Penulis: Muhammad Syamsudin
Selasa 3 September 2019
Atorcator.Com - Kasus Ridwan Saidi itu sebenarnya satu bagian dari beberapa upaya mendelegitimasi sejarah. Sebelumnya, beberapa waktu yang lalu ada upaya yang sama untuk mendelegitimasi peran Wali Songo.
Hal yang lama dicuatkan, justru berhubungan dengan Borobudur, Prambanan oleh Ratu Baka yang kemudian dinisbatkan ke Rorojonggrang. Padahal bukti prasasti sejarah ini telah terdokumentasi secara ilmiah sebagai bagian dari sejarah Indonesia, meskipun dulunya harus diawali dari sejarah Hindu Budha.
Masih belum hilang dari ingatan tentang Gajahmada yang dikabarkan sebagai beragama Islam dan bernama asli Ghaj Ahmada. Ini masih untung karena belum sampai pada tataran memfiktifkan sosok Gajahmada dalam sejarah, sebagaimana hal ini terjadi pada Walisongo yang justru usia sejarahnya adalah lebih muda dibanding kisah heroiknya Gajahmada.
Jika bukti peninggalan sejarah, relief, dokumen dokumen karya, tak mampu membuat berhentinya membuat fiksi sejarah, lantas bagaimana sosok-sosok seperti tersebut di atas bisa dihargai sebagai pakar sejarah?
Momen apa yang hendak mereka tuju? Uniknya, seorang profesor pun justru percaya dengan upaya memfiktifkan walisongo. Saya khawatir Profesor ini juga menganggap bahwa fakta Resolusi Jihad adalah kisah heroik yang fiktif.
Atau mereka memang sudah ikut menggunakan logika RG yang menyebut Kitab Suci adalah Fiksi. Bagaimanapun juga penyebutan Kitab Suci sebagai Fiksi, adalah definisi yang nâqish, tidak tepat bahkan tidak layak. Tapi, madzhab RG rupanya sudah diikuti oleh sebagian pihak.
Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah - LBM NU PWNU Jawa Timur
Selasa 3 September 2019
Ilustrasi: Kompas |
Hal yang lama dicuatkan, justru berhubungan dengan Borobudur, Prambanan oleh Ratu Baka yang kemudian dinisbatkan ke Rorojonggrang. Padahal bukti prasasti sejarah ini telah terdokumentasi secara ilmiah sebagai bagian dari sejarah Indonesia, meskipun dulunya harus diawali dari sejarah Hindu Budha.
Masih belum hilang dari ingatan tentang Gajahmada yang dikabarkan sebagai beragama Islam dan bernama asli Ghaj Ahmada. Ini masih untung karena belum sampai pada tataran memfiktifkan sosok Gajahmada dalam sejarah, sebagaimana hal ini terjadi pada Walisongo yang justru usia sejarahnya adalah lebih muda dibanding kisah heroiknya Gajahmada.
Jika bukti peninggalan sejarah, relief, dokumen dokumen karya, tak mampu membuat berhentinya membuat fiksi sejarah, lantas bagaimana sosok-sosok seperti tersebut di atas bisa dihargai sebagai pakar sejarah?
Momen apa yang hendak mereka tuju? Uniknya, seorang profesor pun justru percaya dengan upaya memfiktifkan walisongo. Saya khawatir Profesor ini juga menganggap bahwa fakta Resolusi Jihad adalah kisah heroik yang fiktif.
Atau mereka memang sudah ikut menggunakan logika RG yang menyebut Kitab Suci adalah Fiksi. Bagaimanapun juga penyebutan Kitab Suci sebagai Fiksi, adalah definisi yang nâqish, tidak tepat bahkan tidak layak. Tapi, madzhab RG rupanya sudah diikuti oleh sebagian pihak.
Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah - LBM NU PWNU Jawa Timur