^^^*
Politik hanyalah seni untuk berdusta yang disetujui ramai. Kemudian diaminkan pada berbagai mimbar podium. Kata Joseph Stalin. Janji tentang syariat Islam bakal tegak--kesejahteraan bagi semua --keadilan merata--negara menguasai hajad hidup orang banyak bahkan sembako murah, hanya janji klise. Dan tak harus ditepati.

KHURSCHEV tak sepenuhnya salah meski ia juga bagian dari politisi yang berjanji membangun jembatan di mana tak ada sungai, sebab rakyat juga tak terlalu antusias saat janji hanya sebatas ongkos angkutan pulang pergi. Rakyat butuh sesuatu yang 'wah', janji besar yang tak biasa. Janji yang tak mungkin bisa dipenuhi. Rakyat suka dengan janji bohong yang di ulang-ulang.

Politisi memang tak segampang yang digambarkan dan dipersepsi kebanyakan orang. Menabalkan dirinya sebagai kepanjangan rakyat jelata dengan banyak mau dan aspirasi. Berlagak seperti pelayan dari ribuan kehendak yang disusun dalam daftar aspirasi atau janji politik saat kampanye. Politisi atau rakyat, tak tahu siapa mulai bohong duluan.

*^^*
Janji politik tak harus di penuhi dan tak penting dibilang bohong. Yang dibutuhkan politisi hanya kepongahan agar tetap terpilih pada pilihan berikutnya dengan janji yang sama yang diulang-ulang.  KHURSCHEV memang tak sepongah pemimpin komunis pendahulunya yang menjadi guru sekaligus mentornya yang kejam tapi dirindukan banyak orang: Yoseph Stalin, seorang Ideolog cerdas. Suka tersenyum--sekaligus hobi menculik dan menyekap lawan politik sebelum dibui di Prisson Castle--sebuah penjara yang dikenal kejam. Ketidak pastian memang mengganggu, tapi tak ada jawaban tunggal untuk kehidupan yang gamang ini--Voltaire.

@nurbaniyusuf
PadMa--Foundation