Penulis: Anwar Kurniawan
Kamis 26 September 2019
Atorcator.Com - Gelombang protes kepada DPR semakin
meriah saja. Di Yogyakarta, #GejayanMemanggil (23/9) purna digelar. Begitu pula
di Semarang, Bandung, Malang, Balikpapan, Samarinda, dan beberapa daerah lain.
Di Jakarta unjuk rasa masih berlangsung, setidaknya sampai tulisan ini dibuat.
Suara mereka nyaris sama. Mereka
sama-sama menyesalkan kinerja pemerintah yang belakangan ini tampak tidak
serius mengatasi berbagai kemelut yang (di)ada(kan).
Tidak ada tuntutan impeachment.
Ini menandakan bahwa gerakan massa tersebut masih menaruh harapan pada
kepemimpinan Jokowi, kendati tetap dengan catatan.
Sebaliknya, yang ada justru
ketidakpercayaan kepada DPR. Kiranya di sini tidak perlu diterangkan apa itu
DPR. Sebab, semua juga pasti sudah mafhum kepanjagan dari singkatan itu.
Lebih jauh, sorotan atas kasus
Karhutla, Papua, KPK yang dilemahkan, hingga beberapa pasal di RUU KUHP juga
menjadi krisis yang tak kalah krusial.
Beberapa waktu lalu, Jokowi
mengunggah vlog bersama Jan Ethes, cucunya yang lincah itu, di salah satu kanal
medsosnya. Warganet pun “gemas”. Namun, kali ini dalam konotasi yang berbeda.
Alhasil, tidak sedikit komentar pedas, mulai dari yang to the
point sampai satire,
membanjiri kolom komentar unggahan Jokowi.
Ya, unggahan itu memang tidak
menemukan momentumnya. Sama dengan lontaran “kotornya sepatu Jokowi” yang
disebut tidak lebih kotor dari paru-paru para korban Karhutla, Jan Ethes yang
riang gembira bersama rusa-rusa istana itu seolah menunjukan kontras yang
sangat tajam dengan perjuangan anak-anak lain seusianya dalam menuntut
kelayakan hidup. Memang menggemaskan.
Tentang KPK, ini memang bukan
persoalan sederhana. Namun, dengan Jokowi menyetujui DPR merevisi UU KPK, harus
diakui bahwa hal itu merupakan manuver politik yang luar biasa blunder.
Analisis tentang hal ini pun sudah
terlampau banyak. Intinya, RUU KPK itu fakir legitimasi, baik moral publik
maupun secara intelektual. Alhasil, KPK yang semestinya menjadi medium Presiden
mengenyahkan para koruptor, kini justru kehilangan fungsi-fungsi setrategisnya.
Selain itu, beberapa RUU KUHP yang
digagas DPR memang bermasalah, bahkan tampak konyol. Sadar tidak sadar, sorotan
tajam pada RUU KUHP ini merupakan pemantik paling paripurna dari unjuk rasa
demi unjuk rasa itu tadi.
DPR pun menjadi bulan-bulanan.
Pasalnya, ia dinilai terlalu jauh mengintervensi urusan-urusan domestik yang
semestinya bisa diselesaikan antar peternak, penggembala bahkan dukun.
Selain itu, salah satu dari pasal
yang tidak kalah kontroversial adalah mengenai “penghinaan presiden”. Tentu
saja pasal ini dinilai oleh banyak pihak sebagai karet. Sebab, menghina tidak
menghina itu sangatlah subjektif, sehingga dikhawatirkan apabila pasal ini
digunakan dengan tidak sebagaimana mestinya.
Lebih konyol lagi, meski dalam
rapat konsultasi bersama DPR di Istana Merdeka, Presiden Joko Widodo mengaku
tidak keberatan jika pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP dihapus,
senyatanya Komisi III DPR menolak penolakan Jokowi.
Alasannya, pasal tersebut dibuat
tidak hanya untuk Jokowi, melainkan untuk kepentingan Negara. Ah, saya jadi
semakin yakin kalau orang-orang DPR itu pasti tidak pernah baca komik One
Piece.
Apapun itu, sebagai pimpinan
tertinggi negara, Jokowi tentu masih punya waktu dan kesempatan— walau sangat
tipis—untuk membuat sebuah keputusan radikal dan berani yang berpihak bagi
kepentingan orang banyak.
Di titik ini, saya masih percaya
kalau Jokowi masih kerja. Namun tagline kerja, kerja, kerja untuk saat ini tampaknya tidak lagi
relevan. Sebab, yang mendesak untuk dilakukan bukanlah kerja semata, melainkan
berpikir lalu kerja lagi.
Saya jadi teringat khotbah iftitah Sayyidina Abu Bakar manakala diangkat
menjadi pemimpin sepeninggal Nabi Muhammad. Begini kira-kira:
“Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian meski
aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, maka dukunglah.
Sebaliknya, jika aku keliru, luruskanlah…”
Ya, Jokowi memang bukan sahabat
Nabi. Ia juga tidak perlu berlagak islami. Yang jelas, masyarakat atau warga
negara telah berupaya untuk selalu mengawal dan memperingatkan pemimpinnya
supaya tetap berada di jalur yang tepat. Dan, aksi massa turun jalan di
berbagai daerah merupakan bagian dari upaya itu.
Pertanyaannya, kepada siapa Jokowi
akan berpihak? Apakah kepada masyarakat atau pada kepentingan elite yang
membelenggunya?
Atau, kalau dalam istilah yang
sangat multiple
choices seperti
dikatakan Puthut EA, pilihannya tinggal dua: a) Presiden Jokowi memilih bersama
mahasiswa dengan risiko akan menghadapi tantangan politik dari para elite yang
sebagian besar dikuasai oleh para oligarki;
Atau, b) memilih bersama para
oligarki yang berarti musti siap-siap mengalami tekanan politik yang keras dari
mahasiswa, yang menurut pengalaman sejarah, semakin membesar semakin sulit
dibendung.
Jika tidak ada, bolehkah kita
sekarang mencari sosoknya, yang dulu hobi blusukan.
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Islami.co