Film "The Santri" Vs Kultur Pesantren - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

18 September 2019

Film "The Santri" Vs Kultur Pesantren

Penulis: Shulhan alfinnas
Rabu 18 September 2019

Atorcator. Com - "Ciri khas Islam Nusantara, Islam yang harmonis dengan budaya, kecuali budaya yang bertentangan dengan syariat. Melalui film ini kita dakwahkan Islam yang santun, menjadikan Indonesia kiblat peradaban bukan kiblat shalat ya". Ungkap Kiai Said ketua PBNU (Tribunnews.com., 2019).

Nahdhatul ulama dikenal sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang menaruh perhatian khusus dalam penyebaran nilai-nilai toleransi, perdamaian, menjunjung nilai dasar kemanusian dan akhlak yang mulia. Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam menyebarkan kasih sayang kepada siapapun di muka bumi tanpa memandang suku dan agama. Islam tidak identik dengan kekerasan, peperangan, terorisme dan radikalisme.

Belakangan ini Islam Nusantara dipopulerkan oleh kaum Nahdliyyin sebagai upaya untuk menyuarakan formulasi keislaman versi umat Islam Indonesia. Keislaman di sini merupakan akulturasi Islam dan kebudayaan lokal Indonesia yang tidak melanggar nilai dasar syariat Islam. Terlepas dari perdebatan “Islam Nusantara” dari sisi ontologi, epistimologi,dan aksiologi, kita menyadari pentingnya menekankan aktualisasi nilai Islam yang menyejukkan dan mengayomi serta mendahulukan dakwah berbasis hikmah.

Islam Rahmat Fobia Arab

Kiai Said sangat gigih dalam menyebarkan dan menguatkan aktulisasi Islam sebagai “rahmatan lil ‘alamin”. Hal itu dapat diperhatikan dari ceramah-ceramahnya dalam berbagai kesempatan atau yang disiarkan melalui youtube. Kiai ini konsisten sekali mengkampanyekan Islam Nusantara sebagai icon dan masterpiece keberislaman yang ramah, santun, menjaga hormoni dan menjunjung pluralisme. Model pengamalan Islam ini bukan hal baru di kalangan warga NU, hanya saja disuarakan secara masif belakangan ini sebagai counter narasi dakwah oraganisasi Islam lain yang cenderung kasar.

Implementasi nilai pluralisme, toleransi dilaksanakan dalam kehidupan nyata bukan sekadar wacana oleh warga NU. Misalnya banser ikut mengamankan jalannya kebaktian hari besar umat kristiani. Fakta ini menggambarkan prilaku Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dan mengajarkan bahwa kekayakinan adalah hak setiap pribadi yang tidak bisa dipaksakan. Bentuk toleransi dan pluralisme di sini memastikan setiap warga Indonesia dapat melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya dengan rasa aman dan nyaman tanpa tekanan penganut keyakinan lain.

Upaya mewujudkan harmoni dan tolerasnsi antar umat beragama yang dilakukan NU bisa dikatakan berhasil. Jika upaya ini dikembangkan pada level internal muslim akan lebih baik. Saya pribadi merindukan kiai Said berupaya untuk mencotohkan model menyebarkan Islam ramah ala Islam Nusantara kepada kelompok salafi, dan wahabi misalnya. Sepengetahuan saya Kiai Said sangat anti wahabi dan salafi dan banyak menyampaikan pernyataan keras dan kasar terhadap dua kelompok Islam ini.

Tanpa disadari sikap ini menebar kebencian kepada sesama muslim hanya karena beda pandangan politik dan metode dakwah. Jika langkah ini terus dilakukan, Islam Nusantara menyemaikan ajaran Islam ramah dan penuh rahmat hanya kepada golongan tertentu tidak kepada semua golongan. Untuk menghindari perpecahan di dalam internal Islam, sebaiknya dakwah hikmah yang dilakukan Kiai Said dan warga NU juga dikembangkan kepada saudara-saudaranya yang seakidah.

Kejadian pelarangan pengajian oleh Banser misalnya sangat tidak elok dan mengindikasikan gagalnya rekonsilisasi NU dalam membumikan islam multikultural kepada sesama muslim yang beda manhaj.  Kita menyadari bahwa wahabi, salafi dan HTI merupakan organisasi impor bukan produk asli Indonesia seperti Muhammadiyah.

Gerakan dakwah mereka dari sisi politik dan ideologi negara sangat menghawatirkan. Tetapi NU dengan Islam Nusantaranya sebaiknya membangun komunikasi yang ramah dengan mereka bukan menghadang aktivitas mereka secara frontal. Jika ini terus dilakukan, yang rugi NU sendiri kerena nanti dicitrakan negative oleh mereka melalui medianya.

Jebakan Industri Film

Kita patut mengapresiasi yang setinggi-tingginya atas inisiatif lahirnya film “The Santri” sebagai bagian dari syiar modern dan publikasi tradisi pesantren. Ini merupakan capaian yang luar biasa dalam sejarah panjang PBNU. Film ini mengindikasikan inovasi dakwah dan ijtihad pembaruan metode dakwah kalangan NU. Kita mengetahui dahwah NU biasanya berbentuk ceramah, pengajian dan sorogan baik dengan media konvesional maupun digital.

Film yang dimaksudkan untuk menyebarkan nilai Islam yang ramah dan berakhalak karimah itu terjebak budaya yang berkembang dalam industri perfilman. Produser menyelipkan kisah asmara dalam hampir setiap film yang diproduksinya. Roman asmara dimasukkan dalam bagian alur film untuk menarik minat publik dan untuk mengesankan bahwa alurnya natural.

Semua santri merasakan sistem segresi (pemisahan) asrama dan kegiatan-kegiatan di lingkungan pesantren. Santri putra dan putri tidak bisa bertemu dengan bebas dan leluasa apalagi berjalan berduaan walapun misalkan untuk kepetingan tugas kepesantrenan. Managemen pesantren putra dan putri dikelola secara terpisah sehingga masing-masing berjalan secara otonom. Santri yang bisa berinteraksi dengan dengan lawan jenis hanya yang senior yang menjadi pengurus pesantren.

Interaksi dilakukan untuk kepentingan urusan pesantren dan dalam ruang terbuka serta tidak berdua saja. Sedangkan dalam film the santri terdapat adegan berduaan santri putra dan putri di tempat sepi lagi. Adegan ini tidak menggambarkan tradisi pesantren yang sebenarnya. Mungkin ini sebabnya mengapa tidak sedikit orang menolak penayangan film ini. Kalau menonton trailernya, penonton akan  mendapatkan adegan santri putri menunggang kuda dan dikawal oleh santri putra dan berdua saja.

Adegan berduaan beda jenis itu bukan tradisi santri di lingkungan pesantren. Jika ada santri lain jenis berduan itu prilaku menyimpang dan bukan budaya hasil konstruksi lingkungan pesantren. Memunculkan adegan seperti di atas menandakan bahwa film ini tidak sepenuhnya mencerminkan entitas dan nilai dasar yang dipegang oleh santri sejati. Meskipun penekananya film ini untuk mengajarkan nilai toleransi dan pluralisme, budaya santri hendanya tidak direduksi karena judulnya menggiring persepsi publik tentang santri secara umum.

Adekan lain yang menarik dikaji adalah santri putri membawa tumpeng ke dalam gereja. Barangkali pesan yang ingin disampaikan adalah pentingnya pluralisme. Tetapi yang perlu diingat adalah NU memegang prinsip “tawasut” (sedang-sedang saja). mengamalkan nilai pluralisme dengan prinsip tawasut itu penting. Artinya adegan menyerahkan nasi tumpeng di dalam gereja kepada salah satu pastur itu perlu direnungkan apakah memenuhi prinsip moderat atau justru kebablasan.

Shulhan alfinnas adalah Murid KH. Hafidhi Syarbini dan KH. Abdurrahman Alkayis, Ph.D, inisiator gerakan Thariqah akademik, dosen, aktivis advokasi pelajar misikin dan motivator. Asal Sumenep.