Penulis: Ainur Rofiq Al Amin
Senin 30 September 2019
Atorcator.Com - Kisah ini saya tulis bukan bermaksud mempolitisir kasus PKI seperti yang terjadi saat pilpres saja. Kisah ini saya tuangkan agar menjadi pengingat bagi generasi milineal bahwa provokasi terhadao warga NU dan perbuatan makar akan sangat berbahaya dampaknya.
Beliau adalah Kiai Musthofa dari Bonggah, Ploso, Nganjuk. Beliau juga sebagai GP Ansor sekaligus komandan banser 1965 pertama kali di Nganjuk. Ayah Kiai Musthofa adalah bendahara NU pertama di Nganjuk. Berikut adalah penggalan kisahnya yang dituturkan oleh putra Kiai Musthofa sebut saja Kang GPN (sang putra tidak mau disebut namanya). Kisah ini diceritakan ke saya Ahad kemarin saat Kang GPN nyambangi anaknya yang mondok di Tambakberas.
Saat tahun 1960-an, PKI mulai membesar dan menyebar di kota/kabupaten di Jawa. Tidak ketinggalan di Nganjuk seperti di kampung Ploso, PKI juga berkembang pesat, bahkan bisa disebut basis. Karena merasa besar, anggota PKI yang memang gampang bergesekan dengan warga NU sering memberi panggilan yang jelek kepada warga NU. Semisal saat memanggil muslimat NU dengan sebutan "jaran krudungan" alias kuda yang berkerudung. Tentu seperti ini membangkitkan kegeraman kepada Kiai Musthofa muda.
Kegeraman semakin terakumulasi karena provokasi sering dilakukan. Semisal, suatu saat Kiai Musthofa pernah mencari anggota Banser di wilayah Njipangan, Nganjuk. Namun saat di tengah jalan, beliau dilempari batu oleh PKI. Beraninya PKI ya hanya main lempar, bukan berhadapan.
Sedemikian massif PKI memprovokasi warga NU, maka Kiai Musthofa yang sebenarnya sabar -sebagaimana sabarnya warga NU pada umumnya- akhirnya tersulut juga. Kiai Musthofa yang pendekar jadug dan terkenal di Nganjuk ini pernah membakar panggung kesenian rakyat yang diselenggarakan oleh PKI. Alasan dibakarnya karena judul cerita atau lakonnya adalah "Rabine Gusti Allah" (Nikahnya Allah). Tentu ini adalah penghinaan. Aksi pembakaran tersebut dirahasiakan sampai di masa tuanya karena dulu pernah dicari oleh keamanan. Kiai Musthofa juga sering membubarkan kesenian rakyat kledek yang diselenggarakan oleh PKI.
Sikap tegas Kiai Musthofa tersebut, menjadikan beliau pernah ditodong dengan karaben oleh tentara Tjakrabirawa yang asalnya dari Nganjuk. Tapi Kiai Mustofa justeru menyilakan. Namun si Tjakrabirawa malah takut.
Akhirnya saat meletus peristiwa 1965, Kiai Musthofa adalah salah satu eksekutor PKI yang pedangnya berbobot 5 kg. Kiai Musthofa mau menjadi eksekutor alasannya seperti dituturkan ke putranya, "Kalau aku tidak membunuh PKI, maka bila PKI menang, para santri akan habis dibunuh. Saya juga dibunuh, dan kamu tidak akan lahir."
Nama eksekutor di sekitaran Nganjuk kota selain Kiai Musthofa adalah H. Muhtarom, H.Fadil, Pak Syukur, Pak Mukti, Pak Muksin.
Kiai Musthofa pernah mengekskusi sebanyak 57 orang PKI. Banyak kiriman anggota PKI yang hendak dieksekusi berasal dari Kodim.Tapi beliau juga pernah bersama rekan-rekannya mengambil tokoh PKI di wilayah Mungkung. Beliau juga pernah menyandera tokoh PKI di kantor NU lama yang dulu disebut kantor banseran. Ada tokoh Gerwani saat mau dieksekusi hendak menyuap 5 sapi. Masih banyak kisah meyayat tapi tidak saya tulis. Namun saya menyadari situasi saat itu memang PKI sering menghina, mengejek dan menimbulkan kemarahan kepada warga NU.
Kiai Musthofa saat mengeksekusi pernah menyuruh PKI agar bersyahadat dulu. Kalau mau bersyahadat ya tetap dieksekusi karena memang PKI dianggap telah makar. Tapi paling tidak di akherat dalam kondisi muslim. Adakah saat ini yang masih mau makar di NKRI dengan mau mengganti sistem?
Setelah meletus peristiwa 1965, mushola di sekitar Kiai Musthofa penuh jamaah baru yang tiada lain adalah anak buah PKI yang takut dieksekusi dan minta perlindungan.
Sikap tegas Kiai Musthofa terhadap PKI masih terbawa setelah peristiwa 1965. Suatu saat ada simpatisan yang bilang kalau lengan tanganya dibelek (dibelah), akan keluar palu aritnya. Hal itu terdengar Kiai Musthofa, maka tanpa ampun beliau menghajarnya hingga lari ke kantor aparat. Di dalam kantor tersebut tetap dihajar, setelah itu dilerai sama aparat. Aparat mengambil keputusan dengan menyuruh simpatisan tersebut untuk membalas. Kiai Mustofa mempersilakan untuk membalas sepuasnya, tapi justru simpatisan tersebut tidak berani membalas dan meminta maaf.
Di atas adalah kisah sejarah memilukan tentang tahun 1965, tentu sekarang PKI sudah tidak ada, karena partainya sudah dibubarkan, dan orangnya sudah habis. Hal yang perlu kita ambil pelajaran adalah jangan mengkhianati NKRI dan menghina warga NU secara terus menerus dan massif.
Untuk Kiai Musthofa, lahul Fatihah. [Source Status Facebook Ainur Rofiq Al Amin]
*Foto pertama saat Gus Ma'shum bersama Kiai Musthofa di ndalem Kiai Musthofa. Foto kedua Kiai Musthofa dengan sang putra.
Senin 30 September 2019
Atorcator.Com - Kisah ini saya tulis bukan bermaksud mempolitisir kasus PKI seperti yang terjadi saat pilpres saja. Kisah ini saya tuangkan agar menjadi pengingat bagi generasi milineal bahwa provokasi terhadao warga NU dan perbuatan makar akan sangat berbahaya dampaknya.
Beliau adalah Kiai Musthofa dari Bonggah, Ploso, Nganjuk. Beliau juga sebagai GP Ansor sekaligus komandan banser 1965 pertama kali di Nganjuk. Ayah Kiai Musthofa adalah bendahara NU pertama di Nganjuk. Berikut adalah penggalan kisahnya yang dituturkan oleh putra Kiai Musthofa sebut saja Kang GPN (sang putra tidak mau disebut namanya). Kisah ini diceritakan ke saya Ahad kemarin saat Kang GPN nyambangi anaknya yang mondok di Tambakberas.
Saat tahun 1960-an, PKI mulai membesar dan menyebar di kota/kabupaten di Jawa. Tidak ketinggalan di Nganjuk seperti di kampung Ploso, PKI juga berkembang pesat, bahkan bisa disebut basis. Karena merasa besar, anggota PKI yang memang gampang bergesekan dengan warga NU sering memberi panggilan yang jelek kepada warga NU. Semisal saat memanggil muslimat NU dengan sebutan "jaran krudungan" alias kuda yang berkerudung. Tentu seperti ini membangkitkan kegeraman kepada Kiai Musthofa muda.
Kegeraman semakin terakumulasi karena provokasi sering dilakukan. Semisal, suatu saat Kiai Musthofa pernah mencari anggota Banser di wilayah Njipangan, Nganjuk. Namun saat di tengah jalan, beliau dilempari batu oleh PKI. Beraninya PKI ya hanya main lempar, bukan berhadapan.
Sedemikian massif PKI memprovokasi warga NU, maka Kiai Musthofa yang sebenarnya sabar -sebagaimana sabarnya warga NU pada umumnya- akhirnya tersulut juga. Kiai Musthofa yang pendekar jadug dan terkenal di Nganjuk ini pernah membakar panggung kesenian rakyat yang diselenggarakan oleh PKI. Alasan dibakarnya karena judul cerita atau lakonnya adalah "Rabine Gusti Allah" (Nikahnya Allah). Tentu ini adalah penghinaan. Aksi pembakaran tersebut dirahasiakan sampai di masa tuanya karena dulu pernah dicari oleh keamanan. Kiai Musthofa juga sering membubarkan kesenian rakyat kledek yang diselenggarakan oleh PKI.
Sikap tegas Kiai Musthofa tersebut, menjadikan beliau pernah ditodong dengan karaben oleh tentara Tjakrabirawa yang asalnya dari Nganjuk. Tapi Kiai Mustofa justeru menyilakan. Namun si Tjakrabirawa malah takut.
Akhirnya saat meletus peristiwa 1965, Kiai Musthofa adalah salah satu eksekutor PKI yang pedangnya berbobot 5 kg. Kiai Musthofa mau menjadi eksekutor alasannya seperti dituturkan ke putranya, "Kalau aku tidak membunuh PKI, maka bila PKI menang, para santri akan habis dibunuh. Saya juga dibunuh, dan kamu tidak akan lahir."
Nama eksekutor di sekitaran Nganjuk kota selain Kiai Musthofa adalah H. Muhtarom, H.Fadil, Pak Syukur, Pak Mukti, Pak Muksin.
Kiai Musthofa pernah mengekskusi sebanyak 57 orang PKI. Banyak kiriman anggota PKI yang hendak dieksekusi berasal dari Kodim.Tapi beliau juga pernah bersama rekan-rekannya mengambil tokoh PKI di wilayah Mungkung. Beliau juga pernah menyandera tokoh PKI di kantor NU lama yang dulu disebut kantor banseran. Ada tokoh Gerwani saat mau dieksekusi hendak menyuap 5 sapi. Masih banyak kisah meyayat tapi tidak saya tulis. Namun saya menyadari situasi saat itu memang PKI sering menghina, mengejek dan menimbulkan kemarahan kepada warga NU.
Kiai Musthofa saat mengeksekusi pernah menyuruh PKI agar bersyahadat dulu. Kalau mau bersyahadat ya tetap dieksekusi karena memang PKI dianggap telah makar. Tapi paling tidak di akherat dalam kondisi muslim. Adakah saat ini yang masih mau makar di NKRI dengan mau mengganti sistem?
Setelah meletus peristiwa 1965, mushola di sekitar Kiai Musthofa penuh jamaah baru yang tiada lain adalah anak buah PKI yang takut dieksekusi dan minta perlindungan.
Sikap tegas Kiai Musthofa terhadap PKI masih terbawa setelah peristiwa 1965. Suatu saat ada simpatisan yang bilang kalau lengan tanganya dibelek (dibelah), akan keluar palu aritnya. Hal itu terdengar Kiai Musthofa, maka tanpa ampun beliau menghajarnya hingga lari ke kantor aparat. Di dalam kantor tersebut tetap dihajar, setelah itu dilerai sama aparat. Aparat mengambil keputusan dengan menyuruh simpatisan tersebut untuk membalas. Kiai Mustofa mempersilakan untuk membalas sepuasnya, tapi justru simpatisan tersebut tidak berani membalas dan meminta maaf.
Di atas adalah kisah sejarah memilukan tentang tahun 1965, tentu sekarang PKI sudah tidak ada, karena partainya sudah dibubarkan, dan orangnya sudah habis. Hal yang perlu kita ambil pelajaran adalah jangan mengkhianati NKRI dan menghina warga NU secara terus menerus dan massif.
Untuk Kiai Musthofa, lahul Fatihah. [Source Status Facebook Ainur Rofiq Al Amin]
*Foto pertama saat Gus Ma'shum bersama Kiai Musthofa di ndalem Kiai Musthofa. Foto kedua Kiai Musthofa dengan sang putra.