Dengan Bekal Persepsi, KPAI Sukses Membunuh Mimpi Anak Indonesia - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

13 September 2019

Dengan Bekal Persepsi, KPAI Sukses Membunuh Mimpi Anak Indonesia

Penulis:Rudi S Kamri
Jumat 13 September 2019

Atorcartor.Com - Ini artikel kedua saya tentang kiprah "sukses" dewa anak Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Pada artikel kedua ini saya ingin belajar bagaimana para dewa anak Indonesia tersebut mengambil sebuah keputusan penting hanya berdasarkan bekal survei persepsi publik.

Syahdan, KPAI yang konon didorong oleh LSM Lentera Anak mengadakan survei persepsi publik tentang nama Djarum. Hasilnya katanya mayoritas publik mempunyai persepsi bahwa Djarum adalah produk tembakau. Hanya berdasarkan hasil survei tersebut KPAI langsung mengambil kesimpulan bahwa PB Djarum dituduh melakukan eksploitasi anak. Hanya berbekal survei yang saya ragukan akurasinya tersebut, KPAI telah sukses besar membunuh mimpi jutaan anak Indonesia untuk bisa menjadi atlet bulutangkis yang bisa mengharumkan nama bangsa dan negara di forum internasional. Luar biasa KPAI !!!

Tanpa mempertimbangkan bahwa PB Djarum telah 50 tahun berjasa besar mendidik dan melahirkan atlet-atlet bulutangkis Indonesia yang telah membanggakan bangsa dan negara; tanpa memperdulikan bagaimana nasib jutaan anak Indonesia yang bermimpi menjadi atlet bulutangkis Indonesia; dan tanpa memberikan solusi bagaimana dengan nasib pembibitan dan pembinaan jutaan anak Indonesia yang telah terpupus mimpi indahnya; para dewa anak Indonesia yang digaji negara untuk melindungi masa depan anak Indonesia justru telah memporak-porandakan nasib jutaan anak Indonesia. Itulah hebatnya KPAI.

Ada pertanyaan yang ingin saya sampaikan kepada KPAI :
PERTAMA, beranikah KPAI membuka ke publik metodologi dan hasil survei yang menjadi landasan keputusan mereka, untuk diaudit akurasi dan validitasnya.

KEDUA, mengapa yang ditanyakan KPAI kepada publik adalah kata Djarum, bukan PB Djarum atau Djarum Badminton Club ?

KETIGA, saya ingin bertanya apa definisi eksploitasi anak versi KPAI. Apakah anak yang diberikan latihan bulutangkis, diberikan makan bergizi dan diberikan beasiswa untuk pendidikan dan hanya dikasih kaos berlabel PB Djarum atau Djarum Badminton Club itu termasuk eksploitasi anak ? Apakah ratusan ribu anak-anak Indonesia yang dipaksa menjadi pengamen jalanan dan pengemis itu tidak menarik perhatian KPAI untuk disebut sebagai eksploitasi anak ? Apakah anak-anak yang dipaksa orangtuanya untuk teriak-teriak khilafah itu bagi KPAI bukan dianggap sebagai kegiatan eksploitasi anak yang menjijikkan ?

KEEMPAT, mengapa komisioner KPAI yang setiap bulannya lahap makan uang rakyat, begitu bodoh dan sembrono dalam mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi nasib jutaan anak Indonesia yang bermimpi menjadi atlet bulutangkis ?

Pertanyaan yang sama ingin saya sampaikan kepada Menteri Negeri Urusan Perempuan dan Perlindungan Anak, Seto Mulyadi dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang memakai kacamata kuda dalam mendukung keputusan brutal dari KPAI. Di mata saya mereka semua seolah bersikap seperti dewa mabuk yang mengeksploitasi isu anak untuk mencari panggung dan sensasi.

Saya sebenarnya berharap Ketua Umum Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), Wiranto bersikap tegas tentang polemik ini. Tapi ternyata yang keluar tetap "khas Wiranto", hanya pernyataan normatif tanpa solusi. Preeeettt lah

Sekarang saya ingin juga melakukan hal yang sama dengan apa yang telah dilakukan KPAI terhadap PB Djarum. Melakukan survei tentang persepsi masyarakat saat melihat wajah-wajah para komisioner KPAI.

Apa persepsi Anda, begitu melihat tampang para komisioner KPAI saat ini ?

Seperti kelompok orang pendukung khilafah yang saat kampanye Pilpres 2019 kemaren gencar menyerang Jokowi. Itu persepsi saya. Persepsi orang bebas, kan?

Bagaimana persepsi anda? [Source: Facebook Rudi s Kamri]

Salam SATU Indonesia,
10092019