Pendapat Ulama Tafsir atas Konsep Milkul Yamin dan Hukum Onani - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

05 September 2019

Pendapat Ulama Tafsir atas Konsep Milkul Yamin dan Hukum Onani

Penulis: Ustadz Muhammad Syamsudin
Kamis 5 September 2019
Ilustrasi foto: Muslim.or.id
Allah SWT berfirman:

فمن ابتغي وراء ذلك فأولئك هم العادون

Artinya, “Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas,” (Surat Al-Mu’minun ayat 7).

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menjelaskan sembari menukil sebuah hadits riwayat tafsir dari Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasai dari jalur sanad Umar ibn Khathab radliyallahu ‘anhu, bahwa saat ayat ini diturunkan, Nabi SAW seolah mendengar bunyi seperti suara lebah. Nabi sempat tertegun sesaat, lalu menghadap kiblat sembari mengangkat kedua tangan seraya berdoa: 

اللهم زدنا ولا تنقصنا، وأكرمنا ولا تهنا، وأعطنا ولا تحرمنا، وآثرنا ولا تؤثر علينا، وارض علينا وأرضِنا

Artinya: “Ya Allah, berikanlah tambahan kepada Kami dan janganlah Tuan menguranginya! Berikan kemuliaan kepada kami dan jangan Engkau hinakan! Berikanlah (kemurahan) kepada Kami dan jangan Engkau haramkan! Berikanlah kami kesenangan dan bukan sesuatu yang menyedihkan! Berikan keridlaan-Mu atas kami dan tanah-tanah kami!” (Ibnu Katsir: Tafsir Ibnu Katsir, bisa dirujuk di sini: https://www.alro7.net/ayaq.php?langg=arabic&aya=7&sourid=23).

Setelah berdoa, lalu Nabi SAW bersabda:

لقد أنزل عليَّ عشر آيات من أقامهن دخل الجنة ثم قرأ { قد أفلح المؤمنون} حتى ختم العشر

Artinya, “’Telah turun kepadaku 10 ayat. Barang siapa melaksanakannya, maka dijamin surga.’ Lalu beliau membaca قد أفلح المؤمنون hingga sempurna 10 ayat,” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan An-Nasai).

Ayat yang hendak kita bahas menduduki ayat yang ketujuh. Dengan demikian, bila melakukan penafsiran terhadap ayat ini, maka tidak boleh meninggalkan keberadaan 6 ayat sebelumnya, dan 3 ayat sesudahnya. Ketidakbolehan ini berpedoman pada hadits riwayat tafsir oleh An-Nasai dari Siti Aisyah radliyallahu ‘anha. Suatu ketika Ummul Mukminin Siti Aisyah ditanya:

كيف كان خلق رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم ؟ قالت: كان خلق رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم القرآن، فقرأت: { قد أفلح المؤمنون - حتى انتهت إلى - والذين هم على صلواتهم يحافظون} قالت: هكذا كان خلق رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم

Artinya, “Bagaimana akhlak Rasulullah SAW (sehari-hari)?’ Aisyah menjawab, ‘Akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an.’ Lalu ia membaca : قد أفلح المؤمنون sampai ayat والذين هم على صلواتهم يحافطون. Demikianlah akhlak Rasulullah SAW,” (HR An-Nasai, dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir).

Ada sekian banyak hadits yang dinukil oleh Ibnu Katsir sesuai dengan corak aliran tafsirnya, yaitu tafsir bir riwâyah, atau biasa disebut juga dengan istilah tafsir bil ma’tsûr. Pembaca bisa merujuk sendiri ke kitab tafsir untuk menemukan uraiannya. Lalu, ketika sampai pada pembahasan Surat Al-Mu’minun ayat 7 di atas, beliau menautkan bahasannya dengan 2 ayat sebelumnya yaitu ayat 5 dan 6 dari surat yang sama. Tulisnya:

وقوله: { والذين هم لفروجهم حافظون * إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين * فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون}

Artinya, “Orang yang terhadap farjinya, mereka mau menjaga (5). Kecuali atas istri-istri mereka atau sesuatu yang dimiliki oleh tangan kanannya. Maka sesungguhnya mereka tiada tercela (6). Maka barang siapa yang mencari sesuatu kebalikannya, maka mereka termasuk orang yang melampaui batas (7). (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, https://www.alro7.net/ayaq.php?langg=arabic&aya=7&sourid=23).

Maksud dari ayat ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir sebagai berikut:

أي والذين قد حفظوا فروجهم من الحرام فلا يقعون فيما نهاهم اللّه عنه من زنا ولواط، لا يقربون سوى أزواجهم التي أحلها اللّه لهم، أو ما ملكت أيمانهم من السراري، ومن تعاطى ما أحله اللّه له فلا لوم عليه ولا حرج

Artinya, “Orang-orang yang senantiasa menjaga farjinya dari perkara yang diharamkan sehingga tidak melakukan hal yang dilarang oleh Allah atas mereka, berupa zina dan sodomi (liwath), serta tidak berusaha mendekati perbuatan-perbuatan itu (zina dan sejenisnya) selain kepada istri-istri mereka yang telah dihalalkan oleh Allah untuk mereka, atau terhadap sesuatu yang dimiliki oleh tangan kanan mereka, seperti terhadap perempuan budak tawanan (sarary), dan orang yang nekat melakukan apa yang dihalalkan oleh Allah terhadapnya, maka tiada cela atas diri mereka dan tiada dosa,” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, https://www.alro7.net/ayaq.php?langg=arabic&aya=7&sourid=23).

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini seolah menjelaskan bahwa hak penyaluran hak farji orang yang beriman dan diperbolehkan oleh syariat, adalah hanya melalui tiga cara, yaitu:

1.    Terhadap istri.
2.    Terhadap sesuatu yang dimiliki oleh tangan kanan mereka (ما ملكت أيمانهم). Yang masuk dalam kelompok ini adalah perempuan sarary (budak tawanan perang).
3.    Sesuatu dengan cara lain yang dihalalkan oleh Allah.

Penjelasan lebih lanjut disampaikan oleh Ibnu Katsir, bahwa yang dimaksud dengan ما ملكت أيمانهم adalah الإماء (perempuan amat / budak perempuan). Hal ini tercermin ketika menyebut dlamir ‘aid (kata ganti rujukan) dari isim isyarah ذلك dari ayat فمن ابتغي وراء ذلك, adalah kembali pada الأزواج والإماء (istri dan hamba sahaya).

Dengan demikian, kaitannya dengan upaya menjaga farji, maka penyaluran yang diperbolehkan oleh syariat hanyalah dengan jalan jima’ dengan dua obyek di atas, yaitu istri dan perempuan amat yang merupakan representasi dari ما ملكت أيمانهم. Bentuk penyaluran selain kepada keduanya, maka termasuk melanggar batas ketentuan yang diperbolehkan syariat.

Menurut Ibnu Katsir, berangkat dari bunyi literal ayat ما ملكت أيمانهم ini, Imam Syafi‘i rahimahullah melakukan istidlal (pengambilan dalil), bahwa hukum istimna’ dengan tangan (onani) adalah haram. 

Pertanyaan yang sering disampaikan adalah: bagaimana bila istimna’ dengan tangan itu dilakukan oleh pasangannya atau hamba sahaya (sarâry)? Syekh Jalaluddin As-Suyuthy dalam Tafsir Jalalain menjelaskan:

من الزوجات والسراري كالاستمناء باليد في إتيانهنَّ 

Artinya, “[Barang siapa mencari cara lain selain daripada yang telah disebutkan] seperti terhadap istri dan budak perempuan tawanan, seperti istimna’ dengan tangan saat menjimaknya,....” (Jalaluddin As-Suyuthy, Tafsir Jalalain, bisa disimak di sini: https://www.alro7.net/ayaq.php?langg=arabic&aya=7&sourid=23).

Berdasar teks ini, As-Suyuthy jelas menyebut bahwa istimna’ bil yad saat menjimak istri termasuk bagian dari perbuatan yang dicontohkan sebagai sesuatu yang tidak diperbolehkan (karena melampaui batas ketetapan syara’). Ada titik persamaan antara Ibnu Katsir dan As-Suyuthy dalam hal ini, yaitu bahwa yang dimaksud dengan ما ملكت أيمانهم adalah as-sarary (perempuan budak tawanan perang).

At-Thabary dalam Kitab Tafsirnya juga menyebut istilah khusus yaitu ملك يمين ketika menafsirkan Q.S. Al-Mukminun ayat 7 di atas. Ia menjelaskan:

فَمَنِ الْتَمَسَ لِفَرْجِهِ مَنْكِحًا سِوَى زَوْجَته وَمِلْك يَمِينه , { فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ } يَقُول : فَهُمُ الْعَادُونَ حُدُود اللَّه , الْمُجَاوِزُونَ مَا أَحَلَّ اللَّه لَهُمْ إِلَى مَا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ

Artinya, “Barang siapa menunaikan hak untuk farjinya dengan jalan menikahi selain daripada istri dan milk yamin-nya, maka mereka itu termasuk orang yang melampaui batas. Mafhum dari العادون di sini adalah batas-batas ketentuan Allah. Mereka adalah orang yang melampaui batas terhadap apa yang dihalalkan oleh Allah untuknya dengan memilih apa yang diharamkan atasnya.” (At-Thabary, Tafsir At-Thabary, https://www.alro7.net/ayaq.php?langg=arabic&aya=7&sourid=23).

At-Thabary hanya memberikan pengecualian terhadap dua hal yang diperbolehkan untuk menunaikan hak farji, yaitu kepada istri dan milkul yamin. Selain terhadap keduanya, At-Thabary menyebut pelakunya sebagai telah berzina berdasar beberapa atsar (qaul shahabat) riwayat tafsir. Konsekuensi dari pendapat At-Thabary ini adalah bahwa yang dimaksud dengan milkul yamiin adalah berlaku mutlak untuk menyebut istilah lain dari hamba sahaya (perempuan amat dan perempuan sarary). Jika perempuan amat adalah budak yang dimiliki dari hasil jual beli secara langsung, maka sarary adalah perempuan budak yang diperoleh dari hasil jabr (cara paksa) karena diperoleh dari jalur konfrontasi (perang).

Apakah ketentuan pada ayat ini, seperti berjimak dengan sarary juga berlaku untuk perempuan muslimah yang memiliki tawanan perang laki-laki? Dalam hal ini, Al-Qurthuby menyampaikan pendapatnya ketika memberikan ta’wil terhadap ayat إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم (kecuali atas istri-istri mereka atau sesuatu yang dimiliki oleh tangan kanannya) sebagai berikut:

وإنما عرف حفظ المرأة فرجها من أدلة أخرى كآيات الإحصان عموما وخصوصا وغير ذلك من الأدلة. قلت : وعلى هذا التأويل في الآية فلا يحل لامرأة أن يطأها من تملكه إجماعا من العلماء؛ لأنها غير داخلة في الآية، ولكنها لو أعتقته بعد ملكها له جاز له أن يتزوجها كما يجوز لغيره عند الجمهور

Artinya, “Sungguh, telah diketahui bahwa kewajiban penjagaan perempuan atas farjinya adalah didasarkan pada beberapa dalil lain, seperti ayat-ayat yang berbicara ihshan (penjagaan farji karena pernikahan), baik berupa dalil umum maupun dalil khusus dan sejenisnya. Oleh karena itu, aku (al-Qurthuby) berpendpat: ‘bahwasannya takwil dari ayat ini adalah tidak halal bagi perempuan muslimah dijimak oleh budak yang dimilikinya, berdasar ijma’ ulama. Hal ini disebabkan bahwa perempuan adalah tidak masuk dalam bagian khithab dari ayat ini. Akan tetapi, jika ia memerdekan terlebih budak yang dikuasainya tersebut, maka boleh bagi laki-laki itu menikahinya sebagaimana hal itu berlaku bagi orang lain menikahinya. Demikian ini pendapat mayoritas ulama’.” (Al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby, https://www.alro7.net/ayaq.php?langg=arabic&aya=7&sourid=23).

Secara tidak langsung, penjelasan Al-Qurthuby ini juga menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ملك اليمين adalah budak, dan bukan selainnya. Seandainya memuat pengertian selainnya, maka tidak ada ketentuan memerdekakan sebagaimana disebutkan dalam pendapat Al-Qurthuby di atas.

Pendapat Al-Qurthuby diperjelas dengan riwayat tafsir dari para mufassir yang lain, seperti An-Nakhai. An-Nakhai menjelaskan bahwa:

لو أعتقته حين ملكته كانا على نكاحهما

Artinya, “Jika ia memerdekannya terlebih dahulu budak yang dimilikinya, maka keduanya boleh menikah.”

Keterangan lain dinukil oleh Al-Qurthuby dari Abu Amir, disampaikan bahwa:

ولا يقل هذا أحد من فقهاء الأمصار؛ لأن تملكها عندهم يبطل النكاح بينهما، وليس ذلك بطلاق وإنا هو فسخ للنكاح؛ وأنها لو أعتقته بعد ملكها له لم يراجعها إلا بنكاح جديد ولو كانت في عدة منه

Artinya, “Lebih dari seorang, di antara para fuqaha amshar menyatakan pendapatnya tentang hal ini. Karena hal ini didasarkan bahwa kepemilikan seorang perempuan terhadap budak hukumnya adalah dapat membatalkan pernikahan di antara keduanya. Seandainya itu terjadi, pemisahan keduanya tidak disebabkan karena thalaq, melainkan sebab fasakh nikahnya. Jadi, andai perempuan itu memerdekakan budak itu setelah dimilikinya, maka tidak dibutuhkan kata ruju’, melainkan harus dengan nikah yang baru, meskipun hal itu terjadi di tengah masa ‘iddah perempuan tersebut karena fasakh nikah keduanya.” (Al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby, https://www.alro7.net/ayaq.php?langg=arabic&aya=7&sourid=23).

Walhasil, uraian di sini sudah cukup menjelaskan bahwa di kalangan ahli tafsir terdahulu, seperti Ibnu Katsir, As-Suyuthy, At-Thabary, dan Al-Qurthuby, seluruhnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan milkul yamiin adalah budak. Dari keempat mufassir tersebut menyatakan sepakat menyebut budak dalam pengertian umum. Namun, dalam pengertian khusus, Ibnu Katsir, As-Suyuthy dan At-Thabary sepakat menunjuk kepada makna budak yang diperoleh akibat perang. Sementara itu menurut Al-Qurthuby, sejauh yang dirujuk oleh penulis berdasar keterangan di atas, ia secara eksplisit menegaskan bahwa milkul yamin itu adalah budak (dalam pengertian umum).

Keseluruhan penafsiran yang disampaikan oleh mufassir di atas, seolah menunjukkan kesesuaian dengan semangat dari 10 ayat pertama dari Al-Qur’an Surat Al-Mukminun. Apalagi, bila hal ini dinisbatkan pada akhlaq Rasulullah SAW berdasarkan hadits Aisyah radliyallahu ‘anha. Dengan demikian, keluar dari apa yang diteladankan oleh Nabi di atas, khususnya berkaitan dengan soal penjagaan farji, termasuk tindakan yang melampaui batas, sehingga bisa disebut zina. At-Thabary menggarisbawahi dengan riwayat Abu Abdurrahman radliyallahu ‘anhu:

مَنْ زَنَى فَهُوَ عَادٍ

Artinya, “Siapa yang berzina, maka dia telah melampaui batas syariat.” (At-Thabary, Tafsir At-Thabary, https://www.alro7.net/ayaq.php?langg=arabic&aya=7&sourid=23). Wallahu a’lam bis shawab.

[Tulisan ini sebelumnya dimuat di NU online]

Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah - LBMNU PWNU Jawa Timur